Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Apa yang Kamu Pikirkan Ketika Hujan?



“Apa yang kamu pikirkan ketika hujan?”

Pertanyaan itu mengalun pelan dari bibir Maya sembari menatap kaca rumah yang memburam karena tarian hujan diluar sana. Aku memandang lurus ke dalam mata beningnya, mencoba menangkap maksud pertanyaan barusan.

“Mm…. hujan ya… waktunya tidur dan membungkus badan dengan selimut yang hangat…,” jawabku sekenanya.

Maya terdiam sejenak kemudian tersenyum kecil.

“Dasar pemalas….,” sahutnya lalu menepok kepalaku dengan majalah yang sejak tadi dipelototinya. 

Dia pun meninggalkan meja makan dan spagetthi instan yang tinggal sesuap menuju ke ruang tamu.
Aku mengekor setelah menghabiskan kopi jaheku yang masih hangat dan mengepul.


Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 17.15. Aku lihat Maya sudah memakai kembali sepatu dan jaket rajutannya. Padahal hujan tambah deras saja sepertinya.

“Mau kemana?” tanyaku.

“Ya mau pulanglah…,”

“Kan masih hujan, beb.”

“Kan ada kamu yang nganterin….,”

Aku mengerling ke atas dengan ekspresi pura-pura letih.

“Tuh kan, giliran diminta tolong susaaaah banget. Ayo dong beb, udah hampir malam nih... Aku ada janji sama Nirina dan Helen sebentar.”

Aku tercekat. Helen?

Bersamaan dengan itu tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar memekakkan telinga. Aku dan Maya refleks menutup kuping masing-masing.

“Kok Helen?”

“Iya, sori… sori…! Aku salah, maksud aku Ruby. Kok bisa salah sebut gitu ya?” sahut Maya.
Kami berdua terdiam sebentar.

“…Ya udah. Aku antar pulang sekarang ya. Mesti buru-buru nih. Biasa kalau hujan begini jalanan di depan kompleks banjir parah.”

“Rob…,”

Ada keragu-raguan dari mata Maya.

“Kenapa?”

“Ng…. aku.. Kok aku jadi berdebar begini, ya?!”

“Gara-gara salah sebut nama tadi kali…”

“Iya, mungkin…”

Aku lalu mengambilkan Maya segelas air putih hangat.

Di luar langit semakin kelam, seolah menyedot berkas cahaya apapun di bawahnya. Hujan juga masih terus menghujam bumi dengan deras.

Maya terduduk kaku di atas sofa dan menyesap air dalam gelas yang kuberikan perlahan. Ada sebaris ketakutan yang muncul dari air mukanya.

“Kamu ada kerjaan ya malam ini?”

Maya menggeleng.

“Janjian sama Nirina dan Ruby itu urusan kerjaan ya?”

Maya menggeleng lagi.

“Ng.. Bagaimana kalau janjiannya kamu cancel dulu terus malam ini kamu gak usah balik ke apartemen dulu? Nginap disini aja…”

Maya menghembuskan udara yang memenuhi paru-parunya.

“Aku nggak enak sama tetangga-tetangga kamu…,”

“Ooh. Gak apa-apa. Lingkungan disini cukup moderat, kok.  Mereka bisa mengerti, yang penting jangan sampai bikin onar dan mengganggu ketenangan kompleks. Lagian kamu kan cuman nginap doang.”

Maya terlihat lebih tenang.

“ Kalau perlu, kamu tidur dalam rumah biar aku tidur di pos depan sana…,”

Senyuman kembali tersungging di bibirnya.

“Justru aku pengen nginap karena takut sendirian, dodol… eh, malah mau ditinggalin sendiri..”

Aku tertawa.

 *******
Sejam kemudian, hujan mulai mereda. Namun tariannya masih terdengar jelas.
Maya telah menyalin pakaiannya dengan kaos oblong milikku. Gadis yang telah menjadi kekasihku setahun ini terlihat lincah membalik ikan Kerapu utuh di atas minyak panas. Makhluk malang itu akan jadi menu makan malam kami. Di belakang, aku kebagian tugas mengiris bawang, tomat dan cabe untuk bahan sambal.

Sejak tadi aku berusaha menghibur kegalauan yang kadang-kadang muncul dari wajahnya dengan guyon-guyon segar. Aku puas jika dia bisa tertawa lepas. Walaupun kami sudah berpacaran lama, jarang-jarang kami bisa berdua seharian seperti hari ini.

Kami punya kesamaan, sama-sama workaholic dan ambisius dalam mengejar target-target yang dibebankan perusahaan kami. Dia seorang manajer pemasaran, sedangkan aku supervisor pembiayaan. Jadi rasanya bahagia, bisa larut dalam momen seperti ini.

