Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Suara jeritan gemes dari dalam tenda membuat anak-anak di sekitar situ yang lagi asyik mendirikan tenda lainnya menghentikan kegiatan mereka sejenak. Dari dalam tenda yang udah kelar duluan tadi muncul wajah seorang cewek berambut sebahu. Tya. Dia nampak kesal sekali, lalu berseru “Doniiiiii…!!!,” lagi.
“Ada apa sih, Tya teriak-teriak?” Tanya Norma yang muncul dari samping. Sementara itu anak-anak yang lain kembali melanjutkan kesibukan mereka, karena bukan rahasia lagi kalo Tya dan Doni itu emang ibarat kucing dan anjing, alias gak pernah akur.
“Itu, si brengsek Doni ngumpetin sandal jepit aku!”
“Aku nggak lihat Doni di sekitar sini kok.”
“Kalo bukan dia siapa lagi?! Nggak pernah dia kapok ngusilin aku…,” sahut Tya masih dengan wajah kesalnya.
“Sabar Tya, jangan berprasangka buruk gitu dong. Jangan-jangan….”
“Dia tadi ke sini, Norma. Dia ngambil titipan kupluknya di ransel Bowo. Tidak lama setelah dia pergi, eh, sandal jepit aku yang ada di sini tadi langsung lenyap. Siapa lagi sih kalo bukan Doni yang punya ulah kayak gini?”
Norma cuma mengangkat bahunya.
“Nah, tuh si brengsek datang. Awas dia ntar.”
Sementara itu dengan wajah tanpa dosa, Doni berlari-lari lucu ke arah mereka.
“Eh, abang denger tadi neng Tya manggil-manggil abang. Ada yang bisa abang bantu neng?” goda Doni begitu sampai.
“Hei, dodol! Mana sendal jepit aku !?”
Doni berlagak kaget.
“Lho, kok nanyanya ke aku?”
“Ya kalo bukan kamu siapa lagi?”
“Ng.... kali aja lagi jalan-jalan menikmati sejuknya bumi perkemahan ini.”
“Grrrr.....!!!”
Tya udah nggak bisa memendam amarahnya lagi, dia lalu keluar dari tenda dan berlari ke arah Doni. Ingin rasanya dia mengobrak-abrik wajah Doni saat itu juga. Mau tak mau, Doni juga ikut-ikutan kabur. Tapi mendadak Tya berhenti. Dia merasa ada benda aneh yang bergelantungan di belakang pinggangnya. Norma yang pertama melihat benda itu langsung cekikikan. Begitu pula beberapa anak di sekitar situ. Dia pun membuka ikatan sendal jepit Tya yang ternyata tergantung di sela-sela ikat pinggangnya.
“Nih sendal jepit kamu,” kata Norma. Doni tertawa geli.
“Oh, ternyata sendal jepit kamu lagi main petak umpet. Hehehe....”
“Sialan kamu!! Nih rasain....!!!”
Dengan kesal Tya menyambit Doni dengan sendal yang udah ada di tangannya. Doni berkelit dan sendal pink itu mendarat dengan sukses di tanah yang tergenang lumpur.
“Croooot!!”
Walhasil sendal yang tadinya cantik itu terpaksa jadi sendal buruk rupa.
“Itu jelas bukan salah aku,” celetuk Doni.
“Doniiiiii...........!!!”
**********************
Matahari hampir masuk ke peraduannya. Suasana senja hari itu amat indah, apalagi bila dinikmati dari tengah-tengah padang rumput yang luas. Anak-anak Sispala (Siswa Pencinta Alam) SMU Asa Jaya emang sengaja memilih lokasi bumi perkemahan yang jaraknya tiga jam perjalanan dari kota ini, untuk melangsungkan kegiatan tahunan mereka, pelantikan anggota baru. Tahun ini ada sekitar 30-an calon Sispala baru dan mereka saat ini sedang diberi pengarahan oleh Bambang sie kedisiplinan di bagian utara perkemahan. Sementara itu Hartono, ketua panitia sekaligus ketua sispala sedang memeriksa tenda-tenda yang kelar.
