Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Paranoid

 



Sejak melaporkan anak Pak Camat ke kepolisian setempat, kehidupan Baron berubah drastis. Dalam waktu singkat namanya menjadi buah bibir mulai dari lobi hotel berbintang sampai sudut-sudut warung kopi.

Sejumlah orang berpihak pada Baron, terutama lawan politik Pak Camat, tapi tidak sedikit pula yang mencibirnya. Mereka menganggap Baron hanya mencari sensasi saja.

Selamat ini Baron lebih dikenal sebagai makelar proyek. Dia kebetulan kenal dengan sejumlah pebisnis dan kontraktor bangunan. Jadi setiap berhasil menghubungkan mereka dan ada satu proyek yang closed trasanction, dia mendapat fee dari kontraktor. Angkanya kecil-kecilan saja, toh Baron bukan makelar resmi. Tapi lumayanlah untuk tambah-tambah uang saku, apalagi dia sekarang masih pengacara alias pengangguran banyak acara.

Nah, pada proyek terakhir yang diincarnya, sebuah proyek pembangunan klinik kesehatan besar, timnya kalah tender dari PT di mana anak pak Camat menjadi salah satu pemiliknya.

Baron sudah diiming-imingi fee besar kalau proyek tersebut dimenangkan rekanannya. Tapi harapannya pupus. Baron pun menduga ada kecurangan yang dilakukan perusahaan milik anak Pak Camat. Apalagi sebelumnya dia mendengar kabar burung kalau anak Pak Camat pernah terlihat makan malam bersama dengan konsultan perencana pemilik klinik.

Baron pun menghubung-hubungkan dugaan demi dugaan untuk memperkuat argumennya. Ditambah pemikiran kalau anak penyelenggara pemerintahan daerah mestinya tidak boleh terlibat bisnis seperti itu, karena sangat besar potensinya mendistorsi keputusan mitra-mitra bisnisnya.

Baron pun memberanikan diri melaporkan dugaan suap itu ke pihak kepolisian dengan data seadanya.

Dia tidak pernah menyangka laporan itu membawa dia pada peruntungan yang lain. Setelah kabar tersebut beredar, dia mulai diundang pada forum-forum pelajar atau mahasiswa untuk memberikan pandangan-pandangan hukum. Tidak ada masalah besar sebenarnya, karena dia lulusan fakultas hukum. Beberapa kali dia juga jadi pembicara pada pertemuan tingkat RT atau RW untuk memberikan pemikiran. Baron dianggap sebagai figur baru, anak muda yang anti mainstream karena berani berhadapan dengan anak pemerintah setempat.

Setiap kali diundang berbicara dia selalu diganjar “amplop” untuk pengganti bensin, bahasa sopannya. Malah akhir-akhir ini, Baron mulai berani menanyakan uang amplopnya dulu di depan sebelum membuat janji mengisi sebuah acara.

Follower media sosialnya juga naik drastis. Setiap kali update, status yang tidak penting sekalipun, selalu banjir komentar dan vote. Akhir-akhir ini beberapa vendor mulai membuka komunikasi untuk mengajak Baron menjadi influencer produk mereka.

Akhirnya sudah lama tidak ada respon dari pihak kepolisian pun tidak membuatnya terganggu. Abaikan saja. Toh, sumber-sumber pendapatan baru bermunculan.

Tapi rupanya buntut pelaporan itu tidak semuanya berbuah manis.

Baron merasa dua hari ini rumahnya diintai orang-orang tidak dikenal. Gerobak bakso, gerobak jagung dan gerobak-gerobak lain mendadak ramai melintas di depan rumahnya.

Dia pun mewanti-wanti Bapak dan Emaknya agar jangan keluar rumah dulu kalau tidak perlu-perlu amat. Emak dan bapak hanya geleng-geleng kepala saja.

---

Gaes, dua hari ini ada orang tidak dikenal yang memata-matai rumah aku. Tetangga juga bilang gitu. Memang sih harus kuat mental jika ingin berperkara dengan anak pejabat, gaes!

Demikian status twitter Baron sore ini.

Dalam waktu singkat, twit tersebut mendapat puluhan balasan.