Sebenarnya ada pekerjaan yang aku bawa pulang. Besok pagi aku harus memberikan report mingguan pada atasan, budaya perusahaan kami saban Senin tiba. Tapi aku bisa mengerjakannya subuh besok. Jam-jam ke depan ini biarlah menjadi milik kami berdua. Kami pun menghabiskan malam dengan menonton record acara stand up comedy, melahap berita politik dan mengomentarinya persis pengamat profesional lalu menonton satu dua film box office di channel TV kabel.

Sampai waktu menunjukkan jam 10 lewat 30 menit, Maya sudah beberapa kali menguap panjang.
Aku pun mempersilahkannya menempati kamar tamu. Rumah yang aku kontrak dua tahun terakhir ini memiliki tiga kamar. Dua kamar utama dan satu kamar tamu. Kamar tamu terletak di sisi ruang nonton. Luasnya terbatas memang, tapi aku selalu menjaganya tetap bersih, karena sesekali ada sanak keluarga dari kampung yang mampir atau transit.

“Terus kamu tidur dimana?” tanyanya.

“Ya, di tempat tidur dong, masa di toilet...,” candaku.

Maya sedikit merajuk.

“Memang kamu maunya aku tidur dimana? Bareng-bareng gitu? Kan belum boleh…!”

“Yeee… siapa juga yang minta begitu. Mm.. kamu tidur depan TV aja boleh ya. Biar jangan jauh-jauh…”

Aku menggaruk-garuk kepala membayangkan nyamuk-nyamuk kesasar yang melahap tubuhku nantinya. Tapi aku menyanggupinya juga. Maya pun mengangkat tangan tinggi-tinggi persis ibu-ibu arisan menang lotere.
*****
Haaaahh……!! Listrik padam?!

Entah sudah berapa lama aku terlelap. Begitu tersadar, suasana rumah gelap gulita. Sesekali hanya berkas sinar petir dari luar sana yang menyeruak masuk melalui sela-sela kain korden. Badanku terasa penat sekali. Aku pun beranjak perlahan dari sofa yang jadi alas tidurku malam ini.

Apa Maya baik-baik saja? Itu pertanyaan pertama yang muncul dalam benakku. Aku pun memanggil namanya dari luar kamar. Tak ada jawaban.

Aku ingat, aku meletakkan korek api untuk menyulut obat anti nyamuk bakar di sekitar meja tamu. Aku pun meraba-raba seluruh permukaan meja. Ah, aku berhasil menemukannya. Aku memantik korek api itu sekali sentak.

Ruang tamu menjadi sedikit lebih terang tapi……

“Aarggh…!!”

Aku jatuh terjengkang karena terkejut setengah mati. Ruangan kembali gelap gulita. Seperti ada sosok wanita di depan pintu kamar yang ditempati Maya. Aku melihat wajahnya sekilas di balik rona cahaya korek api. Wajahnya begitu pucat dan menatapku dengan sendu. Anehnya, wajah itu seperti familiar.

Ah, aku tidak boleh berpikir dulu saat ini. Tanganku aku gerakkan cepat untuk meraih korek api yang terjatuh di sampingku. Cahaya dari korek api kembali terpancar. Sosok itu masih ada disana. Aku benar-benar merinding sekarang…

Wanita itu mengucapkan sesuatu, samar.

Dia lalu mengulanginya lagi. Aku tidak begitu mendengarnya,… barulah ketika dia mengucapkannya untuk ketiga kali,

“….dia yang membunuhku…,”

Indra pendengaranku berhasil menangkap seluruh suaranya. Aku mengernyitkan kening.

“Dia yang membunuhku….. Dia yang… MEMBUNUHKUUU…..!!!!”

Sosok itu tiba-tiba sudah berdiri tepat di depanku. Aku kembali berteriak ketakutan..
lalu sambil terjatuh, nama itu terpatri di benaku lekat-lekat. Helen…. ya, wanita itu adalah Helen dalam rupa yang lebih menyeramkan.

Lalu semuanya menjadi begitu aneh. Aku terjatuh dalam lautan cahaya dalam mode slowmotion. Aku melihat dunia di sekitarku terputar-putar, atau mungkinkah aku yang sedang terjungkal balik?

Bukankah Helen telah pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya, lebih dari setahun lalu? Apa yang ingin disampaikannya?
*********
Aku membuka mata dan merasakan sekujur tubuhku basah oleh keringat.

Oalah, mimpi buruk ternyata!
Samar-samar aku bisa melihat jam di atas sana. Jarum pendek jam telah melewati angka dua. Sementara itu, di luar desah hujan masih bisa terdengar. Hujan belum benar-benar pergi malam ini.

Mengapa Helen mendatangiku lewat mimpi?

Aku bergegas meninggalkan sofa di depan TV untuk mengambil segelas air di dapur. Saat melewati kamar yang ditempati Maya, aku membuka gagang pintu untuk melihat keadaan di dalam. Mudah-mudahan dia tertidur pulas tanpa mimpi buruk seperti yang aku alami arus.