“Tenda untuk anak-anak baru udah kelar, Gun?”
“Beres, bos!” sahut Gugun sie perlengkapan.
“OK, deh. Kalo gitu persiapan kita udah hampir kelar.”
“Hai, Ton. Gabung yuk, kita ngopi bareng,” ajak anak-anak sie keamanan begitu Hartono sampai di posko mereka. Di situ ada Doni, Santo dan Karol. Mereka nampak asyik menikmati kopi hangat.
“Boleh. Aku mau satu, masih ada?” balas Hartono.
“Yup.”
Dengan sigap Karol menyeduh kopi instan yang udah dia siapkan di cangkir menggunakan air hangat dari dalam termos mininya.
“Thanks, Karol.”
“Jam berapa ntar acaranya dimulai, Ton?” tanya Doni.
“Ng.... sekitar jam 10-an lah. So kita masih punya waktu sekitar tiga jam buat istirahat dan menyiapkan lokasi,” sahut Hartono.
Saat itu pandangannya tertuju pada tenda sie konsumsi. Di sana ada Tya dan Norma yang kelihatan sibuk memindahkan air dari jerigen ke panci gede buat dipanasi.
“Eh, kamu nggak bantuin Tya, Don? Tuh dia kelihatan sibuk bener,” ucap Hartono lagi.
“Buat apa? Itu kan udah tugasnya. Ntar dikira aku mau cari muka lagi.”
“Benar juga. Lagian Tya pasti masih kesal tadi kamu usilin lagi.”
Doni langsung tersenyum.
“Kenapa sih, Don, kamu hobiiii banget bikin Tya kesal?” tanya Santo.
“Hehehe, nggak tahu. Cuman aku seneng aja lihat mukanya kalo lagi marah.”
“Alah.... bilang aja kalau lo suka ama Tya. Iya kan?” sambung Karol.
“Idih....! nggak lah ya. Anaknya tomboy gitu. Bukan tipe aku.”
Doni bergidik, yang lain langsung geerrrr....
Sementara itu di tenda sie konsumsi,
“Eh, Tya. Kayaknya Doni ama temen-temennya lagi merhatiin kamu deh.”
“Biarin aja,” sahut Tya ketus tanpa menoleh sedikitpun.
Norma duduk di atas bongkahan batu yang cukup besar lalu memandangi Tya yang masih sibuk mengecek bahan-bahan untuk makan malam nanti.
“Tya, aku ngerasa sepertinya Doni ada hati sama kamu. Di balik sikap Doni selama ini aku ngerasa dia punya perhatian khusus sama kamu.”
“Aku merasa aku nggak ada hati sama sekali sama si brengsek itu,” sahut Tya masih sama ketusnya.
“Ah, yang bener?” goda Norma.
“Kamu mau aku buktiin kalo aku benci ama si brengsek itu?”
“Benci? Maksud kamu bener-bener cinta?”
Tya melotot.
“Eh, kamu mau aku sambit pake sendal yang satu lagi?!”
Norma langsung ngacir sambil cekikikan.
*************************
Dua jam kemudian. Langit di atas udah benar-benar diselimuti bintang-bintang. Udara dingin dataran tinggi mulai menusuk tulang. Suasana perkemahan nampak meriah dengan nyala lampu petromaks di sana-sini.
“Hachiii....!! hachiii....!!”
Tya menggosok hidungnya yang mulai memerah lalu meneruskan membaca komik detektif Conan-nya. Tampak syal tebal melingkari lehernya. Norma yang ada di luar tenda masuk ke dalam dan menghampiri Tya.
“Kamu lagi flu, ya?”
“Nggak tahu. Cuman rasanya dingin banget.”
