Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Melerai Dua Politisi yang Berkelahi

 


Dua orang politisi sedang beradu argumen dengan sengit. Semakin lama suasana di antara keduanya semakin panas. Dari yang semula hanya adu kata-kata, kini sudah mulai adu gebrakan meja.

Brak! Gubrak! Gubrak! Brak! Tiiiit! Tiiit!

Eh, yang terakhir itu suara dari mesin AC yang diturunkan suhunya. Setelah remote AC diletakkan kembali, suara pertengkaran dan gebrakan meja kembali terdengar.

Brak! Gubrak! Gubrak! dengan suara pertengkaran yang semakin tinggi.

Bahkan bukan sekadar gebrakan meja lagi. Mereka kini mulai adu jotos. Saling memukul dan menendang dengan ganas. Hanya saja karena memang bukan atlit profesional seperti atlit tinju, kempo atau karate, perkelahian mereka jadi lebih mirip dua preman pasar yang memperebutkan janda kembang tapi berkelahinya sambil teler karena kebanyakan miras.

Setelah bermenit-menit berkelahi dengan tangan kosong, mereka pun mulai menggunakan benda-benda yang ada di sekitar mereka, kursi, papan peraga, bahkan meja yang tadinya hanya digebrak. Benda-benda itu melayang ke sana kemari di antara mereka. Ruangan rapat kini jadi mirip kombinasi arena smackdown dan kapal pecah.

Tiba-tiba terdengar suara letusan yang memekakkan telinga.

Keduanya sontak berhenti dan memandang ke arah sumber suara letusan. Di ambang pintu seorang politisi lainnya muncul. Dilihat dari seluruh rambut dan kumisnya yang putih keperakan, dia ini politisi yang sudah sepuh.

Asap tipis keluar dari ujung shotgun yang digenggamnya. Dari sanalah suara letusan tadi berasal. 

“Apa sih yang kalian ributkan?” teriaknya kesal.

“Dia ingkar janji, Pak!” seru politisi pertama sambil menunjuk rivalnya.

“Dia tidak setia, Pak!” balas politisi kedua tidak mau malah.

Politisi ketiga mengembuskan napas panjang sambil geleng-geleng kepala. Dia lalu melangkah di antara kedua politisi dan memberi wejangan.

“Ingkar janji. Tidak setia … Mengapa harus berkelahi karena hal-hal itu? Itu kan artinya kalian sudah semakin dewasa sebagai politisi. Justru aneh kalau ada politisi yang setia dan tepat janji. Ayuk baikan lagi. Masih mending kalian berkelahi karena rebutan janda kembang.”

Setelah mendengar penjelasan politisi sepuh tersebut, keduanya pun menyadari kesalahan mereka lalu bersalaman sebagai tanda rekonsiliasi.

“Awas ya kalau kalian berantem lagi. Saya ada rapat zoom ini 10 menit lagi,” ancam politisi senior sambil meninggalkan ruangan. 

Setelah bersalaman, mereka berpelukan sambil menepuk punggung masing-masing. Keduanya kini sudah bisa tersenyum damai.

Tapi rupanya ada beberapa pasang mata yang mengintip peristiwa itu dari balik jendela ruangan dengan tatapan kecewa. Ya, mereka adalah para pemimpin redaksi yang baru saja kehilangan berita. 


----- 

Ilustrasi gambar dari pixabay.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:






Komentar