Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
gambar dari: all-free-download.com |
Kursi-kursi ruang
tunggu hampir penuh terisi. Aku melihat wajah-wajah penumpang yang awalnya
cerah ceria lama-lama jadi sama suramnya
dengan cuaca mendung di luar sana. Wajahku mungkin kelihatan lebih mendung
lagi, karena aku telah lebih dulu terjebak di ruang tunggu bandara Mutiara
dalam kebosanan yang hampir sampai di ubun-ubun.
Aku mengencangkan
resleting rompiku karena hawa dingin yang dihembuskan air conditioner mulai
terasa menembus pori-pori. Jingle
pengumuman diikuti dengan informasi-informasi yang diumumkan lewat pengeras
suara tidak aku pedulikan lagi. Mungkin sama halnya dengan sebagian besar
penumpang lain. Soalnya tidak ada informasi yang menarik selain panggilan
kepada penumpang dan barang ketinggalan. Coba yang diumumkan itu update harga-harga sembako, mungkin
penumpang lebih tertarik mendengarnya.
Sudah satu jam yang
lalu maskapai yang akan menerbangkanku kembali ke Makassar mengumumkan
keterlambatan pesawatnya. Artinya sudah lebih dari tiga jam aku terpaku di
ruang tunggu bandara ini. Jingle
pengumuman berbunyi untuk kesekian kali. Seorang bapak berumur 60-an di
sampingku nampak gelisah di depan surat kabarnya. Ini ke-duapuluh satu kalinya dia
menoleh menatap jam dinding besar di
samping billboard lalu mencocokannya dengan jam tangannya. Kontras dengan itu, seorang ibu muda di depanku asik bercanda bersama anak tiga tahunan, mungkin itu anaknya. Di sampingnya seorang pemuda berambut cepak asik dengan i-padnya. Sesekali dia juga melirik jam tangannya. Di belakangku seorang ibu berjilbab tak berhenti menelepon orang-orang di luar sana. Samar-samar aku bisa mendengar percakapan mereka. Dalam waktu kurang dari dua puluh menit sepertinya dia telah menelepon delapan orang yang berbeda. Tetangga-tetangga, rekan bisnis, teman arisan, suami, anak-anak, dan asisten rumah tangga untuk memastikan jemurannya sudah diamankan. Well, setiap orang punya cara untuk membunuh kebosanan. Aku memilih cara mengamati ekspresi orang-orang dan memantau status teman-teman yang lagi online. Lumayan mengusir kejenuhan.
samping billboard lalu mencocokannya dengan jam tangannya. Kontras dengan itu, seorang ibu muda di depanku asik bercanda bersama anak tiga tahunan, mungkin itu anaknya. Di sampingnya seorang pemuda berambut cepak asik dengan i-padnya. Sesekali dia juga melirik jam tangannya. Di belakangku seorang ibu berjilbab tak berhenti menelepon orang-orang di luar sana. Samar-samar aku bisa mendengar percakapan mereka. Dalam waktu kurang dari dua puluh menit sepertinya dia telah menelepon delapan orang yang berbeda. Tetangga-tetangga, rekan bisnis, teman arisan, suami, anak-anak, dan asisten rumah tangga untuk memastikan jemurannya sudah diamankan. Well, setiap orang punya cara untuk membunuh kebosanan. Aku memilih cara mengamati ekspresi orang-orang dan memantau status teman-teman yang lagi online. Lumayan mengusir kejenuhan.
Jingle pengumuman berbunyi lagi.
aku sedikit menajamkan pendengaranku saat mendengar nama maskapai yang
ditunggu-tunggu. Ah, mereka memastikan
pesawat yang akan aku tumpangi terbang sejam lagi. Sontak terdengar choir gerutuan dari mulut-mulut sebagian
besar penumpang. Beberapa malah berdiri dan beranjak ke mbak dan mas yang
berdiri di belakang counter
informasi. Entah apa tujuan mereka. Mau ngajak berantem atau mau curhat. Aku
juga tidak bisa menyembunyikan ekspresi kecewaku. Artinya pesawat ditunda
keberangkatannya selama dua jam. Aku melirik botol air mineralku yang hampir
tandas. Mestinya kami dapat snack
dari maskapainya nih. Wallahualam!
“Mau ke Makassar
juga pak?” tanya ibu muda kepada bapak disampingku.
“Iya bu,”
sahutnya mencoba beramah tamah. Tapi
tetap dia tak bisa menyembunyikan kekesalannya terhadap sikon ini.
“Sudah lama
menunggu ya pak?” tanya ibu muda lagi.
“Iya, saya sudah
dari jam 2 tadi disini bu,” sahut bapak.
“Pakai Lion juga
pak?” aku ikut nimbrung.
“Eh, Iya,”
sahutnya.
Jingle pengumuman berbunyi lagi.
Panggilan untuk penumpang Sriwijaya tujuan Makassar bernama bapak Samrosi.
Kalau tidak salah dengar, sudah tiga kali berturut-turut panggilan untuk
penumpang ini diumumkan. Di ujung barisan kursi penumpang, dua orang petugas
bandara juga nampak bergerilya di antara penumpang. Mungkin mereka sedang mencari
buronan bernama Samrosi ini.
“Perasaan Sriwijaya
sudah last call dari tadi. Kemana ya
itu bapak Samrosi?” aku berceloteh asal saja. Berharap ibu muda maupun bapak
tadi menyahut supaya pembicaraan kami tetap mengalir.
Tapi tak disangka.
Si bapak malah membelalakan matanya.
“Sa.. Samrosi!??,”
“Bapak Samrosi ya?”
tanyaku.
Si bapak tidak
menjawab karena sibuk mencari boarding
pass dan tiketnya. Aku memicingkan mata,
“Loh,.. itu kan
boarding pass Sriwijaya pak,” pemuda
berambut cepak ikut berkomentar.
“Bukannya bapak
yang dari tadi dicari-cari?” tanya ibu Muda.
“Samrosi itu nama
sepupu saya bu. Kami ada pertemuan keluarga di Makassar. Dia mendadak tidak
bisa datang, jadi saya pakai tiketnya biar tak hangus,” si bapak menjelaskan
terbata-bata.
Oalah!! Si bapak
ternyata lupa kalau dia harus berganti nama jadi Samrosi untuk sementara dan
tidak ingat lagi maskapai mana yang harus ditumpangi. Ditambah lagi, dia tidak
terlalu menyimak pengumuman yang disampaikan lewat pengeras suara. Si bapak pun
tergopoh-gopoh menyeret koper, dikawal petugas bandara yang sudah ekspresinya
campur aduk. Marah, kesal, namun tetap prihatin dengan si Bapak.
Kabar baiknya, kami
jadi sejenak melupakan masalah keterlambatan penerbangan kami karena membahas
tragedi “salah nama” yang baru saja terjadi. Begitu si bapak menghilang dari gate keluar, pihak Lion juga muncul
membawa puluhan dos snack yang memang
jadi hak kami akibat keterlambatan penerbangan ini. Ah, akhirnya ada penghibur
kegalauan juga.
Di luar sana
mendung semakin pekat. Sepertinya kini kami semua menghanyutkan diri dalam doa
yang sama.
Komentar