Norma mengerutkan keningnya. Kemudian dia menempelkan punggung telapak tangannya di kening Tya. Mimiknya langsung berubah.
“Tya kamu panas banget...!”
“Ah, masa sih?”
Norma mengangguk panik.
“Ng... kamu tunggu di sini ya? Aku minta obat penurun panas sama Aber sebentar.”
“Nggak, nggak usah, Ma. Paling sebentar juga panasnya turun. Hachii...!!”
“Tuh kan. Kayaknya kamu harus segera minum obat. Tunggu sebentar.”
Dengan tergesa-gesa Norma berlari ke luar tenda. Tya meraba-raba keningnya sendiri. Tak lama kemudian Norma datang bersama Aber dan Hartono.
“Ini obatnya, Tya. Diminum ya?”
Tya mengangguk.
“Hachii....!! Ma, tolong cariin air mineral aku dong. Tadi aku taruh di sekitar sini.”
“He em.”
Hartono dan Aber ikutan masuk ke dalam tenda yang diterangi lampu petromaks.
“Kata Norma kamu demam...”
Tya mengangguk.
“Tapi nggak apa-apa, sebentar juga sembuh kok. Hachiii....!!”
“Sial, hidung aku tambah mampet nih.”
Aber meraba kening Tya, lalu matanya membelalak.
“Wah ini sih bisa buat ngeringin pakaian basah. Tya demam kamu tinggi bener!”
“Eh, kamu menggigil Tya?” Hartono mulai cemas. Tangan Tya emang mulai bergerak-gerak sendiri.
“Tya, ini air mineralnya udah ketemu.”
Bruukk....!!!
Norma, Hartono dan Aber memandang kaget ke arah Tya yang udah terbaring tak sadarkan diri.
“Tyaaa.....!!” Norma menjerit panik.
*********************
Untunglah sekitar sejam kemudian Tya udah bisa siuman. Namun kondisi fisiknya yang masih sangat lemah memaksanya untuk terus berbaring dalam tenda. Obat penurun panas yang diminumnya belum bereaksi. Di sekitarnya ada Norma, Hartono, Aber dan Bambang. Norma menggenggam jemari Tya erat-erat. Dia nampak mencemaskan keadaan sohib karibnya itu.
“Ma, rasanya dingin banget....,” ucap Tya dengan suara bergetar.
“Kamu harus kuat, Tya....,” sahut Norma lirih.
Mereka semua nampak prihatin.
Pintu tenda tersingkap, dan wajah Doni muncul.
“Ton, acaranya hampir dimulai tuh,” kata Doni.
Hartono mengangguk.
“Norma, Tya, kalian kita tinggal dulu, ya. Aber aku bawa. Aku takut ntar ada anak baru yang juga ngalamin kayak Tya. Soalnya medan hiking-nya rada-rada berat. Lo jaga Tya ya, Ma?”
“Oke, Ton. Sori aku ama Tya nggak bisa ikut.”
“Nggak apa-apa. Jaga Tya, ya?”
Norma mengangguk. Yang lain pun beranjak dari situ.
“Apa.... apa acaranya udah mau dimulai, Ma?” tanya Tya lemah.
“Iya, Tya.”
“Sayang ya, kita nggak bisa ikut.”
“Tya...... kamu kan lagi sakit. Udah, jangan banyak pikiran. Mending sekarang kamu tidur, istirahat biar cepet sembuh.”
“Iya, deh,” sahut Tya lirih, lalu memejamkan matanya.
Tak lama kemudian pintu tenda tersingkap. Wajah Doni nongol di situ. Norma keheranan.
“Lho, bukannya kamu ikutan acara, Don?”
Doni menggeleng.
“Ng...aku udah izin sama Hartono. Aku mau ikutan jagain Tya. Yah... sekalian temenin Santo jagain perkemahan. Kamu nggak keberatan kan....?”
Norma menatap aneh ke Doni. Doni jadi risih juga diperhatikan gitu.
