Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Kepala yang Berdarah

 


Biar mahkota duri mengiris kening suci
dan dosa semesta menghujam bahu tajam
Dia tuntaskan pengorbanan yang mengherankan.
 
Karena  kepala yang basah
oleh darah
 kuasa kegelapan bisa binasa
pongah sang maut menciut.
 
Seperti bilur jejak cemeti berujung besi
jadi tanda perjanjian membuka jalan
Dia tanggalkan keabadian
meminum cawan berisi penderitaan’
agar yang berikutnya mengisi cawan dengan harapan.
 
Kepala yang berdarah
kepada siapa lagi kami berserah?


-----



Pertama kali tayang di Kompasiana


Ilustrasi gambar dari glopic.net


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:






Komentar