Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Sejak melaporkan anak Pak Camat ke kepolisian setempat, kehidupan Baron berubah drastis. Dalam waktu singkat namanya menjadi buah bibir mulai dari lobi hotel berbintang sampai sudut-sudut warung kopi.
Sejumlah orang
berpihak pada Baron, terutama lawan politik Pak Camat, tapi tidak sedikit pula
yang mencibirnya. Mereka menganggap Baron hanya mencari sensasi saja.
Selamat ini Baron lebih
dikenal sebagai makelar proyek. Dia kebetulan kenal dengan sejumlah pebisnis
dan kontraktor bangunan. Jadi setiap berhasil menghubungkan mereka dan ada satu
proyek yang closed trasanction, dia mendapat fee dari kontraktor.
Angkanya kecil-kecilan saja, toh Baron bukan makelar resmi. Tapi lumayanlah
untuk tambah-tambah uang saku, apalagi dia sekarang masih pengacara alias
pengangguran banyak acara.
Nah, pada proyek
terakhir yang diincarnya, sebuah proyek pembangunan klinik kesehatan besar,
timnya kalah tender dari PT di mana anak pak Camat menjadi salah satu
pemiliknya.
Baron sudah
diiming-imingi fee besar kalau proyek tersebut dimenangkan rekanannya.
Tapi harapannya pupus. Baron pun menduga ada kecurangan yang dilakukan
perusahaan milik anak Pak Camat. Apalagi sebelumnya dia mendengar kabar burung
kalau anak Pak Camat pernah terlihat makan malam bersama dengan konsultan
perencana pemilik klinik.
Baron pun
menghubung-hubungkan dugaan demi dugaan untuk memperkuat argumennya. Ditambah
pemikiran kalau anak penyelenggara pemerintahan daerah mestinya tidak boleh
terlibat bisnis seperti itu, karena sangat besar potensinya mendistorsi
keputusan mitra-mitra bisnisnya.
Baron pun memberanikan
diri melaporkan dugaan suap itu ke pihak kepolisian dengan data seadanya.
Dia tidak pernah
menyangka laporan itu membawa dia pada peruntungan yang lain. Setelah kabar
tersebut beredar, dia mulai diundang pada forum-forum pelajar atau mahasiswa
untuk memberikan pandangan-pandangan hukum. Tidak ada masalah besar sebenarnya,
karena dia lulusan fakultas hukum. Beberapa kali dia juga jadi pembicara pada
pertemuan tingkat RT atau RW untuk memberikan pemikiran. Baron dianggap sebagai
figur baru, anak muda yang anti mainstream karena berani berhadapan
dengan anak pemerintah setempat.
Setiap kali diundang berbicara
dia selalu diganjar “amplop” untuk pengganti bensin, bahasa sopannya. Malah
akhir-akhir ini, Baron mulai berani menanyakan uang amplopnya dulu di depan
sebelum membuat janji mengisi sebuah acara.
Follower media sosialnya juga naik drastis. Setiap kali
update, status yang tidak penting sekalipun, selalu banjir komentar dan vote.
Akhir-akhir ini beberapa vendor mulai membuka komunikasi untuk mengajak Baron menjadi
influencer produk mereka.
Akhirnya sudah lama
tidak ada respon dari pihak kepolisian pun tidak membuatnya terganggu. Abaikan
saja. Toh, sumber-sumber pendapatan baru bermunculan.
Tapi rupanya buntut pelaporan
itu tidak semuanya berbuah manis.
Baron merasa dua hari
ini rumahnya diintai orang-orang tidak dikenal. Gerobak bakso, gerobak jagung
dan gerobak-gerobak lain mendadak ramai melintas di depan rumahnya.
Dia pun mewanti-wanti Bapak
dan Emaknya agar jangan keluar rumah dulu kalau tidak perlu-perlu amat. Emak
dan bapak hanya geleng-geleng kepala saja.
---
Gaes,
dua hari ini ada orang tidak dikenal yang memata-matai rumah aku. Tetangga juga
bilang gitu. Memang sih harus kuat mental jika ingin berperkara dengan anak
pejabat, gaes!
Demikian status twitter
Baron sore ini.
Dalam waktu singkat,
twit tersebut mendapat puluhan balasan.