“Jangan curigaan gitu dong, Ma. Kali ini aku bener-bener serius. Suer. Aku ngerasa bersalah tadi sore udah ngisengin Tya.”
Kening Norma berkerut.
“Masih keberatan?” tanya Doni lagi.
Norma manggut-manggut.
“OK. Kalo gitu masuk deh. Kebetulan!”
Doni pun masuk dan ikut duduk di sisi Tya yang udah terlelap.
“Kamu mau bantuin jaga Tya kan?”
“Iya.....”
“Kalo gitu kita gantian dulu deh. Sebentar kok. Aku mau keluar pipis dulu.”
“OK, bos.”
“Kamu mesti pegang tangannya kayak gini.”
“Ta.. tanganya mesti dipegang terus?”
“Iyalah, biar dia selalu merasa ditemenin. Ayo cepetan, aku udah ga tahan nih!”
“Iya... iya...! bawel banget.”
Doni pun menggantikan posisi Norma.
“Jangan pake lama, ya?!”
“Iya, nggak lama kok,” sahut Norma lalu keluar dari tenda.
“Oahh...!!”
Norma meregangkan tangannya ke atas, lalu tersenyum jahil.
“Hihihi... sekali-sekali tu anak harus dikerjain juga. Sekarang aku mau temenin Santo ah,” batinnya lalu kabur perlahan-lahan.
Sementara itu di dalam tenda, nampak Doni memperhartikan wajah imut Tya. Sedikit pucat, tapi... tetep manis. Tangan kirinya menyapu kening Tya perlahan-lahan.
“Cepet sembuh,” bisiknya.
Doni merasa kini genggaman jemari Tya makin erat.
Tya sebenarnya belum benar-benar terlelap. Dia tahu kalau yang bersamanya saat itu Doni. Entah mengapa semua rasa amarah dan kesal yang bertumpuk-tumpuk di hatinya hilang begitu saja. Sejak pertama mendengar suara Doni bercakap-cakap dengan Norma tadi dan merasakan hangatnya genggaman Doni, dia jadi merasa ada rasa yang lain yang menjalar di hatinya. Doni menjadi seperti pahlawan pelindungnya, bukan lagi cowok yang menjengkelkan. Dia belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Tapi... eh, aroma parfum Doni,
“Ini kan mirip wangi parfum lama aku,” batin Tya.
Hihihi... aneh bener, anak cowok pake parfum cewek.
Kening Doni agak berkerut. Dia memperhatikan wajah Tya lebih teliti lagi. Benar.... Tya tersenyum kecil dalam tidurnya. Doni jadi ikut-ikutan tersenyum. Kedua tangannya pun menggenggam lembut jemari Tya. Ada kehangatan yang menjalar sampai di hatinya.
“Tya...,” bisiknya.
“Maaf, karena selama ini aku selalu membuatmu susah. Aku ngelakuin semua ini karena... karena aku nggak tahu harus gimana nyatain rasa suka sama kamu. Aku takut aku nggak bisa memenuhi kriteria cowok idaman kamu. Lihatlah betapa loser-nya aku. Untuk menembak kamu pun aku lakuin saat kamu udah berada di alam mimpi. Aku bisa bohong sama temen-temen, tapi aku nggak bisa bohong sama diri aku sendiri kalau aku bener-bener takut kehilangan kamu.”
Dari pintu tenda yang tersingkap, Doni bisa melihat bulan purnama dan ribuan bintang yang berkilauan di langit sana.
“Izinkan aku.....,”
Doni mengecup dahi Tya perlahan lalu merapikan selimutnya.
“Semoga mimpi kamu seindah langit malam ini.”
***************************
Untunglah mentari pagi muncul juga. Suara burung-burung pagi riuh rendah di pepohonan sekitar perkemahan. Tapi suasana perkemahan nampak masih lengang. Rupanya semua orang masih letih setelah acara pelantikan ala Sispala semalam.
