Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Marni baru saja selesai menghias bibirnya dengan gincu merah delima ketika tiba-tiba hujan jatuh dengan deras. Marni terkejut. Gadis manis berusia 25 tahun itu langsung kepikiran bagaimana nasib kencan mereka sore ini. Waktu di layar gawai menunjukkan pukul 4 lebih 50 menit. Masih kurang 10 menit dari waktu janjiannya dengan Boy, sang kekasih hati.
Sebagai sesama pekerja, mereka
memang jarang punya waktu buat berduaan dengan puas. Paling saat tanggal merah
atau hari Minggu seperti ini. Rencananya tepat jam 5 sore, Boy akan
menjemputnya di indekost lalu mereka berdua pergi ke bioskop untuk menonton
film romantis yang belum lama rilis.
Marni pun mengambil gawainya lalu
menghubungi nomor WhatsApp Boy. Teleponnya tersambung tapi setelah
menunggu sejenak dua jenak, panggilan itu tidak dijawab-jawab.
“Kayaknya Mas Boy kehujanan di
tengah jalan,” gumam Marni sembari mengintip suasana di luar dari balik jendela
kamar. Tirai hujan semakin rapat. Padahal tadi cuaca di luar cerah-cerah saja
rasanya. Dia menelepon sekali lagi, tapi tetap tidak ada jawaban dari Boy.
Sambil menunggu dengan gelisah,
Marni kembali mematut dirinya di depan cermin. Rambut lurus sebahunya dikuncir
ke belakang, membuatnya terlihat beberapa tahun lebih muda.
Lagu koplo yang menghentak-hentak
tiba-tiba terdengar memenuhi ruangan kamar. Itu nada dering dari gawainya. Nama
Mas Boy Sayang muncul di layar gawai. Marni segera menjawab panggilan
itu.
“Mas Boy, bagaimana dong? Jadi gak
nontonnya nih? Hujan deras di sini!” berondong Marni dengan nada manja campur panik.
“Mas Boy di mana sekarang?” tanyanya lagi.
“Ayang Beb, aku terpaksa berteduh
di halte nih. Tapi sudah terlanjur basah kuyup,” terdengar jawaban Boy dari
seberang sana dengan suara latar deru mesin mobil, motor dan klakson yang
bersahut-sahutan.
“Mas Boy tidak bawa mantel hujan
ya?”
“Tidak, Marni Sayang, manisku,
cintaku. Tadi kan cuacanya cerah. Nah, pas hujan turun tadi aku masih di lampu
merah, jadi ya, begini. Basah sampai dalam-dalam.”
Marni mendengus dengan berat. Ciri-ciri
batal kencan ini.
“… ya udah, Mas. Mudah-mudahan hujannya
tidak lama. Nanti tetap ke sini saja, Mas. Kalau gak jadi nonton, ya kita
pacaran di kost aja. Mas Boy singgah beli makan di jalan ya, nanti aku buat kopi
jahe kesukaan Mas Boy.”
“So sweet….! Siap, Ayang
Bebku. Mudah-mudahan hujannya cepat berhenti, ya. Love you…!”
“Love you, too.”
Pembicaraan pun diakhiri.
Boy menutup teleponnya dengan
gelisah. Dia saat ini tidak kehujanan, bahkan tidak sedang berada di halte.
Tepatnya saat ini dia sedang berada di dalam toilet pria sebuah kedai makan di
salah satu pusat perbelanjaan. Dia berjalan pelan-pelan keluar restroom dan
mengintip ke arah meja makan. Di salah satu meja, Diah, gadis yang lain sedang
merapikan riasannya di depan kaca, seperti kebiasaan para gadis setelah
menuntaskan makanannya.
“Duh! Kok bisa lupa ya, sore ini mestinya
jadwal sama si Marni!” Boy memaki dirinya sendiri. Wajah laki-laki berusia 28
tahun ini memang menarik. Hidung mancung, mata bulat sempurna, alis tebal dan
badan tegap. Sayangnya, daya tarik itu selama ini dipergunakan dengan salah.
Dia suka berpetualang cinta,
memacari lebih dari satu orang sekaligus dan selama ini aksinya selalu berjalan
mulus. Ya, satu dua kesalahan minor bisa terjadi, tapi Boy sudah terbiasa
sehingga cukup lihai mengantisipasinya. Percakapan spontan yang terjadi barusan
ini contohnya.
Dia pun bergegas kembali ke meja
mereka.
“Lama amat di toilet, Mas?” tanya
Diah. Paras gadis ini juga manis, sebelas dua belas dengan Marni. Hanya saja dia
sedikit lebih langsing.
“Itu, tadi antri di toilet yang
buat BAB. Orangnya lama bener. Eh, punya Ayang Beb sudah habis ya?”
Diah tersenyum.
