Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Dewa-dewa yang menghuni bukit
Galampus sedang memerhatikan kerajaan terbesar di katulistiwa. Kerajaan itu
bernama Nusantara, satu-satunya kerajaan dengan sistem pemerintahan demokrasi. Para
dewa memberi perhatian khusus karena wilayah Kerajaan Nusantara begitu luas, bisa
tujuh sampai delapan kali luas kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. Oleh karena
itu keadaan sosial dan politik Kerajaan Nusantara sangat berpengaruh pada kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya.
Apalagi Kerajaan Nusantara baru
saja menuntaskan pemilihan raja baru, yang menduelkan raja petahana, Jaka
Sukmajaya dengan Bayu Wibawa, ketua salah satu paguyuban besar di Nusantara.
Dewa Langit, pemimpin para dewa
yang berbadan gempal dengan rambut dan janggut berwarna putih perak memberi
usul kepada majelis para dewa untuk mengirim Dewa Hitung Cepat guna mengetahui
siapa yang akan menjadi raja sebelum badan cacah suara mengumumkan hasilnya
berminggu-minggu kemudian. Para dewa setuju.
Dewa Hitung Cepat yang masih belia,
berperut sedikit buncit dengan mata sipit pertanda penuh kehati-hatian siap
menerima amanat tersebut. Dia pun bersiap-siap dan turun ke dunia manusia biasa
dengan Mustika Alih Persada. Setiap dewa memiliki mustika tersebut yang dapat
digunakan untuk turun ke bumi atau sebaliknya akan kembali ke bukit Galampus.
Mustika milik Dewa Hitung Cepat berbentuk pedang dengan gagang kayu cendana.
Sepeninggal Dewa Hitung Cepat,
para dewa yang lain kembali dengan kesibukan mereka, memperhatikan keseimbangan
alam semesta dan menerima puja-puji manusia.
Tiga hari kemudian, para dewa
yang sedang mengadakan rapat bulanan geger karena Dewa Hitung Cepat tahu-tahu
muncul di depan pintu ruang sidang dalam keadaan babak belur. Bibirnya bengkak
dengan tumpukan darah mati di sudut-sudutnya. Matanya yang sipit bertambah sipit,
karena kedua pipinya bonyok tidak karuan. Dia berjalan tertatih-tatih sambil
menahan sakit yang tak terperi.
Dewa Langit berteriak menggelegar,
“Apa yang terjadi?!”
Dewa Hitung Cepat pun memulai kisahnya.
Sambil bercerita, bibirnya bergetar menahan amarah dan sakit.
Setelah sampai ke tanah
Nusantara, Dewa Hitung Cepat terkejut karena di balai istana ada orang yang
benar-benar mirip dengan dirinya. Orang itu mengaku sebagai Dewa Hitung Cepat
utusan Galampus. Dewa Hitung Cepat yang asli pun segera mengetahui kalau orang
itu adalah Dewa Muslihat yang sedang berkamuflase.
Puluhan tahun yang lalu, setelah
melakukan percobaan pembunuhan pada Dewi Nurani, Dewa Muslihat mendapat hukuman
dari Galampus harus mengabdi di dunia manusia selama 1.000 tahun. Tapi bukannya
belajar untuk menjadi lebih baik, Dewa Muslihat malah semakin menjadi-jadi.
Dia mengatakan berdasarkan
penerawangannya, Raja Petahana akan kembali menjadi pemimpin. Dia pun disanjung
oleh pembesar-pembesar kerajaan. Setiap hari dia dijamu seperti tamu istimewa.
Sementara itu Dewa Hitung Cepat
tidak tinggal diam. Setelah sehari semalam menerawang, dia menemukan hasil yang
lain. Pemenang perhelatan pemilihan raja ternyata dimenangkan oleh Bayu Wibawa.
Dewa Hitung Cepat pun memaksa
masuk ke balai istana dan menghardik Dewa Muslihat yang sedang berkamuflase,
tidak lupa membawa hasil-hasil penerawangannya. Pembesar-pembesar kerajaan
tentu saja terkejut melihat dua Dewa Hitung Cepat di tengah-tengah mereka.
Keduanya seperti pinang dibelah dua, dengan hasil yang jauh berbeda. Dewa
Hitung Cepat palsu pun menuding Dewa Hitung Cepat asli sebagai penipu. Dewa
Hitung Cepat asli mengajak seterunya untuk adu ilmu saat itu juga.
Sayangnya, karena para kaki
tangan raja lebih senang dengan hasil penerawangan Dewa Hitung Cepat palsu
mereka berpihak kepadanya. Dewa Hitung Cepat asli pun dikeroyok oleh para
pembesar dan prajurit-prajurit berilmu tinggi, termasuk oleh Dewa Hitung Cepat
palsu.
Dewa Hitung Cepat akhirnya
memilih mundur, dan dengan tenaga penghabisan menggunakan mustika nya untuk
segera kembali ke bukit Galampus.
