Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Shinta-Penantian
yang Sia-sia
Kelabu tirai hujan
semakin pekat dari balik jendela. Aku semakin tenggelam di dalam melodi elegi
yang tak pernah beranjak dari gendang pendengaranku. Gurat wajah Satrio,
tunanganku, semakin jelas setiap kali hujan turun sederas ini. Gurat wajah itu
seolah muncul di antara bulir demi bulir bening yang menerpa wajah bumi
dengan derasnya. Kesakitan yang memancar
dari matanya, pekikan tertahan, garis raut wajah yang menegang pedih, percik hujan yang memerah, semuanya
selalu melintas tiba-tiba seperti potongan-potongan film klasik di benakku.
Entah kenapa, sore
ini film itu begitu jelas. Hujan yang sama derasnya, menerpa mantel kami tanpa
ampun. Choir raksasa yang ditumpahkan
dari langit hitam kelam itu menelan deru mesin GL Pro yang kami tumpangi. Sore
itu kami berniat mengecek sebuah studio foto milik teman SMA Satrio di ujung
barat kota. Derasnya hujan tidak menghalangi semangat kami yang menggebu-gebu,
semangat dua insan yang tak lama lagi akan mengikrarkan janji suci untuk saling
mencintai dalam untung dan rugi, dalam sakit dan senang.... dalam hidup dan
mati.
gambar dari: www.artifacting.com |
Sebuah mobil kargo
berkecepatan tinggi melintas di sebelah kanan jalur kami. Satrio menurunkan
kecepatannya perlahan. Tiba-tiba seorang pengendara motor ugal-ugalan menyalip
jalur di sebelah kiri kami seenaknya. Stir motornya menyambar stir motor Satrio.
Motor yang kami tumpangi berjalan limbung. Usaha Satrio menyeimbangkan setirnya
membuat kami menyambar ban belakang mobil kargo. Suara deru hujan seolah-olah
berhenti saat kejadian tragis itu, aku bisa mendengar jeritan histerisku. Lalu
dunia berputar dan tahu-tahu badanku sudah terpapar di atas aspal. Ujung
penglihatanku yang mengabur karena hujan masih bisa melihat motor itu terseret
bersama pengemudinya. Terdengar beberapa decitan tajam ban-ban mobil tapi
sebuah mobil kijang tidak bisa lagi menahan laju kecepatannya dan melindas
kekasihku yang malang. Aku melihat langit senja bagai serpihan sayap malaikat
yang menjemput Satrio. Sekali lagi membuka mulutku dan berteriak kencang pada
dunia ini. Jeritan nestapaku rasanya memenuhi udara sore itu dan membuat rotasi
bumi ini berhenti seketika.
Setelah itu aku
tidak ingat apa-apa lagi. Semuanya kelam, berputar beku.
Aku terus berharap
seluruh dunia dan Tuhan sedang membohongiku.
Setiap kali aku memandang hujan dari balik jendela kamar ini, aku
berharap Satrio muncul dengan senyum khasnya lalu memelukku dan meminta maaf
atas semua sandiwara ini. Tapi harapanku tak kunjung terkabul, seperti kembang
ilalang yang dihempas butiran-butiran hujan.
Mungkin
satu-satunya orang yang memahami harapanku adalah Mbak Ana. Wanita paruh baya
berbadan kekar yang akhir-akhir ini menemaniku. Wajahnya kasar tapi aku bisa
melihat kejujuran dan ketulusan dari sorot matanya. Tahu-tahu dia sudah ada
disampingku dan menggenggam tanganku. Dia membimbingku menjauhi jendela yang
basah kuyup. Kali ini dia tidak ketus seperti biasanya. Aku bisa menerima
kata-katanya dengan lebih baik. Untuk pertama kalinya aku memeluknya dan
melepaskan seluruh air mataku. Dia membelai rambutku pelan. Aku belum bisa
melupakan kisah kelam itu, namun sejenak aku merasa damai disini.
Suster Ana-Kamu Harus Tabah
Sore ini hujan
turun dengan lebat. Aku berjalan cepat menyusuri koridor di sebelah utara Rumah
Sakit. Pasien yang masuk dua bulan lalu itu sangat terobsesi dengan hujan.
Kepala perawat menugaskan aku untuk memberi perhatian khusus kepadanya.
Dia rupanya sangat
terpukul dengan kematian tragis tunangannya. Dia menjadi saksi kejadian berdarah
itu. Yah, siapapun bisa mengalami guncangan kejiwaan dengan keadaan seperti itu.
Namun akhir-akhir
ini dia semakin stabil. Sudah dua minggu ini dia tidak pernah lagi menjerit
histeris atau menyakiti dirinya sendiri.
Dari jauh aku
melihat jendela kamarnya terbuka lebar. Aku pun setengah berlari ke arah unit
perawatannya. Aku khawatir. Bulan lalu aku menemukannya berjalan perlahan di
bawah siraman hujan. Kulitnya mulai mengerut kedinginan. Susah payah aku
menyeretnya masuk ke dalam bangunan. Setelah itu setiap kali hujan berbunyi
deras, aku kerap menemukannya berdiri
mematung di balik jendelanya, seperti pengantin yang menanti pasangannya menjemput
dari balik awan kelam yang memayungi kota.
Aku mendorong pintu
hingga berdebam. Namun Shinta tidak memperdulikannya. Tidak peduli? Ah tidak.
Dia tenggelam dalam nyanyian hujan sore ini hingga tak menyadari kehadiranku.
Rambut panjangnya berayun perlahan dibuai angin dingin yang masuk dari luar.
Aku beranjak ke sampingnya. Entah sudah berapa lama dia berada disitu. Seluruh
wajahnya sudah dipenuhi titik-titik hujan yang dibawa angin. Aku pun menggenggam
tangannya. Rasanya kali ini reaksinya lebih bersahabat.
“Wajah kamu basah
Shinta,...” ucapku. Lalu membawanya menjauhi jendela.
“Kamu harus tabah.
Ketabahan melahiran kekuatan,... dan kekuatan membawa kesembuhan,” ucapanku
lagi. Aku selalu mengulang-ulang kalimat itu. Entah dia bisa memahaminya atau
tidak.
Aku terkejut.
Tahu-tahu dia merebahkan kepalanya lalu memeluk badanku erat. Sepertinya dia
pun terisak kecil. Perlahan aku membelai
rambut hitamnya, aku ingin memberi tanda bahwa dia boleh berada di situ selama
yang dia inginkan.
“Kamu harus tabah, Shinta...”
Komentar