Stay
safe, ya, Bang Baron
Apa
gak dilaporin ke polisi aja, Bang? Apalagi kalau ada bukti CCTV!
Hati-hati
ya Bang
Begitulah
rezim otoriter. Sukanya menakut-nakuti rakyat.
dan aneka jawaban
lainnya.
Baron asyik membaca
satu per satu balasan twitnya di ruang tamu, sambil sesekali tersenyum. Dia
terkejut saat menengok ke arah pintu yang terbuka. Dia pun buru-buru
bersembunyi di bawah jendela, agar tidak terlihat dari luar.
Orang tidak dikenal
itu muncul lagi. Kali ini dia mulai berani mengintip dari balik pagar besi yang
membatasi halaman rumah dan jalanan.
Baron baru mau
mengangkat HP-nya perlahan-lahan untuk mencoba mengambil video orang itu dari
balik jendela saat emak muncul dari dalam.
“Ada apa sih? Kayak
maling jemuran dikejar massa gitu?” tanya Emak.
Baron menempelkan
telunjuk di depan bibir untuk menyuruh Emaknya diam. Tapi perhatian Emak beralih
pada suara panggilan dari luar pagar.
“Iyaa, cari siapa ya?”
sahutnya, sambil berlalu meninggalkan Baron dan beranjak ke teras, tidak peduli
Baron setengah mati memberi isyarat ‘jangan keluar’.
“Cari siapa ya?” tanya
Emak lagi. Saat ini dia sudah berdiri di ujung teras.
Laki-laki tak dikenal
yang berdiri di luar pagar menyahut sopan. “Maaf mengganggu, Bu. Mas yang
rambutnya gondrong sebahu tinggal di sini ya?”
“Oh, si Baron ya? Iya
bener. Ada apa ya?”
Baron yang menguping pembicaraan itu dari dalam menepuk jidatnya.
“Ng… ini, Bu. Saya mau
minta kembali mangkok bakso saya. Minggu lalu Mas Baron beli bakso saya, waktu
itu saya belum sempat ambil kembali mangkoknya karena keburu dipanggil ke ujung
jalan. Waktu kembali, Mas-nya sudah gak ada. Berapa hari ini saya ke sini, tapi
selalu gak ada orang, Bu.”
Emak terkejut.
“Eh, baksonya sudah
dibayar, belum?”
“Oh, kalau baksonya
sudah dibayar kok, tinggal mangkoknya aja.”
Baron mengernyitkan
keningnya untuk mengingat-ingat. Ya ampun! Benar, dia hampir lupa
peristiwa itu.
“Heh, itu ada tukang
bakso minta mangkoknya dibalikin. Bener gak tuh?” sekonyong-konyong Emak sudah
muncul di samping Baron.
“Iya, bener, Mak.
Mangkoknya masih ada, kok.”
Baron pun buru-buru
berlari ke dapur untuk mengambil mangkok itu lalu keluar untuk menyerahkannya
kembali ke abang baksonya.
“Waduh, maaf banget
ya, Bang, kemarin kelupaan. Nih, mangkoknya aku balikin. Sudah dicuci bersih
kok,” ucap Baron sembari menyerahkan mangkuk itu.
“Gak apa-apa, Mas.
Terima kasih ya,” sahut abang tukang bakso lalu pamit.
Dia kembali menarik
gerobak bakso berwarna hijau gelap yang ternyata diparkir di seberang jalan.
Seperti sudah
diperkirakan Baron, Emak pun ngomel-ngomel setelah itu. Emak memang selalu
wanti-wanti agar Baron mengurangi kebiasaan lupa yang sepertinya sudah sampai taraf
akut itu.
Tapi Baron tidak mau
banyak ambil pusing. Dia lebih memilih menyimak kembali lini masa twitter-nya.
Sudah ratusan reply
masuk. Sekarang Baron dilema, mau terus terang kalau orang tidak dikenal itu
ternyata abang tukang bakso beneran, atau membiarkan saja polemik mengalir di
lini masanya.
Ah, biarin saja. Masak
cuman politisi yang boleh ngompor-ngomporin rakyat, batinnya lalu kembali menjatuhkan pantatnya di
atas sofa yang empuk.
***
Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari pixabay.com
Komentar