Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Senar Gitar

gambar dari: justmusiclessons.com.au

Malam ini begitu dingin dan bisu. Suara angin yang kadang-kadang menyengat gendang telinga pun tak terdengar. Aku yakin decak langkah sepatu kets ku pun pasti akan tenggelam dalam keheningan malam ini.

    Tapi aku enggan melangkah. Entah mengapa malam ini begitu berbeda. Dari tengah kompleks pekuburan aku melemparkan pandanganku jauh-jauh, mengitari satu per satu nisan di sebelah kiri, kanan dan belakangku. Hh,.. mungkin suasana malam yang membuat aku mendadak melankolis begini. Sekali lagi  aku memandang  nisan almarhum Ridho, sobatku.

     Aku masih berduka. Setiap petang merayapi atap rumahku, suara petikan senar gitarnya masih terdengar jelas. Bahkan kadang aku merasa sedang menikmati live solo guitar player dari beranda kamarku, tanpa pemain, hanya instrumen yang mengalir menyelusup lewat udara dingin dan uap kopi instant.  
           
     Ridho adalah sahabatku yang pendiam, namun aku tahu dia menyimpan badai menggelegak dalam jiwanya yang hanya akan tersingkap keluar saat jemarinya menari-nari di antara senar gitar akuistiknya. Berbeda denganku yang cuek, extrovert dan menganggap musik adalah santapan indra pendengaran belaka.  Dia adalah seorang introver dan baginya musik adalah passion. Dia adalah sang chef dan orang-orang seperti aku adalah pencicip masakannya. Untunglah keterampilannya bermusik dilirik oleh orang-orang yang tepat, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama,  dia sudah mulai menemukan dunianya. Saat sekolahan dulu, dia hanya dikenal sebagai gitaris belakang gang. Saat kuliah, sambil berkutat dengan tumpukan tugas dan teknik gitar klasik, dia sudah wara wiri show dari cafe satu ke kafe yang lain.

Belakangan ini namanya sudah dikenal di seantero kota. Dia dipanggil bermain di tempat-tempat nongkrong eksekutif muda sampai melakoni beberapa wawancara di stasiun radio. Dari rumahnya yang hanya dipisahkan tembok pembatas setinggi dada, aku selalu mendengar melodi indah yang dimainkannya terutama saat dia sedang latihan untuk mempersiapkan show pada malam harinya. Sleeping Child-nya MLTR adalah lagu favoritnya. Menurutnya lagu itu adalah lagu pembangkit mood dan punya feel yang kuat. Entahlah, bahasa seniman memang kadang susah dipahami.

Sampai akhir hidupnya kami tetap berteman akrab dengan jalur karir kami masing-masing. Aku dengan kamera DLSR-ku dan dia dengan senar-senar gitarnya.  Saat itu sebuah truk berkecepatan tinggi yang keluar jalur menghantam motor gede-nya dan membuyarkan semua mimpi-mimpinya. Mimpi membeli sebidang tanah dari hasil “mengamen”nya selama ini, mimpi membuat album mini, mimpi melamar Indri, cewek yang sudah dipacarinya dua tahun ini.

   Sudah lebih empat puluh hari semenjak kecelakaan maut itu, namun aura kehadirannya masih begitu terasa.

   Tapi sudah dua petang ini telingaku merasa begitu asing. Tidak ada lagi melodi gitar yang menari-nari bersama angin malam. Tidak ada Romance d’amor, Fur Elise atau Sleeping Child membelah udara senja. Suasana senja dan hatiku kini begitu sepi. Sepertinya Ridho benar-benar pamit untuk pergi selamanya. Sore tadi saat cangkir kopiku sudah tandas setengahnya, kesepian itu dipecahkan SMS allert dari Indri.
      ....dan tahu-tahu aku telah berada di depan nisan Ridho.

      “Jef, balik yuk,”Suara bening itu mengejutkanku.“...sudah larut nih. Kita juga sudah cukup lama disini,” ucap Indri lagi. Aku berpaling. Beberapa langkah dibelakang juga masih nampak pendar lampu petromaks bang Ujang, penjaga kompleks makam ini. Indri nampak merapatkan kerah jaketnya, untuk mengusir dinginnya udara malam.
      “OK, kita balik sekarang,” sahutku lalu memandang nisan Ridho sekali lagi.
 “Gue balik sob, mudah-mudahan elo bahagia disana,” gumamku.

Sedikit gerimis saat Vixion hitamku dengan suara garangnya menembus jalan-jalan pinggiran kota. Indri yang duduk di belakang juga masih terdiam seribu bahasa. Sore tadi kami sepertinya menangkap pesan yang sama. Dia juga merasa Ridho sedang memanggilnya  dari alam sana. Kami pun memutuskan untuk kembali menjenguk makamnya dan mendoakannya untuk kesekian kalinya.

                Arus kendaraan yang mulai memadat memaksaku memperlambat laju motor. Memasuki jalan Boulevard, mobil dan motor benar-benar bertumpuk. Aku mesti pandai mencari celah lowong di antara kendaraan agar tidak terjebak dalam kemacetan ini. Saat melintas di samping sebuah Toyota Yaris berwarna silver, aku tiba-tiba terpaku. Samar-samar sound system mobil mengalunkan lirik yang sangat aku kenal, “O my sleeping child, the world’s so wild but you build your own paradise....,”suaranya terdengar pilu menyelusup tajam di antara karbonmonoksida, menyayat relung malam dan gendang pendengaranku. Hujan pun tumpah dengan derasnya membasahi bumi dan hati kami. 

Komentar