Cerita Dewa Hitung Cepat itu membuat
para dewa ikut geram. Apalagi saat mengamati keadaan istana Kerajaan Nusantara dari
jendela ruang sidang, yang bisa memberi mereka penglihatan ke sudut semesta
manapun, mereka melihat Dewa Hitung Cepat palsu sedang makan minum dan berpesta
pora dengan raja serta para pembesar kerajaan.
Tubuh Dewa Langit sampai bergetar
pertanda menahan amarah yang membuncah. Dia pun berdiri sambil memegang tongkat
petirnya.
“Kurang ajar, Dewa Muslihat.
Belum sadar-sadar juga dia!”
“Baginda, saya usul kita tambah
lagi hukumannya 500 tahun,” sahut Dewi Samudra.
“…kalau perlu kutuk dia menjadi
manusia fana, tanpa status dewa lagi,” sambung Dewa Amarah.
Dewa Langit mengelus janggutnya
untuk menimbang-nimbang permintaan para Dewa. Sesekali dilihatnya Dewa Hitung
Cepat yang meringis menahan sakit.
“Maafkan saya, Baginda,” Dewa
Kemelut berdiri. “Saya rasa, kerajaan Nusantara juga harus ikut menerima
hukuman karena telah menghina utusan Galampus. Jika baginda berkenan, saya akan
mengirimkan kutuk sehingga rakyat dan petinggi-petinggi mereka terpecah belah.
Mereka akan berperang satu sama lain, sehingga Nusantara akan jatuh menjadi
kerajaan-kerajaan kecil.”
Dewa Langit mengangguk-anggukan
kepala.
“Saya setuju kita harus memberi
hukuman kepada Dewa Muslihat dan kerajaan Nusantara. Tapi sebelum itu… mari kita
dengar pendapat penasihat tahta Galampus, Dewa Arif Bijaksana.”
Dewa langit duduk kembali di
kursi kebesarannya dan mempersilakan Dewa Arif Bijaksana berbicara. Dewa yang
sudah sangat sepuh itu pun berdiri sambil menopang dirinya dengan tongkat kayu dan
mulai bertutur dengan suara yang sangat meneduhkan.
“Kita semua marah mendengar
cerita Dewa Hitung Cepat. Tapi hati kita harus tetap dingin, saudara-saudariku.
Maafkan Saya, Nak,” Dewa Arif Bijaksana memandang Dewa Hitung Cepat. “Saya akan
mengajukan tiga pertanyaan untuk menguji apakah kamu sendiri Dewa Hitung Cepat
yang asli atau bukan.”
Para Dewa terkejut.
“Apa maksudmu, Kakek Dewa?” tanya
Dewa Langit.
“Kita semua harus waspada jika
sudah berurusan dengan Dewa Muslihat, bukan? Dia sangat ahli berkamuflase dan
memengaruhi pikiran orang lain.”
“Tapi kita sudah menyegel Mustika
Alih Persada miliknya, bukan?” tanya Dewa Langit lagi.
“Ya benar. Hanya tiga pertanyaan
dan setelah itu terserah padamu, Baginda pada Dewa. Bagaimana menurutmu, Dewa
Hitung Cepat. Tidak keberatan bukan?”
Pandangan semua Dewa tertuju ke
Dewa Hitung Cepat.
“Tentu saja tidak, Kakek Dewa. Silakan
ajukan tiga pertanyaan,” jawab Dewa Hitung Cepat mantap.
“Baiklah.”
Dewa Arif Bijaksana melangkah
perlahan-lahan dibantu oleh tongkat kayunya.
“Pertama, jika kamu memang
penghuni Galampus pasti kamu tahu di mana penyimpanan Mustika Alih Persada
milik Dewa Muslihat.”
“Tentu. Mustika itu tersimpan di
lantai atas gedung halilintar di sebelah selatan istana para Dewa. Di lemari
nomor 17, laci nomor 8,” jawab Dewa Hitung Cepat.
“Bagus. Pertanyaan berikut, Jika
kamu memang Dewa Hitung Cepat pasti kamu tahu di mana sekarang Dewi Algoritma,
kekasihmu, ditugaskan. Di mana dia saat ini?” Dewa Arif Bijaksana menatap mata
Dewa Hitung Cepat dalam-dalam.
“Dewi Algoritma saat ini berada
di salah satu pedalaman Afrika, sedang menyamar menjadi warga suku Itunui untuk
memberikan mereka ilham menerjemahkan simbol-simbol menjadi alat tukar
ekonomi,” jawab Dewa Hitung Cepat lagi.
“Mengesankan. Dan sekarang
pertanyaan terakhir … “
Semua Dewa dalam ruangan seperti
menahan napas menunggu pertanyaan terakhir.