“Diah laper, Mas. Tadi siang cuman
makan buah saja. Tapi santai saja, Mas. Filmnya jam 6 kan mulainya? Masih ada
waktu. Tuh sayang, baksonya masih ada setengah. Dihabisin dulu, gih.”
“Siaap, Ayang Beb.”
Food court tempat mereka berada terletak di sisi utara lantai
dua pusat perbelanjaan. Dari situ bisa terlihat jelas pemandangan di luar dari
beberapa jendela yang berbahan kaca. Boy beruntung, ternyata bermenit-menit
kemudian hujan masih turun dengan deras.
10 menit kemudian dia merasa gawai
di saku celananya kembali bergetar. Gawainya memang dibuat silent, tapi
getaran jika ada yang mengirim pesan atau menelepon masih tetap aktif.
Jangan-jangan Marni lagi, batinnya.
Padahal saat itu dia dan Diah lagi
mengobrol dengan seru.
“Ayang Beb, aku ke toilet dulu ya,
bentar …”
Diah mengernyitkan kening.
“Gak tahu nih, kenapa tiba-tiba
perut bermasalah gini. Bentar ya,”
“Iya, iya, Mas,”
Tanpa menunggu lagi, Boy langsung
beranjak dari kursinya. Diah hanya geleng-geleng kepala lalu menyibukkan diri
dengan gawainya.
Sesampai di dalam ruang toilet, Boy
mengeluarkan kedua gawainya. Layar gawai yang satu berpendar-pendar dengan nama
dengan Supervisor Sales sebagai nama samaran untuk Marni. Memang itu
panggilan dari Marni. Tapi sebelum menjawab panggilan tersebut, Boy memutar
satu video dari gawai yang satu lagi, video kondisi lalu lintas yang sedang
padat merayap. Boy menaikkan volume video agar suara klakson
bersahut-sahutannya lebih jelas terdengar.
Setelah itu dia lalu menjawab
panggilan Marni.
“Hujannya tambah deras nih, Mas,”
ucap Marni dari seberang sana.
“Iya, Ayang Beb. Di sini juga
tambah deras. Bagaimana dong? Mana HP sudah mau low batt ini.”
“Ng, Mas Boy. Boleh gak aku nonton
bareng si Irna saja? Nanti kami naik taksi online, bioskopnya kan dekat
dari sini.”
Irna itu teman kost Marni. Mereka
berdua memang cukup akrab.
“Lah, terus tiketnya bagaimana?”
tanya Boy.
“Mas Boy beli tiketnya online
kan? Nanti kirim saja kode booking-nya…”
“Oalah, aku belinya tunai, Ayang
Beb. Kebetulan tadi habis nganter barang ke vendor, barang yang ketinggalan
kemarin. Nah, toko vendornya deket bioskop, jadi sekalian singgah beli tiket.”
“Yaah,” nada kecewa Marni terdengar
jelas.
“Ng… tapi kalau memang Ayang Beb
mau nonton bareng si Irna gak apa-apa deh, sebentar aku transfer uang tiketnya,
nanti beli tunai di bioskop saja.”
“Beneran, Mas?” nada Marni berubah
seketika, dari kecewa jadi girang.
“Iya, dong. Apa sih yang gak, buat Ayang
Beb!”
Marni tertawa bahagia di seberang
sana. “Mas Boy, sekalian sama uang beli popcorn ya!” pinta Marni lagi
dengan nada dibuat semanja mungkin. Cowok mana yang tidak meleleh dengan nada
seperti itu. Jadi walaupun dalam hati Boy keberatan, lumayan juga biayanya
soalnya, tapi jawabannya tetap “Siap…! Ditunggu ya, Ayang Beb.”
Begitulah risiko bermain api cinta.
Harus siap kepanasan dan siap membayar cost lebih mahal.
Pembicaraan mereka diakhiri lalu
Boy mengirim uang elektronik ke nomor Marni. Setelah itu dia buru-buru keluar
dari toilet.
Boy terkejut. Diah ternyata sudah
menunggu di depan pintu restroom pria dengan tatapan dingin.
“Kenapa lama sekali?” tanyanya.
“Ini, Ayang Beb. Perutku bermasalah
aku ta-“
“Bohong. Kamu habis teleponan kan!?
Suara kamu tuh kedengaran sampai di luar sini.”
“Masa sih? Oh, iya, aku barusan
dapat telepon dari supervisor aku di tempat kerja beb, dia na-“ ucapan Boy
berhenti lagi karena Diah menengadahkan tangan sebagai isyarat untuk meminta Boy
menyerahkan gawainya.
“Kamu gak percaya ya sama aku?”
“Coba lihat handphone kamu,
Mas? Biar aku percaya.”
Dengan berat hati, Boy pun
menyodorkan gawai khusus buat berkomunikasi dengan Marni. Beruntung tadi dia
sudah mengubah nama Marni di phonebook.
