Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Monster Ransomware

 


Di ujung malam, Bapak Menteri Urusan Komunikasi sedang bermimpi buruk. Dia dikejar-kejar monster yang mengerikan. Monster itu memiliki rupa seperti gorila dengan belasan mata merah mengerikan memenuhi seluruh wajahnya. Ekornya yang panjang berputar-putar di udara seiring hentakan kaki-kakinya saat mengejar sosok Pak Menteri.

Pak Menteri berlari kencang. Tapi secepat apapun dia berlari, monster itu selalu bisa mengejarnya. Mendaki bukit, menuruni lembah, menyembunyikan diri di antara rimbunnya pepohonan, tidak banyak membantu karena monster itu selalu bisa menemukan dan menyusulnya.

Akhirnya setelah berlari sekian lama, Pak Menteri menyerah. Dia sudah kehabisan napas, kehabisan tenaga dan duduk ketakutan bercampur pasrah di kaki tebing bebatuan. Monster itu kini berdiri dengan jarak sangat dekat dengannya. Saking dekatnya, Pak Menteri bisa merasakan tarikan dan embusan napas monster mengerikan itu.

Si monster mengamati Pak Menteri lekat-lekat dari ujung rambut sampai ujung kaki. Napasnya memburu karena kegirangan melihat mangsanya sudah tidak berdaya di depan mata.

“Ja... jangan! Jangan makan saya, Tuan Monster,” pinta Pak Menteri dengan suara serak karena putus asa.

“Hah? Tuan Monster!? Namaku Ransomware, Pak Tua! Hahahaha,” seru si monster. Suaranya berat dan lantang.

Pak Menteri terkejut. Ternyata monster itu bisa bicara seperti manusia. Tapi yang lebih membuatnya terkejut adalah nama monster itu. Saking terkejutnya, Pak Menteri lalu jatuh tidak sadarkan diri.

Saat terbaring di tanah, dia kembali bermimpi. Di dalam mimpinya dia berada di bawah bulan purnama, dikelilingi padang sabana yang luas.

“Mau ke mana, Pak Tua? Hehehehe!”

Monster mengerikan tadi tahu-tahu muncul tidak jauh di hadapannya lalu kembali mengejarnya. Pak Menteri segera berbalik dan berlari, tapi kakinya terantuk batu dan jatuh berdebum dengan keras.

Pak Menteri pingsan lagi. Di dalam pingsannya dia kembali bermimpi, dikejar-kejar oleh monster bernama Ransomware itu. Setiap kali dikejar dia selalu terjatuh, pingsan dan bermimpi kembali.

Sialnya, setiap kali masuk ke lapisan mimpi yang lebih dalam, dia selalu bertemu monster Ransomware yang tidak pernah berhenti mengejarnya.

Sampai pada suatu titik, Pak Menteri benar-benar kelelahan lahir batin. Akhirnya dalam mimpi yang kesekian kali, saat terjebak di sebuah gudang tua, Pak Menteri memberanikan diri mengangkat wajahnya untuk menatap belasan mata merah Ransomware lalu berkata, “Saya sudah capek lari, Tuan Mons... eh, Tuan Ransomware. Capeeek sekali! Ayo mangsa saja saya, selesaikan segera, supaya saya tidak usah terus mimpi dan terus lari seperti ini.”

Tidak disangka Ransomware menghentikan langkahnya. Mulut penuh gigi taring yang semua dibuka lebar-lebar kini terkatup rapat.

“Apa? Kamu minta dimakan segera?”

Pak Menteri mengangguk pasrah.

Ransomware menggelengkan kepala keheranan. Tapi akhirnya dia tertawa geli.

“Hehehe... aku hanya bercanda, Pak Tua. Seru loh, main kejar-kejaran seperti ini. Tapi ya, sudahlah kalau kamu sudah menyerah.”

Ransomware mencari sesuatu di antara sisik-sisik punggungnya yang keras. Begitu tangannya ditengadahkan, nampak sebuah kunci besar dari perak di situ. Bentuknya antik, seperti kunci pintu istana pada kisah-kisah dongeng.

Sekarang ganti Pak Menteri yang keheranan.

“Apa ini?”

“Ini kunci pintu untuk keluar dari labirin mimpimu, Pak Tua. Dimulai dari pintu di belakang itu. Setiap kali selesai membuka sebuah pintu, kamu harus segera mencari pintu lain yang akan mengantarmu semakin dekat dengan dunia nyata. Paham?”

