Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
gambar dari: github.com |
Mata Dodon berbinar-binar bak lampu pijar. Dia nampak tak percaya dengan jawaban Mila barusan.
“A... aku nggak salah dengar, Mil? Kamu.... mau jadi pacarku?” tanyanya terbata-bata.
Mila di depannya mengangguk tersipu. Dodon semakin melayang tinggi, rasanya dunia berhenti berputar. Dia pun menggenggam jemari Mila erat dan menatap hangat mata Mila.
“Thanks, Mil. Kamu membuatku menjadi cowok paling berbahagia di dunia saat ini.”
“Aku juga, Don....”
Dan kemudian entah siapa yang memulai, jarak keduanya makin lama makin rapat. Mila memejamkan matanya pasrah saat wajah Dodon mendekati wajahnya. Satu kecupan hangat pun mendarat.
“Dodoooooooon!!!.....”
Dodon terkejut setengah mati. Itu suara seruan yang udah sangat akrab di telinganya. Dia berpaling, namun....
“Aduh!!...”
Dodon membuka kedua matanya, lalu mempertajam penglihatannya. Benda-benda yang semula samar-samar kini makin jelas wujudnya. Poster Peterpan, raket bulu tangkis, tas sekolah bututnya.... Tak ada lagi Mila.
“Haah, gue cuman mimpi??”
Dodon pun bangun dari lantai dan duduk di atas tempat tidurnya.
“Dodooooonnnn!!!....,” suara seriosa emak kembali terdengar dari luar.
“Iya, maaak.....!!,” Dodon pun menyahut tidak kalah riuhnya.
“Huh, seneng dikit aja suseh bener. Orang lagi enak-enakan mimpi dibangunin,” Dodon ngomel-ngomel sendiri. Dengan malas dia membuka jendela kamarnya.
Di luar nampak emak sedang menjemur pakaian.
“Ada apa sih, mak? Teriak-teriak kayak orang kemalingan aja...”
“Kamu tuh ya! Mentang-mentang hari Minggu, molor aja kayak beruang kutub. Tuh, bebek-bebek belum dikasih makan, bak mandi belum diisi. Ayo buruan! Abis ini emak mau mandi.”
“Iya, iya,” Dodon menyahut malas, lalu beranjak keluar dari kamar.
Dodon emang anak semata wayang. Ayahnya meninggal karena kecelakaan saat Dodon masih berumur dua tahun. Tapi walau tumbuh dalam asuhan single parent, Dodon tidak pernah merasa kehilangan kasih sayang dari emaknya. Begitu pula sebaliknya, walau kadang-kadang suka ngeselin, Dodon tetap sayang sama emaknya. Baginya emak adalah ibu paling hebat setanah air. Baginya emak adalah orang yang pertama kali mengajarkannya untuk tegar menghadapi kerasnya kehidupan ini.
Keluarga mereka emang tidak jauh berbeda dengan keluarga-keluarga sederhana lainnya di kampung itu. Untuk bertahan hidup mereka hanya mengandalkan hasil ternak bebek dan catering kecil-kecilan. Walau demikian, Dodon tetap bersyukur karena sampai sekarang Tuhan tetap menganugerahkan rezeki yang cukup dan kesehatan buat mereka. Apalagi untuk urusan sekolahan, Dodon tidak ngerepotin emaknya lagi. IQ-nya yang di atas rata-rata membuat dia termasuk anak yang mendapat beasiswa prestasi di sekolahnya.
Yach, kita kembali ke Dodon. Sekarang matahari semakin tinggi, udara semakin terik. Dodon kini nampak duduk di bawah pohon mangga yang rindang di depan rumahnya. Dia ditemani Udin, anak sebelah rumah. Keduanya asyik di atas balai-balai yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Udin asyik ngisi TTS sementara Dodon asyik memetik senar-senar gitar bututnya. Mereka sebenarnya udah rencana mau mancing ikan mujair, namun mendadak emak Dodon dapat orderan catering dari kampung sebelah, sehingga siang ini dia harus belanja bahan-bahan catering di pasar. Imbasnya, rencana Dodon dan Udin batal karena Dodon disuruh jagain rumah.
