Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Musim Hujan Kali Ini

gambar dari: kubo-isako.deviantart.com

Walau ada sebagian orang yang tidak suka, kedatangan musim hujan ternyata juga membawa berkah bagi sebagian orang. Suparmin tukang becak di belakang rumah, omsetnya naik setiap musim hujan seperti ini karena nona-nona pegawai department store yang banyak mengambil kontrakan di kompleks kami ogah berjalan di antara jalanan becek. Gugun, pemuda baik hati yang bekerja serabutan karena tidak lulus SD, jadi punya tambahan penghasilan dari ojek payung selama musim hujan ini. Belakangan ini warung kopi bu Mirah di gang sebelah pun mulai ramai pengunjung. Menu wedang andalannya yang hanya dijual setiap musim hujan menjadi pelaris. Lepas mahgrib pemuda dan bapak-bapak mulai merapat di warung itu.  Mulai dari yang benar-benar membutuhkan kopi hitam dan wedang penghangat badan, atau sekedar kongkow-kongkow sambil mengepulkan asap rokok.

Kadang-kadang selesai lembur di kantor aku juga mampir di situ. Nimbrung barang 15 menit bersama bapak-bapak, ngobrol ngalor ngidul sambil menonton film kehidupan di kompleks kami ini.  

Pembicaraan yang lagi hangat akhir-akhir ini adalah karyawati toko pakaian yang kontrak di RW sebelah. Orang-orang bilang dia sedang hamil 3 bulan, tapi pacarnya enggan bertanggungjawab. Dia kedapatan hampir bunuh diri menenggak obat nyamuk. Beruntung tetangga kontrakan sekaligus juga teman kerjanya keburu datang.
Aku jadi berpikir musim hujan memang waktu yang sesuai untuk memadu kasih. Dinginnya udara, dan musik yang ditimbulkan hujan saat jatuh menimpa atap rumah jadi sensasi tersendiri.


Satu minggu yang lalu, hujan deras menyambut kepulanganku dari kantor. Air di depan gang menggenang setinggi mata kaki. Saat melintas di depan kontrakan Ucok, pegawai supermarket di depan kompleks aku melihat Arini terjebak di situ masih dengan seragam SMU-nya. Arini itu anak pertama pak Suparmin. Dia kelihatan memandang galau ke arah mendung seperti meratapi tirai hujan yang semakin rapat.  Karena aku tidak melihat Ucok disitu, aku pun mengajak Arini pulang.
“Arini, ayuk saya antar pulang,” kataku setengah berteriak untuk mengalahkan suara hujan.
“Nanti saja om,” serunya. Bola matanya mengerling ke kanan. “Bentar lagi Adit sampai kok. Saya nanti pulang bareng Adit.”
Adit itu adik semata wayangnya. Aku tahu dia berbohong. Tapi... aku tidak berpikir panjang dan curiga macam-macam lagi berhubung badan penat dan hujan semakin deras. Motor Vixion pun aku lajukan kembali.

*******
Pagi ini lagit nampak cerah setelah beberapa hari mendung memayungi kota. Aku memastikan laptop sudah ada pada tempatnya di dalam tas kerja, sebelum beranjak ke kantor. Bocah-bocah mungkin sudah larut dalam buku pelajaran di sekolah mereka. Istri tercinta sudah hampir setengah jam berjibaku dengan jemuran di depan rumah.

Tapi sekonyong-konyong pak Suparmin memarkir becaknya di depan rumah lalu setengah memaksa dia mengajakku kembali ke dalam rumah. Istriku memandang heran.

“Ada apa pak?” tanyaku. Aku segera menangkap raut getir dan gelisah dari tatapan matanya.

“Ini pak. Saya tidak tahu mau cerita sama siapa lagi. Saya percaya sama pak Rahardi, jadi.... minta tolong sebelumnya pak jangan cerita sama siapa-siapa masalah saya,”

Aku mengangguk penasaran.

Pak Suparmin awalnya ragu-ragu. Tapi kemudian ucapannya pun mengalir
“Si Arini hamil pak. Sudah dua bulan katanya. Itu pun dia jujur setelah dipaksa oleh istri saya setelah istri saya tak sengaja nemu test-pack di dalam tas sekolahnya. Kami benar-benar pusing dibuatnya, pak.Mana dia tak mau bilang siapa bapak anak di perutnya itu. Kalau tak ingat anak sendiri, mungkin sudah aku bikin mampus bocah itu. Saya... saya kesini mau minta tolong sama pak Rahardi. Apa yang harus kami lakukan pak....”

Aku pun tertegun. Jika tak segera berangkat aku pasti terlambat ke kantor. Tapi aku merenung dalam, lalu meletakkan tas kerjaku di atas sofa. Aku meminta istriku membuat satu lagi kopi susu karena sepertinya percakapanku dengan pak Suparmin akan lama.


Ah, musim hujan kali ini membawa banyak kisah.

Komentar

dyah rana mengatakan…
Kok singkat amat mas pical, kirain mau dibikin bersambung gitu. Ato ini memang prolog? Masih penasaran, lagian musim hujan belum kelar, wkwkwk..
pical gadi mengatakan…
Udah ending kok mbak Dyah. Hehehe
Suka aja bikin pembaca penasaran.
Dyah Rina mengatakan…
Iya nih.....musim hujan emang banyak cerita
Tapi tetep.....bukan hujannya yang salah
Untuk Mbak Dyah Rana.......salam kenal. Nama kita mirip
pical gadi mengatakan…
Lahh.... yg komen pertama saya pikir mbak Dyah yg ini. Hahaha.
Duh, musim hujan kok ninggalin cerita yang gag mengenakan. Tapi bener kata Bu Dyah, jangan salahin hujannya hehe.. Keren, saya suka fiksi mini pak, bahkan yang lebih mini lagi itu malah tambah GREGET wkwkwk :D
pical gadi mengatakan…
Wah, mbak Putri. Kalu mau buat yg lebih mini lagi, ibu Dyah yg komentator pertama pasti lebih komplain lagi :D