“Hmm... oke.”

“Ini ambil kuncinya, lalu pergilah cepat sebelum pintu-pintu itu menghilang,” sambung Ransomware lagi.

“Hah? Pintunya bisa menghilang?”

“Iya, makanya cepat!”

Pak Menteri pun tergopoh-gopoh meraih kunci di atas telapak tangan Ransomware lalu bergegas membuka pintu kayu di belakangnya.

Ransomware benar. Setelah pintu kayu itu terbuka, Pak Menteri masuk ke sebuah koridor yang panjang. Di ujung koridor, terpampang sebuah pintu lain berwarna merah tua. Pak Menteri berlari cepat-cepat menuju ke pintu merah tua itu. Dengan menggunakan kunci yang sama, dia membuka pintu tersebut.

Pintu terbuka dan kini Pak Menteri berada di sebuah taman penuh bunga.

Di mana gerangan pintu berikutnya?

Pak Menteri melangkahkah kakinya di antara rerumputan sambil mengedarkan pandangannya. Ah, ada sebuah pintu putih bersih berdiri di samping pohon apel, tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Dia segera berlari ke pintu itu dan membukanya. Di balik pintu, ada ruangan lain berbentuk aula dengan panggung besar di salah satu sisi dindingnya. Di atas panggung itu ada pintu lain yang sudah menunggu.

Demikianlah, Pak Menteri membuka pintu demi pintu yang mengantarnya ke berbagai tempat. Dia sendiri tidak sempat menghitung lagi berapa banyak pintu yang sudah terbuka, seperti juga tidak bisa menghitung berapa kali dia pingsan dan bermimpi lebih dalam.

Pada akhirnya dia sampai di pintu terakhir. Pintu itu tertanam di kaki tebing batu. Ya, dia ingat tempat ini. Di sini pertama kali dia melihat monster Ransomware dari jarak dekat.

Kunci perak dimasukkan ke lubang kunci. Pak Menteri mengembuskan napas panjang-panjang, sebelum memutar kunci tersebut.

Cklek!

Perlahan-lahan dia memuntir gagang pintu dan mendorongnya agar membuka lebih lebar.

Sekonyong-konyong tubuhnya tersedot dengan cepat ke balik pintu, lalu terputar-putar seperti gasing di ruangan hampa sebelum akhirnya jatuh dengan deras dan ... semuanya hitam gelap.

“Haah!?”

Pak Menteri terbangun dari tidurnya. Keringat sebesar biji jagung membanjiri kening dan membasahi baju kaosnya.

Dia memandangi lamat-lamat semua benda-benda di sekitarnya. Jam dinding, meja kerja, kaca rias milik istrinya, tempat tidur, kasur ....

Pak Menteri lega. Ini benar-benar dunia nyata. Dia sekarang berada di rumah, di kamar tidurnya sendiri. Matahari pagi yang masih bersinar malu-malu mengintip dari balik jendela.

Istri tercinta sudah menghilang dari kamar. Biasanya dia memang bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjan rumah lainnya.

Pak Menteri meregangkan tangannya, lalu beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke arah meja. Di situ ada gelas air putih setengah terisi. Dia membuka tutup gelas dan meneguk isinya sampai habis.

Mimpi ini ada-ada saja bentuknya, batinnya.

Tiba-tiba terdengar suara derak kayu patah. Pak Menteri terkejut dan mencari asal suara itu. Sepertinya berasal dari lemari pakaian di pojok kamar. Dia mendekat sambil memicingkan mata.

Jantung Pak Menteri hampir lompat keluar, ketika pintu lemari terbuka dan wajah mengerikan muncul dari dalam. Wajah itu masih sangat lekat di ingatan, wajah monster dengan belasan mata merah.

“Ssst..., Pak Tua!,” bisiknya. “Mana kunci peraknya?”

Mata dan mulut Pak Menteri membulat. Kunci perak? Bukannya tadi itu hanya mimpi?

Pikirannya campur aduk dan berputar-putar, lalu kembali jatuh tidak sadarkan diri.


--- 


Pertama kali tayang di Kompasiana

Ilustrasi gambar oleh Ettiane Marais dari pixabay.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:






Komentar