“Loh, kamu punya dua HP ya, Mas?”
nada Diah mulai meninggi.
“Iya, yang ini buat urusan kerjaan
kok, Ayang Beb.”
Diah meraih gawai Boy dan membuka
keterangan panggilan terakhir di sana.
“Tuh kan, aku bilang juga apa!”
sindir Boy setelah Diah melihat nama yang tertera di situ. Dia bermaksud
mengambil kembali gawainya, tapi Diah serta merta membalikkan badan dan
beranjak pergi kembali ke meja makan mereka. Boy pun terpaksa mengekor dengan
wajah mulai panik.
Rupanya Diah berjalan sambil
menyalin nomor kontak Marni ke HP-nya.
“Awas kamu ya, Mas, kalau sampai
bohong,” ancam Diah ke Boy lalu melakukan panggilan ke nomor Marni.
Mampusss aku! batin Boy.
Tidak butuh lama sebelum Marni
menjawab panggilan Diah.
“Halo…”
Diah mengernyitkan kening. Suara
cewek. Tapi dia tetap berusaha berpikiran positif.
“Halo. Maaf, Mbak, ini dengan
supervisornya Mas Boy ya?” tanya Diah.
“Ng,.. iya. Eh, saya pacarnya, Mas
Boy. Maaf dengan siapa ini?” nada Marni terdengar bingung.
Diah mengembuskan napas panjang
menahan amarah. “Saya pacarnya Mas Boy, Mbak,” sahutnya dingin.
“Hahh!? Mbak salah orang kali ya.
Maaf saya lagi sibuk ini-“ Marni langsung menutup telepon tersebut.
Napas Diah mulai memburu dan Boy di
seberang meja mirip pesakitan yang terkena vonis berat dari majelis hakim.
Tertunduk lunglai penuh rasa bersalah.
Yang ditunggu-tunggu Diah terjadi.
HP Boy kembali bergetar karena ada panggilan yang masuk, dan nama Supervisor
Sales kembali muncul di situ. Marni pasti mau konfirmasi panggilan dari orang
asing yang masuk barusan.
“Mas Boy, barusan ada perempuan
aneh ngaku-ngaku pacarnya Mas Boy, siapa sih itu?” cerocos Marni begitu Diah menerima
panggilan itu.
“Sudah aku bilang aku pacarnya Mas Boy. Kalau
kamu juga merasa pacarnya, berarti kita berdua sudah ditipu habis-habisan!”
jawab Diah ketus.
Dia lalu berdiri, dan meletakkan HP
itu di atas meja dengan kasar. “Kamu tega sekali sih, Mas. Kita … kita putus!”
Dia meraih tasnya lalu pergi
cepat-cepat dari situ. “Diah, Ayang Beb, tunggu! Aku …”
Boy bermaksud mengejar Diah. Tapi
dari HP di atas meja dia bisa mendengar sayup-sayup suara halo.. halo… dari
Marni. Dia pun buru-buru mengangkat HP dan menjawabnya.
Hilang satu masih ada satu. Jangan
sampai hilang dua-dua, prinsip Boy.
“Mas Boy, mas Boy di mana sih?
Siapa cewek barusan?”
Dalam sekejab ekspresi Boy berubah.
Dia tertawa terpingkal-pingkal dan berusaha menjaga tawanya tetap terdengar
natural.
“Itu… ada teman aku. Kami ketemu di
halte, dia itu memang orangnya suka iseng, Ayang Beb. Suka sekali prank
temen-temennya. Tapi ini dia sudah pergi kok…”
Untuk sesaat Marni terdiam. Entah
dia lega atau sedang memikirkan sesuatu.
“Jadi Mas Boy masih di halte nih?”
Degg! Boy terkejut, dia lupa memutar video untuk back
sound suara lalu lintas seperti tadi.
“Iyaa…,” sahutnya.
Sayangnya tepat saat itu, dari
pengeras suara pusat perbelanjaan terdengar pengumuman anak-anak hilang dari
bagian informasi. Suaranya kencang sekali, karena pengeras suaranyanya
dekat dengan posisi foodcourt.
Marni pun menangis kencang dari
ujung telepon.
“Huaaa! Mas Boy, kamu bohong lagi,
Mas,”
“Ayang beb, Ayang beb, jangan
nangis gitu dong. Aku bisa jelasin. Oke, maaf aku sudah bohong sama kamu. Aku
memang lagi gak di halte tapi aku-“
“Kita putusss! Huaaaa …..!” lalu
percakapan terputus.
Boy menepuk jidatnya keras-keras.
Dia lalu menghempaskan punggungnya di sandaran kursi dengan pasrah.
Demikianlah akhir cerita seorang playboy
cap tiga kelinci yang tragis. Niat mau dapat dua sekaligus, malah akhirnya tidak
dapat dua-duanya.

Komentar