Tapi kayaknya mereka cukup enjoy juga di bawah bayangan pohon mangga itu. Ditambah lagi angin siang ini bertiup sepoi-sepoi.
“Eh, Din.”
“Mm...”
“Aku mau curhat nih.”
“Mm...”
“Kamu kenal Mila, kan?”
“Arku...!!” sahut Udin yang membuat Dodon terkejut.
“Arku!? Arku apaan?”
“Di sini pertanyaannya kerangka layang-layang, empat kotak, huruf awalnya ‘A’ huruf ketiga ‘K’. Jadi cocok kan, arku?” sahut Udin dengan wajah lugu, sementara itu muka Dodon udah berubah jadi ungu saking jengkelnya.”
“UDIIIIIINNN!!!.....”
Sepuluh detik kemudian Udin udah tampak lebih serius.
“Emang kamu mau curhat apaan sih? Jangan malu-malu. Sobatmu ini siap mendengarkan,” ucapnya sambil meraba-raba kepalanya. Dia takut benjol akibat hantaman gitar Dodon barusan.
“Kamu kenal Mila, kan?”
“Anak baru di kelas kamu itu?”
Dodon mengangguk.
“Ng....kamu mau bilang kalo naksir sama dia?”
Dodon mengangguk lagi.
“Ah, itu mah biasa man. Bukan hanya kamu, aku juga naksir kok.”
Dodon terkejut.
“Si Santo juga....”
Dodon terkejut lagi.
“Si Dadang, si Vito, si Badrun juga naksir...”
Kini Dodon benar-benar shock.
“Banyak bener. Darimana kamu tahu?”
“Mereka sendiri yang ngomong. Yah, jangan jadi shock gitu dong. Itu wajarlah. Mila itu cantik,baik, udah gitu nggak sombong lagi. Cowok mana sih yang nggak tertarik?”
“Artinya saingan aku banyak dong.”
“Begitulah. Tapi.... aku sih nggak berharap terlalu tinggi. Mengharapkan Mila jadi pacar kita tuh sama seperti pungguk merindukan bulan. Mila anak orang berada, bapaknya pengusaha real estate, ibunya pengacara handal. Nah sementara aku, bapakku cuman pedangang bakso, emak aku istrinya pedagang bakso. Bisa makan steak tempe aja aku udah seneng banget. Intinya, Mila itu bukan kelas kita, Don. Rasa suka sama Mila nggak boleh dipelihara lama-lama, bisa bikin liver.”
Udin mengakhiri ceramahnya yang kayak kereta api panjangnya. Dodon menghela napas panjang lalu mengangguk-angguk membenarkan perkataan Udin barusan. Dia nampak putus harapan.
“Kamu benar, Din. Mila bukan kelas kita. Lagian orang bilang mimpi itu biasa kebalikan dari kenyataannya.”
“Mimpi....?!”
“He-em. Semalam aku mimpi jadian ama Mila.”
“Haah....!!? yang bener, Don?? Hebat kamu! Aku mimpi aja nggak berani...”
Dodon tertawa kecil.
“Tapi sudahlah. Itu nggak usah dibahas lagi,” sambung Dodon.
Mereka pun kembali asyik dengan kegiatannya masing-masing. Dodon bernyanyi-nyanyi kecil diiringi petikan gitar dan Udin bergelut dengan TTS-nya. Keduanya sampai tidak menyadari sebuah Jaguar merah melintas jalan di depan rumah Dodon.
Udin berhenti mengisi TTS-nya. Dia memperhatikan sobat karibnya lebih seksama. Mereka sudah sobatan sejak kecil jadi keduanya sudah amat saling memahami satu sama lain. Kini Udin bisa menangkap aura keputusasaan Dodon. Ya, enggak salah lagi. Mila mungkin cinta pertama Dodon. Dodon nggak pernah sama sekali ngomongin cewek seumur hidup. Baru kali ini. Dan ceramah Udin barusan langsung memupuskan harapannya.