Dengan pencahayaan lampu tidur yang minimalis aku bisa melihat dia tertidur tenang di balik selimut. Syukurlah.

Tapi begitu hendak menutup pintu samar-samar gema suara dari mimpiku terdengar kembali,

“….dia yang membunuhku….,”

Bulu kudukku merinding kembali. Aku lalu menyalakan lampu kamar dan kembali berteriak terkejut.
Dalam posisi tidur, mata Maya membelalak hebat. Nampaklah padaku sekarang, kedua tangannya tersilang di depan lehernya. Sepuluh jarinya melekat begitu rapat mencengkeram leher yang jenjang itu.

Aku berteriak pilu memanggil namanya…. namun nampaknya dia tidak akan pernah bisa menjawabku lagi.
*******
15 bulan yang lalu.

Hujan deras tengah melanda metropolitan. Siang itu empat sekawan, Nirina, Helen, Ruby dan Maya sedang berada di dalam salah satu resto elit untuk menikmati makan siang mereka. Mereka adalah sosok wanita eksekutif yang bisa dikatakan meraih sukses di usia relatif muda.

Keempatnya penuh optimisme dalam setiap derai tawa dan keriaan mereka, menyaingi riuh gemercik hujan di luar sana.

“Eh, ngomong-ngomong bagaimana kamu dan Roby?” tanya Nirina spontan ke depan wajah Helen.

Yang ditanya tersipu-sipu malu.

“Entahlah, cowok itu berbeda. Kerap mati gaya aku dibuatnya…,” sahut Helen.

“Nah, itu memang tanda-tanda orang lagi falling in love, kan? Mati gaya…,” sambung Ruby.

Mereka kembali larut dalam tawa. Tiga dari empat orang itu tidak tahu, salah satu dari mereka tengah menyimpan cemburu membara…. juga dilema. Di satu sisi, dia harus mendukung kawan karibnya meraih cintanya, di sisi lain dia juga menyimpan perasaan yang sama pada lelaki itu.

Malaikat dan iblis tengah bertarung dalam pikiran Maya, di bawah atap restoran yang tengah di dera derasnya hujan. Akhirnya di penghujung pertemuan mereka siang itu, iblislah pemenangnya. Saat ketiga kawannya meninggalkan meja untuk merapikan riasan di toilet restoran, Maya mengeluarkan botol kecil berisi serbuk obat dan menuangkannya ke dalam teh melati milik Helen.

Sekembalinya dari toilet, Helen masih sempat menyesap minuman itu sebelum keempatnya berpamitan satu sama lain untuk kembali melanjutkan aktivitas mereka.
*****
Hujan masih deras, dan jalanan sedikit lengang. Helen merasa leluasa meninggikan kecepatan mobilnya. Namun beberapa saat kemudian dia merasa pusing tiba-tiba. Pandangannya serasa berputar-putar. Sesuatu dalam dirinya seperti sedang menarik kesadarannya pergi jauh-jauh.
Dia jadi tidak memperhatikan lagi arah mobilnya, warna lampu lalu lintas dan sebuah truk gandeng yang melintas dengan kecepatan tinggi ke arahnya. Lalu…. tabrakan maut pun tidak terhindarkan lagi.

Helen yang bersimbah darah masih sempat dilarikan ke rumah sakit oleh warga di sekitar lokasi kecelakaan, namun nyawanya tidak tertolong lagi dalam perjalanan.
******

“Apa yang kamu pikirkan ketika hujan?”

_______________________________

ilustrasi gambar dari: photobucket.com

pertama kali ditayangkan di fiksiana.kompasiana.com
 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Anonim mengatakan…
Serem... Cemburu emang menyerahkan efeknya...

Tapi kalau lagi hujan...saya suka kepikiran sama utang2 saya mas... :D
Duh, endingnya........

Kalo saya ujan malah mikirin jemuran, lupa belom dimasukkin, ahahaa =D
Anonim mengatakan…
Khas emak-emak#eh
Fabina Lovers mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Fabina Lovers mengatakan…
Syerem, imajinasinya kereen euy.
pical gadi mengatakan…
Hehehe.... masih kalah-lah sama bu Fabina :)
Makasih sudah singgah ya
pical gadi mengatakan…
Hahaha.... kok sama ya mbak Putri
pical gadi mengatakan…
Walah, jauh amat hujan sama utang mbak Dyah :)
Makasih sudah mampir yaa
Tiwi's Corner mengatakan…
Serem! Untung sekali bacanya msh pagi begini :-)
Salam kenal pak Pical Gadi :-) Bagus2 tulisannya
pical gadi mengatakan…
Trims mbak Tiwi :)
Salam kenal
Unknown mengatakan…
Keren dah sudah banyak postingannya
pical gadi mengatakan…
Sipp. Makasih sudah mampir yah