Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Hantu Mata Satu



Semenjak tinggal di rumah baru, sudah belasan kali Ervina memimpikan sosok itu, hantu bermata satu. Tingginya serupa dengan Ervina, sepertinya dia juga seorang gadis karena rambutnya panjang terurai. Hanya saja salah satu rongga matanya kosong melompong, sedangkan rongga mata yang lain diisi oleh bola mata yang menatap sendu dan dingin.

Tak bisa dibilang mimpi buruk juga karena dalam mimpi hantu itu hanya menampakkan diri begitu saja, tanpa ada tendensi apapun. Dia tiba-tiba muncul di atas lemari, keluar dari dinding selasar, menuruni tangga jati, pergi dan menghilang seperti potongan-potongan mimpi biasanya.
Pada suatu hari sepulang dari kampus, Ervina menceritakan hal itu kepada ibunya, satu-satunya orang dewasa yang dipercayai setelah ayahnya meninggal dunia 13 tahun lalu karena kecelakaan.
“…sepertinya dia ingin berteman denganku, Bu.”
“Huss…,” sergah ibu sambil menyusun rantang catering yang baru saja dilap oleh Pak Prapto, salah satu karyawan catering mereka. “…jangan ngomong begitu kamu, Nak. Nanti hantunya datang beneran loh.”
“Memang sering datang, Bu, dalam mimpi,” sahut Ervina lagi.
“Iya, lama-lama muncul beneran. Apa nggak takut kamu?”
Ervina hanya menggeleng tidak antusias lalu beranjak dari dapur ke kamarnya.
“Makanya sebelum tidur sembahyang dulu…” seru Ibu.
“Sudah, kok!” sahut Ervina dari balik pintu ruang tengah.
***
Karena penasaran, malam harinya Ervina sengaja tidur lebih lambat dari biasanya. Dari balik kaca jendela kamar, dia bisa melihat bulan purnama sedang bersinar terang di luar sana. Dia memadamkan lampu kamar dan menyisakan cahaya dari lampu belajar di atas meja. Dia duduk di atas tempat tidur sembari memainkan HP dan terus berharap hantu rmata satu itu muncul dan menyapa seperti halnya sapaan dari teman lama.
Tapi sampai kantuknya benar-benar tak tertahankan lagi, yang ditunggu belum muncul-muncul juga. Ervina pun merebahkan tubuh dan menarik selimut untuk bersiap-siap tidur. Saat itulah dia menjerit kaget, karena hantu mata satu ternyata telah ikut berbaring di sisi tempat tidur.
Ervina melompat ke sisi tempat tidur lain lalu cepat-cepat berdiri lagi dan mengedarkan pandangannya ke arah tempat tidur. Kosong.
“Bukankah kamu telah menungguku?”
Suara lirih menyeramkan yang muncul tiba-tiba itu kembali mengejutkannya. Sosok hantu bermata satu telah berdiri di depan pintu kamar mandi. Sorot mata tunggalnya semakin dalam dan dingin.
“Mau apa kamu?” seru Ervina.
“Aku yang seharusnya bertanya seperti itu! Kamu yang selalu memanggilku dalam mimpimu…”
Ervina mengernyitkan kening. “Tidak pernah! Kamu muncul begitu saja…”
Hantu mata satu tertawa.
“Kamu selalu ingin melihat kembali masa lalu, melihat kebersamaan dengan ayahmu yang wajahnya hanya samar-samar saja dalam ingatanmu. Penglihatan ke masa lalu… itu keahlianku, Ervina.”
Ervina terenyak. Hantu mata satu benar. Selama ini memori masa lalu itu yang terus berputar-putar di kepalanya.
“Aku bisa membantumu…,” tahu-tahu hantu mata satu telah berada selangkah di depan Ervina. Dari jarak sedekat ini wajahnya nampak semakin seram. “Tapi sebagai syaratnya, kamu harus memberikan salah satu mata indahmu itu untuk melengkapi rongga mataku yang lain…”
Ervina hendak melangkah mundur, tapi kakinya seperti terpatri pada lantai.
“…ayolah, melihat masa lalu akan sangat menyenangkan,” ucap hantu mata satu sembari tertawa puas.
“Tidaaaak!!” seru Ervina.
Tapi tidak ada yang peduli pada teriakan pilu tersebut. Sementara kuku-kuku tangan hantu mata satu telah mendekati wajah Ervina, dan dalam satu sentakan bola mata kanan Ervina telah berada dalam genggamannya.
***
Ervina tersentak dan terbangun tiba-tiba dari tidurnya. Sudah ada Ibu dengan wajah cemas di sampingnya, ibu pun memeluknya erat-erat.
“Kamu mimpi buruk lagi, Nak? Dari tadi kamu teriak-teriak manggil ibu dan ayah.”
Ervina membalas pelukan ibunya dan mulai sesenggukan.
“Aku… aku rindu ayah, Bu….”
Ibu mengangguk, lalu melepaskan pelukannya.
“Akhir-akhir ini Ibu juga mimpi ayah kamu. Besok kita ke kubur ya…”
Ervina mengangguk, lalu kembali memeluk ibunya.
Di tepi jendela, hantu mata satu memandang dengan nelangsa. Dia lalu terbang mengikuti arah angin malam dan cahaya purnama, mencari jiwa-jiwa hampa lainnya di luar sana. 


---



gambar dari http://youtube.com



 photo Jangancopasing.jpg

Komentar