Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.
Tanda baca warna-warni itu adalah tanda bagaimana seharusnya
dia mengatur intonasi pidatonya. Kapan harus meninggikan suara, kapan harus
merendah, kapan harus menggunakan suara yang dalam dan pelan, kapan harus
berbicara santai, kapan harus berbicara tegas, kapan harus menggunakan nada
marah-marah, kapan harus tersenyum, bahkan ada juga tanda untuk berkata-kata
setengah menangis ala telenovela.
Tanda baca itu kreasi salah satu staf khususnya, anak muda yang
memang ahli retorika, jebolan universitas top luar negeri. Selain memudahkan
presiden mengatur napas dan memberi penekanan, tanda baca itu juga membantu
presiden memberi “jiwa” pada pidatonya. Apalagi kali ini dia akan berpidato di
depan para menteri setelah rapat kabinet yang panjang dan melelahkan.
“Naskahnya sudah oke kan, Jo?” tanya presiden pada Joshua,
staf khusus yang menyusun pidatonya. “Kalau sudah oke, saya tidak perlu
pelajari sampai belakang. Para menteri sudah menunggu soalnya.”
Joshua memamerkan jempol di depan jas hitamnya. “Sudah,
Pak. Naskahnya saya persiapkan khusus tiga hari tiga malam. Goal-nya para menteri terdorong
meningkatkan kinerja kan, Pak?”
“Betul. Dan sekaligus peringatan agar kalau ada yang kena
kartu merah nanti bisa lebih legowo…”
“Siap, Pak. Beres. Semua sudah terkonsep dengan baik,”
sahut Joshua.
“Oke, saya percaya sama kamu.”
Presiden pun memberi kode kepada dua ajudannya dan mereka
bergegas keluar ruangan.
“Good luck, Pak,”
ucap Joshua sebelum presiden menghilang di balik pintu.
Dari layar Joshua dapat melihat presiden memasuki aula yang
telah dipenuhi para menteri dan jajaran menuju ke podium. Dia pun meneguk air
mineral botol dengan kalap. Walaupun sudah cukup sering bertemu dengan presiden,
keadaan itu selalu sukses membuatnya tegang sampai kadang lupa kalau lehernya
sudah kering kerontang.
Presiden berpidato selama 25 menit, sesuai dengan prediksi
Joshua. Hanya saja yang “sedikit” tidak berjalan sesuai skenario adalah
marah-marah presiden terdengar hampir di sepanjang pidato. Padahal jika sesuai
konsep, mestinya “marah-marah” itu hanya 25% saja dari naskah. Pada beberapa
bagian, presiden memang berimprovisasi tapi tetap tidak jauh menyimpang dari
naskah yang telah disiapkan.
Jawaban diperoleh, setelah presiden dan kembali masuk ke
ruangan.
“Bagaimana pidato saya, Jo?” tanya presiden.
“Sesuai konsep sih,
Pak. Hanya sepertinya nada tingginya kebanyakan,” jawab Joshua hati-hati.
Presiden tertawa kecil. “Ya, itu juga bagian dari
improvisasi. Selain itu, saya tadi sedikit ‘blank’ jadi beberapa tanda baca
kelupaan artinya. Ya udah, sekalian pakai nada tinggi aja semua.“
Joshua mengangguk-angguk sambil membulatkan mulutnya.
“Harap maklum, otak sudah tidak seprima waktu muda dulu.
Hehehe,” presiden tertawa lagi. “Ya, udah. Terima kasih banyak ya, Jo. Naskah
kamu nendang banget tadi.”
“Sama-sama, Pak.”
“Baik, saya tinggal dulu, ya. Mau ada dinner sama para dubes sebentar lagi.”
“Baik, Pak. Semoga acaranya lancar jaya,” balas Joshua.
Mereka bersalaman dan presiden bersama ajudan meninggalkan ruangan.
Joshua baru bisa bernapas dengan lega setelahnya. Dia pun
mengeluarkan HP dan membaca tumpukan pesan demi pesan yang masuk. Salah satu
pesan yang menarik perhatiannya adalah whatsapp
dari menteri KKP.
Bro, tadi presiden marah banget ya. Baru kali
ini pidatonya nge-gas terus dari hulu sampai hilir.
Joshua tersenyum, lalu mengetik pesan balasannya.
Tenang saja, Pak. Nada tinggi kan belum tentu
marah…
Tanpa sepengetahuan Joshua, pesan itu diteruskan menteri
KKP ke grup whatsapp internal para
menteri. Presiden tidak ada di grup tersebut, jadi mereka bebas berkeluh kesah,
bercanda, saling sikut dan saling ledek tanpa sepengetahuan pak presiden.
Tenang saja, Bro. Nada tinggi kan belum tentu
marah…
Ini jawaban staf khusus bos, gaess. Gak usah
takut,
tulis menteri KKP.
Chat demi chat pun berbalas-balasan di grup.
Huff, lega, gw tadi udah takut bakal jadi
yang pertama kena reshuffle, tulis menteri keuangan.
Samaa… gw malah udah telepon orang rumah
untuk siap-siap pindahan dari rumah dinas, tulis menteri kesehatan.
Kalian sih terlalu parno,
sambung menteri PUPR.
Menteri KKP pun kembali menulis pesan whatsapp untuk Joshua.
Syukurlah, Bro. Kami sudah was-was, kalau
sampai presiden marah dan ada menteri yang kena reshuffle.
Joshua terkejut dengan pesan itu. Dia takut, para menteri
menyalahartikan pesan yang barusan dia kirim. Dia pun segera membalas,
Eh, tapi nada tinggi juga bisa berarti
benerah marah, loh.
Menteri KKP juga terkejut dengan jawaban itu, lalu
buru-buru meneruskannya ke whatsapp group
para menteri.
Grup pun kembali riuh.
Di dalam mobil kepresidenan yang sedang melaju ke arah
selatan ibu kota, presiden dan menteri sekretaris negara duduk berdampingan
dengan hening. Mensesneg terpaku sambil memaki-maki dirinya dalam hati. Kenapa
tadi waktu pak presiden meminta HP-nya dia langsung mengiyakan saja, tidak pura-pura
ketinggalan atau low batt, biar ada
alasan untuk tidak menyerahkan HP-nya.
Saat ini presiden sedang membaca grup internal para menteri
sambil geleng-geleng kepala. Dari rentetan percakapan dalam grup tersebut, dia
jadi semakin yakin dengan rancangan reshuffle
yang sudah disiapkannya.
Eh, tumben pak sesneg diem-diem malam ini.
Dari tadi cuman read doang, tulis menteri KKP di dalam grup.
---
Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari pixabay.com/mohamed Hassan
Komentar