Pasti pada penasaran bagaimana kabar Tya sekarang kan? Nggak usah cemas. Tya udah mulai sehat kembali kok. Buktinya sekarang dia sedang duduk di belakang tenda sambil menikmati secangkir teh hangat dan indahnya pagi ini. Wajahnya nampak berseri-seri. Perhatiannya beralih saat Norma dengan wajah kusut merangkak keluar dari tenda.
“Pagi, Norma...”
“Kamu udah baikkan?”
“Mm... lumayan. Mau secangkir teh?”
“Boleh...”
Tya menuang secangkir teh dari tekonya lalu menyodorkannya ke Norma.
“Wajah kamu kusut amat. Semalam bergadang jagain aku ya?”
Norma menyeruput tehnya lalu menyahut.
“Begadang sih iya. Tapi bukan buat jagain kamu. Aku nungguin anak-anak yang ikut kegiatan.”
“Tapi... perasaan semalam kamu terus di samping aku deh.”
Norma tersenyum.
“Itu bukan aku....”
“Bukan kamu...? trus siapa dong?”
“Hehehe... coba tebak!”
Tya berpikir sejenak, padahal sebenarnya dia sudah bisa menduga-duga.
“Ah, udah. Aku beritahu aja. Percaya nggak kalo jagain kamu semalam itu si... Doni?”
“Apaaa.... Doni???”
Tya pura-pura kaget.
“Iya. Ternyata dia itu nggak sejahat kelihatannya kok. Dia itu baik banget. Dia baru ninggalin kamu saat panas kamu udah turun. Itupun udah sekitar pukul tiga subuh tadi. Jadi aku yakin, sekarang mukanya sama kusutnya dengan muka aku.”
“Masa sih...?”
“Trust me baby... Jadi kalo kamu ketemu sama dia kamu kudu say thanks sebesar-besarnya.”
Eh.... rupanya yang lagi diomongin udah berdiri di samping mereka, sambil memandangi langit di ufuk timur.
“Pagi ini indah banget, ya? Gimana kabar kamu, Tya?”
“Mm... aku udah baikkan kok.”
Tya heran kenapa jantungnya berdebar-debar. Nada bicara Doni kali ini juga lain dari biasanya.
“Cieee ini mah namanya pucuk dicinta ulam tiba,” celetuk Norma.
“Eh, Don, tumben kamu main ke tenda kita?” katanya lagi.
“Ah.., enggak, aku.... aku cuman mau minta air panas buat nyiram kopi. Pagi-pagi gini kan enaknya ngopi.”
“...mau nyari air panas atau nyari Tya? Aoww!!”
Norma mendadak menjerit karena pahanya dicubit Tya. Tya nampak tersipu malu begitu pula Doni.
“Ng... aku nyari dua-duanya deh kalo nggak keberatan.”
“Oh, enggak, enggak. Malah Tya pasti senang banget tuh. Eh, don, duduk dong. Jangan berdiri aja,” sahut Norma sambil menjauh, takut dicubit lagi sama Tya.
“Kalian aku tinggal dulu, ya. Aku mau ke mata air. Mau nyuci muka sekalian sikat gigi. Byehh.....”
Norma masuk ke dalam tenda dan keluat lewat pintu depan.
Tya dan Doni langsung bengong, bingung mau mulai dari mana pembicaraan itu. Doni menyodorkan cangkir berisi kopi instan ke depan Tya. Tya nggak mengerti.
“Air panasnya ada, enggak?”
“Oh, iya, iya. Sorry. Kok aku jadi bingung gini.”
Tya pun mencedok air panas dari panci besar di depannya dan menuangkannya ke cangkir Doni.
“Thanks....”
“Ah, aku yang seharusnya bilang thanks.”
“Buat....??”
“Semalam aku udah ngerepotin kamu buat jagain aku.”
