Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Melodi Hujan, Melodi Penantian


Shinta-Penantian yang Sia-sia
Kelabu tirai hujan semakin pekat dari balik jendela. Aku semakin tenggelam di dalam melodi elegi yang tak pernah beranjak dari gendang pendengaranku. Gurat wajah Satrio, tunanganku, semakin jelas setiap kali hujan turun sederas ini. Gurat wajah itu seolah muncul di antara bulir demi bulir bening yang menerpa wajah bumi dengan  derasnya. Kesakitan yang memancar dari matanya, pekikan tertahan, garis raut wajah yang menegang  pedih, percik hujan yang memerah, semuanya selalu melintas tiba-tiba seperti potongan-potongan film klasik di benakku.

Entah kenapa, sore ini film itu begitu jelas. Hujan yang sama derasnya, menerpa mantel kami tanpa ampun. Choir raksasa yang ditumpahkan dari langit hitam kelam itu menelan deru mesin GL Pro yang kami tumpangi. Sore itu kami berniat mengecek sebuah studio foto milik teman SMA Satrio di ujung barat kota. Derasnya hujan tidak menghalangi semangat kami yang menggebu-gebu, semangat dua insan yang tak lama lagi akan mengikrarkan janji suci untuk saling mencintai dalam untung dan rugi, dalam sakit dan senang.... dalam hidup dan mati.

gambar dari: www.artifacting.com

Sebuah mobil kargo berkecepatan tinggi melintas di sebelah kanan jalur kami. Satrio menurunkan kecepatannya perlahan. Tiba-tiba seorang pengendara motor ugal-ugalan menyalip jalur di sebelah kiri kami seenaknya. Stir motornya menyambar stir motor Satrio. Motor yang kami tumpangi berjalan limbung. Usaha Satrio menyeimbangkan setirnya membuat kami menyambar ban belakang mobil kargo. Suara deru hujan seolah-olah berhenti saat kejadian tragis itu, aku bisa mendengar jeritan histerisku. Lalu dunia berputar dan tahu-tahu badanku sudah terpapar di atas aspal. Ujung penglihatanku yang mengabur karena hujan masih bisa melihat motor itu terseret bersama pengemudinya. Terdengar beberapa decitan tajam ban-ban mobil tapi sebuah mobil kijang tidak bisa lagi menahan laju kecepatannya dan melindas kekasihku yang malang. Aku melihat langit senja bagai serpihan sayap malaikat yang menjemput Satrio. Sekali lagi membuka mulutku dan berteriak kencang pada dunia ini. Jeritan nestapaku rasanya memenuhi udara sore itu dan membuat rotasi bumi ini berhenti seketika.

Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Semuanya kelam, berputar beku.
Aku terus berharap seluruh dunia dan Tuhan sedang membohongiku.  Setiap kali aku memandang hujan dari balik jendela kamar ini, aku berharap Satrio muncul dengan senyum khasnya lalu memelukku dan meminta maaf atas semua sandiwara ini. Tapi harapanku tak kunjung terkabul, seperti kembang ilalang yang dihempas butiran-butiran hujan.

Mungkin satu-satunya orang yang memahami harapanku adalah Mbak Ana. Wanita paruh baya berbadan kekar yang akhir-akhir ini menemaniku. Wajahnya kasar tapi aku bisa melihat kejujuran dan ketulusan dari sorot matanya. Tahu-tahu dia sudah ada disampingku dan menggenggam tanganku. Dia membimbingku menjauhi jendela yang basah kuyup. Kali ini dia tidak ketus seperti biasanya. Aku bisa menerima kata-katanya dengan lebih baik. Untuk pertama kalinya aku memeluknya dan melepaskan seluruh air mataku. Dia membelai rambutku pelan. Aku belum bisa melupakan kisah kelam itu, namun sejenak aku merasa damai disini.

Suster Ana-Kamu Harus Tabah
Sore ini hujan turun dengan lebat. Aku berjalan cepat menyusuri koridor di sebelah utara Rumah Sakit. Pasien yang masuk dua bulan lalu itu sangat terobsesi dengan hujan. Kepala perawat menugaskan aku untuk memberi perhatian khusus kepadanya.

Dia rupanya sangat terpukul dengan kematian tragis tunangannya. Dia menjadi saksi kejadian berdarah itu. Yah, siapapun bisa mengalami guncangan kejiwaan dengan keadaan seperti itu.  

Namun akhir-akhir ini dia semakin stabil. Sudah dua minggu ini dia tidak pernah lagi menjerit histeris atau menyakiti dirinya sendiri.
Dari jauh aku melihat jendela kamarnya terbuka lebar. Aku pun setengah berlari ke arah unit perawatannya. Aku khawatir. Bulan lalu aku menemukannya berjalan perlahan di bawah siraman hujan. Kulitnya  mulai  mengerut kedinginan. Susah payah aku menyeretnya masuk ke dalam bangunan. Setelah itu setiap kali hujan berbunyi deras, aku  kerap menemukannya berdiri mematung di balik jendelanya, seperti pengantin yang menanti pasangannya menjemput dari balik awan kelam yang memayungi kota.

Aku mendorong pintu hingga berdebam. Namun Shinta tidak memperdulikannya. Tidak peduli? Ah tidak. Dia tenggelam dalam nyanyian hujan sore ini hingga tak menyadari kehadiranku. Rambut panjangnya berayun perlahan dibuai angin dingin yang masuk dari luar. Aku beranjak ke sampingnya. Entah sudah berapa lama dia berada disitu. Seluruh wajahnya sudah dipenuhi titik-titik hujan yang dibawa angin. Aku pun menggenggam tangannya. Rasanya kali ini reaksinya lebih bersahabat.

“Wajah kamu basah Shinta,...” ucapku. Lalu membawanya menjauhi jendela.
“Kamu harus tabah. Ketabahan melahiran kekuatan,... dan kekuatan membawa kesembuhan,” ucapanku lagi. Aku selalu mengulang-ulang kalimat itu. Entah dia bisa memahaminya atau tidak.

Aku terkejut. Tahu-tahu dia merebahkan kepalanya lalu memeluk badanku erat. Sepertinya dia pun terisak kecil.  Perlahan aku membelai rambut hitamnya, aku ingin memberi tanda bahwa dia boleh berada di situ selama yang dia inginkan.

“Kamu harus tabah, Shinta...”      

Komentar