“Huh, sobat macam apa aku? Bukannya mendukung malah bikin dia down,” batin Udin.
Dia lalu meletakkan buku TTS-nya.
“Don,....”
“Ya,....”
“Nggak ada salahnya kalau kamu mau mencoba.”
“Mencoba....?”
“Mencoba PDKT ama Mila.”
Dodon tersenyum.
“Mila lagi.”
“Kamu jangan langsung ciut nyali kayak gitu dong. Tahu nggak? Kans kamu untuk ngedapetin Mila itu lebih besar ketimbang kami.”
Dodon berhenti memetik gitarnya.
“Maksud kamu?”
“Kamu punya kelebihan lain, Don. Kamu pinter, saleh dan tampang kamu juga lumayan. Nggak jauh-jauh beda ama bintang-bintang bollywood itu. Kelas sosial bukan masalah man. Sekarang ini banyak kok kakek-kakek yang kawin ama anak ABG, anak orang melarat kawin dengan anak konglomerat. So nggak ada salahnya kalau kamu mau mencoba. Aku dukung kok.”
“Kamu..... nggak sedang menghibur, kan?”
“Nggak, Don. Saya benar-benar mau mendukung kamu. Kamu mesti dapetin Mila, Don.”
“Wah semangat bener...!”
“Iya, dong. Kita kan sahabat. Sahabat itu harus saling membantu. Tul nggak?”
Dodon mengangguk.
“Nah sekarang kita mesti ngatur strategi. Tapi sebelumnya saya mau nanya dulu. Kamu.... emang benar-benar suka sama Mila dari lubuk hati kamu yang paling dalam?”
“Ih.... nanyanya kok gitu,” Dodon jadi risih sendiri.
“Ayo dijawab.”
“Ayo dijawab.”
“Mm...”
“Alah... nggak usah malu-malu.”
“Ng...iya deh, aku suka.”
“Itu awal yang bagus.”
“Sekarang, seberapa sering kamu ketemu Mila?” tanya Udin lagi.
“Bisa dibilang sering. Aku sekelas sama dia, dia masuk kelompok biologi aku, trus dia duduknya pas di depan aku. Bisa dibilang hampir sepanjang jam sekolah kami ketemu.”
“Wah ternyata kamu punya kesempatan banyak. Ng...trus selama ini respon dia ke kamu bagaimana?”
“Ng...nggak tahu tepatnya. Tapi dia sering banget bawain coklat dan maksa nraktir aku ngebakso walau udah aku tolak.”
Mata Udin melotot.
“Itu artinya dia punya perhatian khusus sama kamu, Dooooon!!” serunya.
“Ah, dia juga sering buat gitu ke Vina dan Meta kok.”
“Mereka itu kan cewek, begooooo....!!” Udin jadi gemas sendiri dengan kepolosan Dodon itu. Dia lalu berpikir sebentar.
“Hmm... kayaknya prospek PDKT kamu bakal cerah nih.”
“Trus, gimana dong, Din?”
“Sekarang kamu balas nunjukin kalau kamu juga punya perhatian sama dia.”
“Caranya gimana? Aku juga mesti bawain dia coklat? Nraktir dia? Bisa tekor aku!!”
“Yaaah nggak harus gitu dong, Don. Ng..oh iya. Gini aja. Kamu kan pinter bikin lagu, kamu buatin aja dia satu lagu spesial. Gimana?”
“Boleh juga. Tapi.....apa nanti dia suka? Jangan-jangan ntar dia pikir aku orang gila lagi.”
“Aku udah nggak sabaran pengen dengar lagu itu.”
Suara sopran yang muncul tiba-tiba itu amat mengejutkan mereka. Begitu kepala mereka berpaling....
“Hai...”
“M...m.. Mila?!”
Jantung Udin dan Dodon berhenti berdegup beberapa saat. Saat itu Mila udah berdiri tidak jauh dari mereka dengan senyum manisnya.
