Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
gambar dari: hercampus.com |
Beberapa hari ini
aku diselimuti gundah gulana. Setiap kali memikirkan momentum besar dalam
hidupku yang datang tak lama lagi, aku semakin tenggelam dalam kerisauan.
Masalah yang aku mengganjal di pikiranku adalah sebuah rahasia kecil yang sudah
bertahun-tahun aku sembunyikan. Tapi entah mengapa aku selalu merasa rahasia
kecil itu bisa saja jadi pemicu masalah besar di awal cerita mahligai rumah
tanggaku. Rahasia itu adalah..... aku sudah tidak perawan lagi!
Mungkin orang lain
akan tertawa jika mengetahui aku merisaukan virginitasku. Rekan-rekan kantorku
bahkan seringkali dengan vulgar bercerita mengenai petualangan-petualangan
ranjang mereka. Padahal mereka melakukannya tanpa ikatan pernikahan. Jika ada
yang menimpal iseng, “..jadi kamu sudah tidak ting ting lagi dong?,”yang lain
akan menyahut, “..hari gini? Perawan?!! Hellow...!!”. Lalu gelegar tawa-tawa
nakal pun bergema di sudut-sudut kantor. Aku bisa ikutan tertawa tapi aku tetap
tidak bisa menghilangkan kecemasanku. Setiap kali berpikir dan berpikir, aku
selalu sampai pada pertanyaan itu. Seperti orang yang lelah menelusuri labirin
dan menemukan dirinya menemui lorong buntu yang sama. Apa aku harus memberitahu
mas Deddy sejak awal? Atau membiarkan dia mengetahui semuanya saat malam
pertama kami nanti?
Mas Deddy adalah
calon suamiku, seorang manajer menengah di perusahaan properti. Aku sudah jatuh
cinta padanya tiga tahun ini, dan aku ingin terus mencintainya sampai kapanpun.
Mas Deddy adalah pria yang gentle,
pengertian, aku selalu merasa nyaman di sampingnya. Ketampanannya yang sering
membuat sahabat-sahabatku iri kuanggap bonus dari Tuhan untukku. Tapi yang
seringkali jadi kerikil-kerikil kecil di atas perjalanan cinta kami adalah mas
Deddy tumbuh pada keluarga yang sangat religius dan konservatif. Sementara aku
adalah tipe cewek yang cuek dan sangat liberal. Dia tidak pernah mengungkapkannya
secara langsung, tapi aku selalu menilai bahwa mas Deddy adalah tipe cowok yang
sangat mengagungkan virginitas. Penilaianku muncul dari caranya mengayomiku,
nasihat-nasihatnya untuk selalu menunjukan citra feminim, dan perlakuan-perlakuan
gentle bak satria yang melindungi
bidadarinya.
Menambah kecemasanku, sudah dua tiga kali aku
bermimpi ibu mas Deddy mengenakan kebaya dan konde lebar mendatangiku dan
mendelik kejam kepadaku, seolah-olah sedang memvonis aku. Entah apa arti mimpi
itu. Pada awal-awal hubungan kami memang ibu mas Deddy menentang hubungan kami
tanpa alasan yang jelas. Tapi kekerasan hatinya perlahan memudar seiring waktu
dan melihat komitmen kami yang tak
terpatahkan. Aku selalu membayangkan jangan-jangan saat dia tahu status keperawananku,
dia akan mendampratku lalu menarik mas Deddy dan berkata “Tuh kan?! Apa mama bilang? Calon istri kamu itu bukan perempuan
baik-baik?!!”
Duhhh....!
Lamunanku mendadak
buyar saat mas Deddy memanggil namaku. Aku berpaling, dan pangling. Mas Deddy nampak
begitu gagah dibalik jas hitam english
style.
“Bagaimana Rasti?”
sambil mengembangkan kedua tangannya.
Ah mas, kamu mengenakan
setelah apapun, kamu itu tetap satriaku.
“Jas-nya pas mas.
Kamu gagah sekali. Wah, bakal banyak cewek yang patah hati nih.”
Mas Deddy nyengir
manis.
15 menit kemudian
kami meninggalkan executive tailor
tempat mas Deddy menjahit jasnya dan menuju ke restoran tempat resepsi
pernikahan kami nanti. Sore ini kami sudah membuat janji dengan manajer restoran
tersebut untuk mengecek menu makan malam yang disediakan. Sepanjang perjalanan
mas Deddy terus berceloteh di belakang setir. Pembicaraan kami seputar
persiapan-persiapan pesta pernikahan kami 10 hari lagi. Aku menanggapi
sekenanya karena aku berusaha membagi konsentrasi antara percakapan kami dengan
pergumulan pikiranku. Sebagian pikiranku mendesak aku untuk segera
memberitahunya. Walau bagaimanapun juga dia adalah calon suamiku dan dia berhak
tahu keadaanku seutuhnya. Tapi separuh pikiranku yang lain melarang aku untuk
memberitahunya. Jika dia memang mencintaiku, dia tetap akan menerimaku apapun keadaanku.
“Kamu sakit Rasti?”
Lagi-lagi mas Deddy
membuyarkan lamunanku.
“Aku.... aku ingat
tugas kantor mas,” sahutku berbohong.
Mas Deddy menatap
menyelidik, “Bener nih? Coba rileks sayang. Sudah atur delegasi tugas sama
staf-staf kamu kan?”
“Iya sih mas. Cuman
masih kepikiran saja,” aku berusaha meyakinkan mas Deddy. Untunglah restoran
yang kami tuju sudah nampak di depan sehingga perhatian mas Deddy teralihkan.
Selama hampir 30
menit ini kami melihat dan memilih menu-menu serta konsep resepsi yang
ditawarkan pihak restoran dan membandingkannya dengan budget kami. Ibu Mira
yang diberi tugas menemani kami memberi penjelasan yang lengkap mengenai
menu-menu andalah mereka. Sesekali dia juga ikut memberi rekomendasi. Sejenak
aku bisa melupakan kegalauanku.
Tapi rupanya mas
Deddy masih bisa menangkap isyarat yang keluar dari pikiranku. Sehingga saat
makan malam dia kembali menanyakan apa yang aku pikirkan. Aku pun merasa harus
memberitahu yang sebenawrnya.
Aku menyesap jus
alpukat untuk menyejukkan tenggorakanku.
“Iya nih mas. Aku
mau beritahu sesuatu sama kamu nih, tapi... aku masih bingung.”
Mas Deddy
menggenggam tangan kiriku.
“Beritahu apa
sayang? Kenapa mesti pakai bingung segala sih?” sahutnya pelan. Suara
baritonnya membuatku sedikit tenang.
“Iya. Soalnya aku
sayaangg banget sama mas Deddy. Jadi aku takut mas Deddy jadi berubah.”
“Apa sih yang akan membuat
aku berubah. Aku tetap sayang kamu.”
“Hmm.... aku punya
rahasia kecil yang selama ini aku sembunyikan dari kamu, mas.” Aku menatap
matanya lekat-lekat. Mas Deddy mengangguk menunggu aku meneruskan ucapanku.
“Aku... aku sudah
tidak perawan lagi.”
Aku melihat mimik
mas Deddy berubah. Dia berusaha menutupinya tapi aku tahu dia cukup terkejut.
“Kapan
kejadiannya?”
“Sudah enam tahun
lalu. Saat aku masih semester 4 dan pacar aku semester 6. Kami melakukannya di
bawah pengaruh alkohol. Saat itu kami bersama beberapa teman kampus lainnya
melakukan kunjungan di hutan konservasi di wilayaha Puncak. Kami menginap di
sebuah villa. Beberapa teman membawa minuman keras, dan aku ikut dalam pesta
mereka. Saat itu kami hanyalah segerombolan anak muda yang masih labil.”
Mas Deddy terdiam
sejenak.
“Setelah itu.....”
Waduh, ini
interogasi khas mas Deddy.
“Tak lama kemudian
kami putus. Setelah itu aku menyesal habis-habisan mas.”
“Jadi.... aku akan
jadi orang kedua?”
Aku mengangguk
pasrah.
Mas Deddy menarik
genggamannya dan mengaduk cappucino-nya.
“Tuh kan?? Kamu
marah ya mas? Maaf yah baru beritahu kamu hari ini.”
“Nggak kok. Aku
senang kamu mau jujur. Aku bakal tetap cinta dan sayang sama kamu Rasti. Walau
jujur, aku sedikit kecewa.”
“Sedikitnya gimana
mas?”
“Sedikit....,”
sahutnya sambil menempelkan jempol dan telunjuknya di depan matanya. Mas Deddy
berusaha tersenyum. Aku juga, sambil menetralkan debaran jantungku. Mas Deddy
kecewa besar. Aku mengetahuinya.
******************
Kekhawatiranku
terbukti. Pagi ini nomor mas Deddy tidak aktif. Padahal biasa dia yang selalu
menyapaku pagi-pagi, mengingatkanku untuk segera bangun dan tidak lupa sarapan.
Aku meninggalkan
rumah kontrakan tergopoh-gopoh karena bangun kesiangan. Setiba di kantor aku
juga langsung tenggelam di dalam berkas-berkas yang harus diperiksa dan di-approve. Di sela-sela kesibukan aku
mengintip layar smartphone kalau-kalau
ada pesan yang masuk dari mas Deddy. Nihil.
Menjelang makan
siang aku pun berinisiatif kembali meneleponnya. Ah, nomornya aktif. Tapi
panggilanku tidak kunjung dijawab. Aku meletakkan gadgetku dan termenung. Tapi sebelum pikiranku merambat
kemana-mana, gadgetku berbunyi, itu panggilan dari mas Deddy. Aku sigap
menjawab teleponnya. Tapi suaranya di seberang sana duluan bergema.
“Rasti, sori ya
lagi meeting nih. Bentar aku telepon
ya?”