“Kamu adalah Dewa yang paling
dekat denganku, Nak. Masih ingat bukan, saat aku sakit tulang 2 tahun yang
lalu. Saat itu kamu yang ditugaskan Dewa Langit untuk merawat aku.”
“Iya, Kakek Dewa.”
“Selain orang tuaku, kamulah
satu-satunya Dewa yang mengetahui tanda lahir millikku. Tempatnya tersembunyi
di salah satu anggota tubuhku, itu pun kamu mengetahuinya saat memandikanku,
Nak.
Nah, sekarang, sebutkan di mana posisi tanda lahir itu berada?”
Dewa Hitung Cepat mendadak pucat
mendengar pertanyaan itu. “Maafkan saya, Dewa Arif Bijaksana. Saya sudah lupa
di mana persisnya.”
“Ayolah, Dewa Hitung Cepat.
Hal-hal seperti itu bukan sesuatu yang mudah dilupakan. Kamu malah masih suka menggodaku
tentang tanda lahir itu. Apa jawaban pertanyaan terakhir, di mana tanda lahir
itu berada?” Dewa Arif bijaksana mengulang pertanyaannya.
Dewa Hitung Cepat pun menarik
napas dalam sebelum menjawab, “Di perut anda, Dewa.”
“Salah!”
“Oh iya, bukan. Tepatnya di
bokong anda.”
“Salah lagi…” ucap Dewa Arif
Bijaksana. Dia kembali ke tempat duduknya sambil tersenyum-senyum.
“di punggung?”
“Salah lagi.”
“Di ketiak…”
“Dia bukan Dewa Hitung Cepat,”
bisik Dewa Arif Bijaksana pada Dewa langit.
“Iya, anda belum pernah sakit
tulang, bukan?” Dewa Langit balas berbisik. Dewa Arif Bijaksana mengangguk.
Amarah dewa langit pun kembali
membuncah. Dia mengetukkan tongkat petirnya ke lantai lalu sekonyong-konyong
cahaya petir menyilaukan muncul dari tongkat itu dan menyambar Dewa Hitung
Cepat. Dia terpental ke belakang, dan rupa Dewa Hitung Cepat yang tambun hilang
berganti dengan sosok kurus dengan mata bulat besar ketakutan. Sebilah pedang
bergagang kayu cendana tergeletak tidak jauh dari tempatnya terjatuh.
“Dewa Muslihat! Berani sekali
kamu menginjakkan kaki ke Galampus!” suara Dewa langit kembali menggelegar.
Dewa Muslihat pun tergopoh-gopoh
bangkit dan hendak meraih kembali gagang pedang untuk melarikan diri. Tapi
tiba-tiba gerakannya terhenti dan separuh tubuhnya berubah menjadi batu.
Rupanya Dewa Bumi baru saja beraksi.
“Ini hanya sementara saja,
Baginda Dewa. Sihir batu ini hanya bertahan selama 20 helaan napas saja,” ucap
Dewa Bumi.
“Itu sudah cukup,” sahut Dewa
Langit.
Dia pun memerintahkan beberapa
Dewa untuk membungkam dan menyekap Dewa Muslihat ke tempat yang aman, menunggu
keputusan sidang para dewa selanjutnya.
“Sementara itu, harus ada yang
menjemput Dewa Hitung Cepat kembali ke Galampus. Dia kehilangan mustikanya,
jadi pasti kesulitan menemukan jalan kembali,” ucapnya lagi.
“Biar saya saja, Baginda,” Dewa
Kemelut mengajukan diri. “Saya tadi merasa bersalah, hampir saja menjatuhkan
hukuman ke atas kerajaan Nusantara.”
Dewa langit menganggukan kepala
tanda setuju.
Beberapa waktu kemudian, Dewa
Hitung Cepat pun bisa kembali berada di Galampus. Dia juga menceritakan
semuanya pada para dewa. Berdasarkan penerawangannya, Raja Jaka Sukmajaya,
petahana, kembali mendapat suara mayoritas rakyat Kerajaan Nusantara.
Sebelum menyamar menjadi Dewi Algoritma dan
mencuri Mustika Alih Persada milik Dewa Hitung Cepat, Dewa Muslihat terlebih
dahulu menghasut Bayu Wibawa. Dia mengatakan raja petahana menggunakan
cara-cara curang untuk menang. Suasana kerajaan nyaris kacau saat itu. Untung
saja kebohongan-kebohongan Dewa Muslihat cepat terbongkar dan tahu-tahu dia
sudah menghilang dari kerajaan.
Para dewa senang mendengar dengan kabar baik itu. Keadaan kerajaan Nusantara sudah kembali aman tentram. Mereka pun melanjutkan kesibukan mereka, memperhatikan keseimbangan alam semesta dan menerima puja-puji manusia.
---
gambar dari https://slideplayer.com
Baca Juga Fiksi Keren lainnya:
Effizel
Komentar
Salam