“Oh, masalah itu. Itu nggak usah dibesar-besarin deh. Sebagai teman sudah sewajarnya kita saling memperhatikan satu sama lain, kan. Aku cuman heran aja. Nggak biasa-biasanya kamu sakit kayak semalam.”
Tya tersenyum.
“Aku kecapean aja kok. Kurang istirahat. Bayangin, kemarin dulu seharian aku ama Norma belanja buat keperluan konsumsi kegiatan kita ini. Malamnya aku begadang nonton liga Itali. Trus kemarin kita nempuh perjalanan jauh ninggalin kota.... Energi aku terkuras abis.”
“Liga Itali?”
“Iya. Kenapa? Aneh ya?”
Doni mengangguk.
“Jarang cewek yang suka nonton bola.”
“Aku juga heran, semalam kamu pake parfum cewek.”
Doni terkejut.
“Pa.. parfum aku abis, jadi aku ngerampok parfum kakak aku. Tapi.... kok kamu bisa tahu?”
Tya tersenyum.
“Wanginya sama dengan wangi parfum aku yang dulu.”
Tya tersenyum.
“Wanginya sama dengan wangi parfum aku yang dulu.”
“Maksud aku kok kamu masih sempat-sempatnya nyium wangi parfum segala? Semalam waktu aku ke sini kamu kan udah benar-benar tidur lelap.”
Tya tersenyum lagi.
“Itu kan cuma kelihatannya. Padahal yang sebenarnya aku masih bisa merasakan yang terjadi di sekitar aku. Masih bisa mendengar suara Norma waktu pamit sama kamu, masih bisa nyium parfum kamu, juga masih bisa mendengar semua yang kamu katakan setelahnya.”
Duarr....!!! Doni bagai di sambar petir di pagi itu. Wajahnya langsung pucat pasi.
“E.. kamu dengar semua yang aku ucapin?”
“Semuanya....”
“Semuanya....?”
“Semuanya. Aku juga tahu semalam kamu nyium dahi aku...”
Doni benar-benar shock dan jatuh pingsan dengan gemilang. Tya langsung cekikan sendiri.
****************************
Suatu siang di awal bulan, Norma kelihatan asyik shopping di salah satu pusat perbelanjaan. Tangan kanan dan kirinya penuh tentengan. Dia menyusuri deretan toko-toko yang menawarkan aneka produk dengan santai. Tapi dia mendadak berhenti saat matanya menangkap sepasang remaja yang berjalan bergandengan dengan mesranya.
“Itu kan Tya sama Doni.”
Kening Norma mengkerut.
“Apa nggak salah lihat aku?”
Sepasang remaja itu kini mampir di kedai penjual es krim. Norma membuntuti mereka diam-diam lalu berjalan memutar untuk memastikan wajah buruannya.
“Tya....!! Doni...!!”
Norma berseru heboh saat dia melihat dengan jelas siapa yang dikuntitnya. Tya dan Doni terkejut lalu secara refleks melepaskan tangan mereka dan berdiri berjauhan.
“Eh, kamu Norma...”
Keduanya menyapa kikuk. Sementara itu Norma mengangguk-angguk sambil tersenyum jahat memandangi mereka berdua.
“Oh, jadi begini nih yang namanya benci? Untung di sini nggak ada wartawan infotainment. Tapi.... nggak usah khawatir. Biar aku yang kabarin berita besar ini sama teman-teman. Sekarang acara jalan-jalannya dilanjutin lagi deh. Aku nggak bermaksud mengganggu. Udah ya, aku cabut dulu. Bye...”
“Eh, Norma! Tunggu....!!!”
Doni dan Tya berlari panik ke arah Norma yang saat itu sudah berjalan menjauhi mereka. Norma pun ikut-ikutan kabur sambil tertawa.
“Eh, mas! Mbak! Es krimnya jadi dipesan nggak?!”
Mas pedagang es krim bengong karena dua pelanggannya tadi udah nggak ada lagi.
Komentar