Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Di teras rumah yang sepi, Jono duduk di atas kursi rotan sambil memangku gitar bolong. Jemari tangan kirinya lincah berpindah-pindah senar, selaras dengan gerakan tangan kanannya. Jono mengikuti melodi dari gawai yang tergeletak pasrah di sisi Jono.
Lagu itu adalah lagu lawas dari Band Kucai, band favoritnya yang beraliran pop rock. Memang, lebih dari setengah daftar lagu dalam gawai Jono itu adalah lagu-lagu dari Band Kucai ini, mulai dari album paling pertama sampai album teranyar.
Beberapa jangkrik yang tadi masih berbunyi sesekali, kini hening
karena tahu diri. Bulan sabit yang baru saja naik ke langit malam juga seperti betah
menikmati alunan gitar Jono.
Keasyikannya bermain gitar terganggu sejenak karena gawainya
bernyanyi nyaring pertanda ada panggilan masuk. Setelah dicek, itu dari
panggilan dari Bahrun kawan karibnya dari sebelah kompleks.
“Kenapa, Run?” Jono menjawab panggilan itu.
“Jon, ke pos depan kompleks, yuk, kurang satu orang lagi untuk
main kartu remi!”
Jono menjawab dengan mengecilkan volume suara, takut
istrinya di dalam mencuri dengar.
“Masa sih?”
“Iya, cepetan!”
“Tapi … gak enak, Run. Istri lagi sibuk tuh di dapur, ngurus
pesanan catering orang. Kalau aku menghilang begitu saja, bisa-bisa dimakan
hidup-hidup pulang nanti.”
Bahrun terdiam sejenak.
“Mm… ya, udah kalau gitu. Aku telepon Eko atau Bambang. Eh,
sudah tahu kabar terbaru, belum?”
Jono mengernyitkan kening.
“Ya, belumlah, dodol! Kabar terbaru apa?”
“Itu, Muklis Kucai, gitaris band favorit kamu itu… sekarang
dia kan diangkat jadi Komisaris BUMN,” lalu Bahrun terkekeh kecil.
“Masa sih?”
“Iyaa, Jon. Makanya jadi fans jangan terlalu buta. Sudah aku
bilang dari dulu, Kucai tuh main politik juga. Kamu gak percaya. Coba buka
berita deh, eh, udah dulu ya, si Eko nelpon nih,” lalu tanpa menunggu jawaban
Jono, Bahrun langsung mengakhiri percakapan mereka.
Jono pun buru-buru berselancar ke beberapa portal berita di
gawainya. Memang benar kata Bahrun.
“Sialan!,” umpat Jono. “Ternyata Muklis Kucai memang sudah
terkontaminasi politik, dari gitaris mau aja diangkat jadi komisaris oleh
rezim. Ah, terpaksa aku ganti band favorit sekarang.”
“Yee! Mending dari gitaris jadi komisaris,” tahu-tahu Mirna,
istrinya muncul dari balik pintu. Rupanya sejak Jono menerima telepon tadi, dia
sudah menguping dari situ. Rambut Mirna masih berantakan dan ada bercak-bercak
tepung di sana-sini, pertanda memang sedang berjibaku di dapur.
“Dari pada kamu, dari pegawai kantor jadi gitaris gak jelas!
Bantuin kek di belakang, ngatur makanan ke kotak. Itu setengah jam lagi
orangnya Bu Maimunah mau datang ambil pesanannya!” sambung Mirna lagi.
“Iya, iya, berisik amat sih,” gerutu Jono, sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal dan berdiri malas-malasan mengekor Mirna ke dalam
rumah.
Beberapa bulan lalu, Jono memang terkena imbas perampingan struktur
karyawan di kantornya. Setelah itu dia mencari nafkah dengan menjadi tukang
ojek, sambil memasukkan aplikasi lamaran ke berbagai perusahaan. Tapi ya, kalau
mau dihitung-hitung lagi, memang lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk
bermain gitar bolong, salah satu hobi yang semakin ditekuni sejak terkena PHK.
Untung saja istrinya memang terkenal jago masak sampai ke
kompleks-kompleks perumahan tetangga. Jadi selama ini mereka lumayan sukses menyambung
hidup dari bisnis catering kecil-kecilan.
Gawai Jono berbunyi lagi.
“Kenapa lagi ini si Bahrun?” gumam Jono.
“Jangan diangkat!” seru Mirna.
“Kok jangan diangkat, Ma? Siapa tahu mau pesan catering
kita?”
“Mmmh…,” Mirna mencibir, “paling diajak main kartu remi di
pos depan!”
Jono terkejut lalu tersenyum malu-malu, persis kucing yang tertangkap
basah sedang ngincar ikan goreng di meja makan.
“Kok tahu, Ma?”
“Ya, tahulah! Pokoknya kalau kamu jawab teleponnya, nanti malam
tidur di teras.”
Nah, kalau itu skak mat namanya. Jono pun langsung membuang
gawainya yang masih bernyanyi ke atas sofa lalu buru-buru ke dapur.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar