Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

T a w a

gambar dari https://www.flickr.com/photos/rohmads/5487792306/


Terdengar dari balik menara gading kesombongan,
Bersama jeritan mesin penghitung uang.
Terdengar dari dalam lembah bergelimang lumpur
Bersama denting perak selundupan.
Terdengar dari dalam istana negeri yang hina melarat
Bersama denting piano dan denting gelas cocktail
Terdengar berderai-derai dari balik pintu apartemen
Bersama riuh pesta bujang di ujung malam
Terdengar dari rumah kosong bertabir belukar
Bersama isak gadis yang tak perawan lagi
Terdengar samar dari balik meja rapat para petinggi partai
Bersama tumpukan manifes dan rencana pragmatis
Terdengar dari balik jeruji dingin hitam
Bersama raungan pedih narapidana baru hari ini
Terdengar tertahan dari balik jendela dan pintu berwarna lembayung
Bersama desah sakaw remaja dan paruh baya
 

Terdengar dari balik biara para pertapa
Bersama tawa seorang pendosa yang bertobat
Terdengar dari dalam rumah kardus
Bersama denting koin lambang rezeki hari ini
Terdengar merdu di bawah hujan Februari
Bersama ikrar suci sepasang kekasih
Terdengar membahana di ruang gudang terigu bercampur debu
Bersama berita kenaikan gaji 
Terdengar dari balik ruang yudisium
Bersama lembaran-lembaran tugas akhir dan prestasi berbingkai janji
Terdengar dari sudut-sudut duniamu
Bersama doa tulus yang tak kau sadari  

Tawa-tawa,
Bernada Keriaan, sukacita, angkuh, getir, licik, tulus
merambat lewat tangga frekuensi,
menyelusup ke celah gendang telingamu, dan gendang telingaku
Kita pun tersapa atau terperdaya
Namun dunia akan tetap membutuhkannya,
Bagai perahu layar yang mencari angin

Komentar