Stay safe, ya, Bang Baron

Apa gak dilaporin ke polisi aja, Bang? Apalagi kalau ada bukti CCTV!

Hati-hati ya Bang

Begitulah rezim otoriter. Sukanya menakut-nakuti rakyat.

dan aneka jawaban lainnya.

Baron asyik membaca satu per satu balasan twitnya di ruang tamu, sambil sesekali tersenyum. Dia terkejut saat menengok ke arah pintu yang terbuka. Dia pun buru-buru bersembunyi di bawah jendela, agar tidak terlihat dari luar.

Orang tidak dikenal itu muncul lagi. Kali ini dia mulai berani mengintip dari balik pagar besi yang membatasi halaman rumah dan jalanan.

Baron baru mau mengangkat HP-nya perlahan-lahan untuk mencoba mengambil video orang itu dari balik jendela saat emak muncul dari dalam. 

“Ada apa sih? Kayak maling jemuran dikejar massa gitu?” tanya Emak.

Baron menempelkan telunjuk di depan bibir untuk menyuruh Emaknya diam. Tapi perhatian Emak beralih pada suara panggilan dari luar pagar.

“Iyaa, cari siapa ya?” sahutnya, sambil berlalu meninggalkan Baron dan beranjak ke teras, tidak peduli Baron setengah mati memberi isyarat ‘jangan keluar’.

“Cari siapa ya?” tanya Emak lagi. Saat ini dia sudah berdiri di ujung teras.

Laki-laki tak dikenal yang berdiri di luar pagar menyahut sopan. “Maaf mengganggu, Bu. Mas yang rambutnya gondrong sebahu tinggal di sini ya?”

“Oh, si Baron ya? Iya bener. Ada apa ya?”
Baron yang menguping pembicaraan itu dari dalam menepuk jidatnya.

“Ng… ini, Bu. Saya mau minta kembali mangkok bakso saya. Minggu lalu Mas Baron beli bakso saya, waktu itu saya belum sempat ambil kembali mangkoknya karena keburu dipanggil ke ujung jalan. Waktu kembali, Mas-nya sudah gak ada. Berapa hari ini saya ke sini, tapi selalu gak ada orang, Bu.”

Emak terkejut.

“Eh, baksonya sudah dibayar, belum?”

“Oh, kalau baksonya sudah dibayar kok, tinggal mangkoknya aja.”

Baron mengernyitkan keningnya untuk mengingat-ingat. Ya ampun! Benar, dia hampir lupa peristiwa itu.

“Heh, itu ada tukang bakso minta mangkoknya dibalikin. Bener gak tuh?” sekonyong-konyong Emak sudah muncul di samping Baron.

“Iya, bener, Mak. Mangkoknya masih ada, kok.”

Baron pun buru-buru berlari ke dapur untuk mengambil mangkok itu lalu keluar untuk menyerahkannya kembali ke abang baksonya.

“Waduh, maaf banget ya, Bang, kemarin kelupaan. Nih, mangkoknya aku balikin. Sudah dicuci bersih kok,” ucap Baron sembari menyerahkan mangkuk itu.

“Gak apa-apa, Mas. Terima kasih ya,” sahut abang tukang bakso lalu pamit.

Dia kembali menarik gerobak bakso berwarna hijau gelap yang ternyata diparkir di seberang jalan.

Seperti sudah diperkirakan Baron, Emak pun ngomel-ngomel setelah itu. Emak memang selalu wanti-wanti agar Baron mengurangi kebiasaan lupa yang sepertinya sudah sampai taraf akut itu.

Tapi Baron tidak mau banyak ambil pusing. Dia lebih memilih menyimak kembali lini masa twitter-nya.

Sudah ratusan reply masuk. Sekarang Baron dilema, mau terus terang kalau orang tidak dikenal itu ternyata abang tukang bakso beneran, atau membiarkan saja polemik mengalir di lini masanya.

Ah, biarin saja. Masak cuman politisi yang boleh ngompor-ngomporin rakyat, batinnya lalu kembali menjatuhkan pantatnya di atas sofa yang empuk.

*** 



Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari pixabay.com 


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:






Komentar