“Mil....!! udah ketemu!?” suara cewek lainnya terdengar dari dalam mobil Jaguar merah yang udah diparkir di depan.
“Iya, La. Di sini rumahnya...”
Cewek itu pun turun dari mobil dan bergabung dengan Mila.
“Rumah kamu susah dicari juga ya? Saya tadi sampai muter-muter segala,” kata Mila.
Sementara itu Dodon dan Udin masih diam tak bergeming. Mereka masih terkesima dengan dua bidadari yang mampir siang itu.
“Lho, kok pada bengong?”
Nanti setelah Mila melambai-lambaikan tangannya di depan mereka, keduanya pun tersadar.
“Eh, Mila. Ng..mm.. ayo duduk, Mil.”
Dodon dan Udin langsung cengengesan. Mila tersenyum.
“Eh, kenalin. Ini tetanggaku, Klara.”
“Klara....”
“Dodon...”
“Udin.... tetangga Dodon.”
“Ng...kita kedalam yuk,” ajak Dodon sebagai tuan rumah yang baik.
“Nggak usah, Don. Di sini aja. Aku suka udara terbuka. Lagian tempat ini masih cukup kok buat kita berempat,” sahut Mila.
“Ya udah. Kita di sini aja kalo gitu.”
Mila dan Klara duduk di sisi lain balai-balai itu, berhadapan dengan Dodon dan Udin.
“Ng... kamu denger semua pembicaraan kita tadi, Mil?” tanya Udin.
Mila tersenyum.
“Sebenarnya aku nggak suka nguping. Tapi tadi kan nggak disengaja.”
“Nah, Don. Kita udah ketangkap basah. Jadi saya saranin kamu nyanyiin tuh lagu buat Mila sekarang, mumpung orangnya ada.”
“Hush! Apaan sih?!”
“Iya, Don. Aku juga pengen dengar nih?” sambung Klara sambil mengerling nakal ke Mila.
“Nggak usah sampai dibuatin lagu segala. Kamu mau bantu nerangin rumus molekul kemarin aja aku udah senang kok.”
Mila pun mengeluarkan setumpuk buku pelajaran dari tas pink-nya ke tengah mereka.
“Ooh, jadi kesini mau belajar bareng toh?”
“He em. Ini pun kalo bang Dodon nggak keberatan.”
“Udah pasti dia seneng banget tuh, Mil,” goda Udin.
“Oh ya. Ada yang kelupaan di mobil,” celetuk Klara.
“Tunggu sebentar ya.”
Klara berlari kecil ke arah mobil. Tak lama kemudian dia kembali sambil membawa rantang plastik gede.
“Taraaa..... ini puding kelapa muda yang kami buat semalam. Dicicipi deh mumpung masih dingin,” ucap Klara lagi sambil mengeluarkan beberapa sendok plastik dan mempersilahkan Dodon dan Udin mencicipi bawaanya.
“Waduh, jadi ngerepotin nih,” kata Dodon.
“Ah, nggak kok. Gimana rasanya?”
“Enak banget.....,” sahut Udin. Ini anak emang kalau soal makanan suka main lahap aja, nggak pake basa-basi.
“Bener nih...!?” tanya Mila.
“Suer disambar KFC. Eh, kayaknya kamu berdua mesti sering-sering ke sini deh. Dan....jangan lupa pudingnya,” sahut Udin lagi. Yang lain langsung gerrrrr.
Tak lama kemudian, Dodon nampak asyik mengajari Mila rumus-rumus Kimia. Beberapa kali dia menjewer kupingnya sendiri untuk meyakinkan kali ini dia tidak bermimpi. Sementara Udin kelihatan hepi bener bisa megang-megang jari Klara. Yah,... soalnya Klara minta diajarin main gitar sama Udin.
Di atas pohon mangga, cupid mengintip dua pasang remaja itu sambil tersenyum. Sepasang anak panah sedang diasah untuk mereka.
♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥bY:PikaL♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥
Komentar