Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Mestinya awan memaklumi matahari. Begitu pula dengan
rembulan dan embun pagi. Tidak selamanya matahari mampu tampil perkasa,
mengoyak dan menjahit relung semesta dengan cahaya paripurnanya. Keterbatasan
dan ketidaksempurnaan sudah kodrat ciptaan Tuhan, bukan?
Sudah dua hari ini matahari
pilek berat, namun tidak ada yang percaya sang cahaya paripurna itu bisa jatuh
sakit juga. Pada saat wajah matahari terkapar lemah di atas pembaringan dengan
wajah pucat kehilangan rona dan ingus yang jatuh bertetes-tetes, barulah terjadi
hiruk pikuk.
Musim berlarian kesana kemari tanpa arah. Matahari-lah yang
selama ini menguasai penanggalannya. Bulan pun harus bekerja lembur menerangi
bumi dengan jantung berdebar-debar karena matahari juga yang jadi sumber
kekuatannya. Embun pagi yang terbenam dalam rerumputan tidak tahu lagi kapan
giliran mereka tampil di pentas pagi karena selama ini matahari-lah yang
membangunkan mereka. Lautan heran. Angin bertabrakan. Badai pun kehilangan
orientasi. Semua panik dan kacau balau.
Sementara itu belum ada tanda-tanda matahari akan segera
pulih. Badannya masih sering gemetar dengan suhu yang naik turun.
---
Di ujung pagi, seorang pria pelukis panorama alam bernama
Mata sedang menggelar kanvas, kuas, cat dan alat-alat lukis lainnya di atas
rerumputan. Dia berada dekat dengan sebuah tepi tebing yang dipenuhi bunga dan
kupu-kupu.
Saat mulai melukis matahari yang merangkak naik dari balik
bukit-bukit, Mata mengernyitkan kening. Dia memandangi alam di hadapannya lalu memandang lukisannya sekali lagi.
Ada yang salah.
Mata pun bertanya kepada awan-awan.
“Mengapa pagi ini alam seperti sedang berduka?”
Awan-awan berpandangan sebelum menyahut,
“Pasti karena matahari sedang pilek parah. Dia terbaring
sakit saat ini. Tahukah anda apa yang harus kami lakukan?”
“Matahari sakit? Lalu siapa yang bersinar dari balik bukit
itu?” tunjuk Mata.
“Itu hanyalah bola cahaya. Bukan matahari… Sama seperti tubuh
kalian jika tanpa jiwa, bola cahaya itu juga tubuh tanpa jiwa.”
Mata mengangguk-angguk.
“Wah, berarti kalian harus menjenguk matahari untuk
menghibur dan memberinya kekuatan. Bawakan bunga, makanan favoritnya atau apa
saja yang membuat dia merasa gembira…”
Awan-awan terlihat setuju, lalu berlalu dan memberitahu
rencana itu kepada lautan, embun,
rembulan, bumi dan penghuni angkasa.
Tapi Mata tetap melanjutkan goresannya melanjutkan
pekerjaannya memindahkan keindahan alam ke atas kanvas.
---
Seminggu kemudian di waktu yang sama, Mata kembali ke tepi
tebing itu. Dia menggelar kanvasnya dan kembali melukis pemandangan yang sama.
Setelah selesai, dia membandingkan lukisan itu dengan
lukisan yang dibuatnya seminggu lalu. Kedua lukisan begitu mirip hanya saja
lukisan yang kedua terlihat lebih hidup dan semarak. Bukan karena permainan
warna. Warna kedua lukisan sama saja. Bukan pula karena objek. Terlihat objek
kedua lukisan sama saja.
Mata tersenyum sambil memandang langit biru.
Lukisan yang kedua lebih hidup karena matahari telah sembuh
dari pileknya dan saat ini semesta bergembira karenanya.
****
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
Komentar
Makasih sudah main kemari ya. GBU