“Oh gitu. Oke mas”
“Yop..!”
Lalu percakapan
kami terputus. Ini percakapan tersingkat selama kami menjalin hubungan tiga
tahun ini. Sepertinya mas Deddy masih terpukul. Aku kembali tenggelam dalam
kerisauan. Telepon dari beberapa teman kampusku yang ikut bergembira mendengar
berita pernikahan kami tidak juga menghibur perasaankku.
Menjelang jam 5
sore, mas Deddy menelepon dan mengajak aku makan malam. Aku sedikit terhibur.
Menjelang jam 7
kami berdua terdampar di pojok sebuah restoran italian food. Ini tempat mas Deddy menyatakan cintanya padaku tiga
tahun lalu. Tapi anehnya, sepanjang perjalanan mas Deddy tidak begitu banyak
bicara. Kalaupun bicara, paling menanyakan hal-hal remeh seperti tiket
kedatangan keluargaku atau undangan yang belum tersebar. Terkesan sekedar menjalin
percakapan saja.
Sambil menunggu
pesanan kami mas Deddy kembali memperlihatkan contoh-contoh desain latar
pelaminan yang ditawarkan pihak restoran kemarin. Aku ingin segera menyudahi
basa-basi ini dengan menanyakan kembali perasaan mas Deddy.
“Mas Deddy masih
marah ya?”
“Marah?”
“Itu... yang
kemarin.”
“Ooh... tidak dong
sayang. Aku tidak marah atau kecewa lagi,” sahutnya sambil tersenyum. Dia
kembali meraih tanganku dalam genggamannya. “Aku sadar aku harus mencintai
kelebihan dan kekurangan kamu, sayang. Hubungan kita sudah teruji sampai di
tahap ini. Kita sudah melewati masalah-masalah yang jauh lebih berat. Masalah
kamu tidak perawan lagi tidak akan pernah merubah cinta aku, sayang. “
Duuh, sejuknya jiwa
ini mendengar kata-kata mas Deddy.
“Kalau aku sampai
marah besar karena kamu tidak perawan lagi, berarti aku tidak mencintai kamu.
Tapi aku mencintai keperawanan kamu,” sambung mas Deddy lagi.
Rasanya aku ingin
segera melonjak dan memeluknya erat-erat. Untunglah ada meja bundar yang membatasi
kami.
“Puas?” tanyanya.
“Puas 1000% mas,”
sahutku manja. “Aku tambah cinta nih sama mas Deddy.”
“Mm... sebenarnya
aku juga mau jujur sama kamu nih. Aku juga sebenarnya bukan perjaka lagi
sayang. Rasanya dosa berat kalau aku harus mempersalahkan status kamu padahal
aku sendiri juga seperti itu.”
“Oh ya?!,” aku
terkejut. Tapi yah, aku harus bisa dong menerima keadaan mas Deddy dengan
lapang dada. Cintaku juga tidak akan berubah sedikit pun.
“Iya. Maaf ya
sayang. Kamu juga akan menjadi orang kedua. Tapi sekarang kita fair kan?”
tanyanya.
Aku menggenggam tangannya lebih erat. “Iya deh
mas. Apapun yang terjadi aku tetap cinta kamu mas.”
Ah rasanya dada ini
lega sekali. Setelah sekian lama selalu disesaki oleh beban yang timbul dari
pikiranku. Percakapan kami selanjutnya pun berjalan lebih lancar. Aku juga bisa
tertawa dengan lepas. Mas Deddy tidak salah memilih waktu untuk menuntaskan
satu lagi masalah kecil sebelum hari penting kami. Dia juga tidak salah pilih
tempat. Lasagna panggang yang
dihidangkan rasanya lezat sekali. Kami berdua makan dengan lahap seperti orang
yang seminggu tidak makan.
Tapi aku masih
penasaran dengan satu hal.
“Mas, boleh tahu
siapa orang yang pertama mas?”
Mas Deddy menenggak
es jeruk untuk membantu mengosongkan rongga mulutnya. Aku sedikit geli melihat
upayanya mengenyahkan gumpalan lasagna dari situ.
“Yang pertama?”
“Itu... yang
pertama ngambil perjaka kamu.”
Mas Deddy sedikit
terkejut.
“Waduh, namanya
itu... Susi apa Santi gitu. Lupa aku..!”
Aku ikutan
terkejut.
“Kok, lupa namanya
mas? Kapan sih kejadiannya?”
Mas Deddy melirik
penuh makna padaku.
“Mm... kejadiannya
kemarin malam. Habis ngantar kamu pulang. Cewek itu tarifnya 300 ribu per jam.”
Aku mendelik.
“Mas Deddy!!
Beneran mas?!”
Mas Deddy
mengangguk.
“Aku pakai pengaman
kok, tenang aja.”
Pikiranku langsung menggeliat, mau lari kemana-mana. Kenapa rasanya aku yang sekarang kecewa berat.
Komentar
Trims sudah singgah ya
Trims sudah mampir ya
Trims sudah singgah yah