Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Catatan Seorang Salesman

gambar dari: koworu.deviantart.com

Udara begitu terik siang ini. Aspal jalanan pun rasanya jadi wajan panas yang sebentar lagi melelehkan sol sepatuku. Sementara itu, debu dan karbonmonoksida rasanya tidak berhenti menyesakkan paru-paruku. Aku terbatuk beberapa kali sebelum berbelok ke jalan Kenari I yang lebih teduh dan jauh dari kebisingan.

Aku sudah pernah melewati jalan ini sekitar dua bulan lalu sehingga aku merasa tidak terlalu asing. Rumah-rumah di bagian depan jalan ini sudah hampir semua aku kunjungi.  Saraf-saraf otakku  perlahan mengumpulkan potongan-potongan memori yang aku alami saat itu.  Aku ingat rumah berpohon pinus di ujung dihuni oleh seorang tunanetra dan istrinya. Saat itu istrinya menanyakan apa aku punya peralatan untuk terapi mata. Kemudian aku juga ingat tuan rumah berpagar kuning itu ternyata memelihara seekor anjing herder sehingga membuatku langsung mengambil langkah seribu saat itu. Ah, aku sangat ingat rumah bercat hijau di depan ini. Penghuninya membeli alat pijat seharga Rp 250.000, namun tidak sepeser pun kunikmati uangnya.


Bagaimana bisa? Saat itu aku sedang hanyut ke dalam perasaan empatiku. Pemilik rumah tersebut adalah seorang suami istri muda. Suaminya bekerja sebagai sopir ekspedisi yang sering keluar kota. Saat aku berkunjung dan mempromosikan jualanku,  si istri sendirian di rumah dan langsung jatuh cinta pada alat pijat elektronik yang aku tawarkan. Kelihatannya alat itu tepat untuknya yang sering pegal-pegal dan cocok untuk suaminya yang suka minta dipijat begitu kembali dari luar kota. Namun masalahnya saat itu dia tidak memiliki banyak uang tunai, mesti menunggu suaminya yang akan kembali dua hari lagi. Saat itu aku sama sekali tidak melihat niat jahat dari sorot mata dan intonasi suaranya, jadi aku percaya saja. Harga barangnya kemudian aku talangi dulu, dan kami sepakat dua hari lagi aku datang kesitu mengambil uangnya. Namun apesnya, dua hari kemudian saat aku berkunjung lagi rumah kelihatan kosong melompong. Setelah lama celingak-celinguk di depan rumah, dan kesal karena nomor HP si istri tidak bisa-bisa dihubungi munculah seorang tetangga yang mengatakan kalau mereka baru kemarin pindah kontrakkan. Apes kuadratnya, tidak ada tetangganya yang tahu persis ke daerah mana mereka pindah. Nasib ya nasib.

Hampir setahun ini aku bekerja sebagai sales alat-alat kesehatan. Dengan berbekal ijazah SMU aku memang tidak bisa berharap banyak untuk mengenyam karir milik orang-orang kuliahan. Namun menjadi sales sepertinya sudah menjadi rezekiku. Sebelum ini aku sudah beberapa kali berpindah profesi mulai dari montir, room boy, dan karyawan restoran. Namun tidak pernah bertahan lama. Setelah terjun ke dunia penjualan yang bahasa kerennya direct selling ini, aku seperti menemukan tempatku. Awalnya aku mengira supervisorku hanya ber-hiperbola saja saat mengatakan sales adalah duniaku. Namun lama-kelamanan tantangan dan keasyikan dunia penjualan ini membuat aku semakin betah. Dan setelah berkarir di dunia ini, barulah aku dapat menabung penghasilanku sedikit demi sedikit. Aku malah sudah punya rencana jangka pendek sebagian dari tabunganku akan kujadikan DP untuk kredit sepeda motor.

Aneka pengalaman pahit dan manis menjadi seorang salesman sudah menempaku. Penolakan, penistaan dan sekian pengalaman pahit aku jadikan pembelajaran. Sementara pengalaman manisnya seperti jalinan silahturahmi yang aku bangun dengan beberapa customer, bertemu orang baru, dan kompensasi yang lumayan jika menembus target penjualan aku jadikan pembangkit motivasi.

Sambil terus melangkah, aku tersenyum mengingat sebuah teori yang aku temukan sendiri. Aku menggolongkan calon pembeli ke dalam empat tipe. Tapi penggolongan ini dalam arti yang negatif. 

Tipe yang pertama, adalah calon pembeli yang tidak mau mengeluarkan uang sepeser pun untuk mendapatkan produk yang aku tawarkan. Kalau pun akan mengeluarkan uang, mereka akan menawar sampai tetes darah penghabisan sampai aku sendiri yang menyerah dan menarik diri. Jadi kalau dipikir-pikir, pemilik rumah bercat hijau yang membawa lari produk-ku ini bisa digolongkan ke dalam tipe yang pertama ini.

Kalau tipe pertama pertama calon pembeli yang ingin menipu, tipe kedua adalah aku yang dianggap penipu. Seringkali aku gagal closing hanya karena kedatanganku dianggap sebagai modus penipuan baru. Seperti yang terjadi tiga hari lalu saat aku berjualan di sekitar jalan Manggis, dua blok ke sebelah utara kompleks ini. Aku berkunjung ke sebuah rumah mewah, pada seorang bapak berusia 60-an. Bapak itu murah senyum dan sepertinya tertarik dengan sandal akupuntur yang aku tawarkan. Namun situasi berubah saat menantunya, seorang ibu muda keluar dari dalam rumah dengan wajah tidak bersahabat. Dia keberatan dengan produk itu, dan menawarkan kepada mertuanya untuk membeli sendal yang lebih “berkualitas” di pusat perbelanjaan ternama karena takut produk tersebut tidak bekerja sesuai iklannya. Sudah itu dia bertanya macam-macam lagi, mulai dari nama perusahaaanku, lokasinya, lama aku bekerja, alamat rumah, nomor handphone, dan seabrek pertanyaan lain. Untung dia tidak bertanya soal hobi atau nomor sepatuku. Aku menyerah saat dia mulai bertanya berapa penghasilanku dari berjualan produk tersebut. Tak lama setelah itu aku pamit. Tapi aku tetap meletakkan kartu namaku, hanya untuk memenuhi SOP.  

Suara riuh anak-anak membuyarkan lamunanku. Ah, aku sudah hampir sampai di ujung jalan. Di sebelah kananku nampak rumah mungil namun asri dengan pintu terbuka yang selalu kuanggap tangan yang terbuka lebar menyambut kedatangannku. Di dekat pagar yang setinggi pinggang orang dewasa seorang ibu berdaster merah maroon sedang mengangkat beberapa helai pakaian jemurannya. Dua orang bocah berusia lima atau enam tahun berkejaran mengelilingi ibu tersebut. Pemandangan yang sedikit menurunkan suhu kepalaku. Aku memasang senyum termanis lalu menyapa ibu tersebut:

“Assalammualaikum, bu...”

Si ibu sedikit terkejut dan memandangku. Oh tidak, jangan pandangan itu. Memang zaman ini siapapun pasti akan terkejut dan sedikit resisten dengan kedatangan tamu tak diundang berpakaian rapi, bersepatu mengkilat tapi menggandeng tas ransel besar. Tapi Aku sudah tahu, peluang untuk closing semakin kecil bila di awal pertemuan calon pembeli sudah mengeluarkan cahaya suram itu dari pupil matanya. Untunglah aku sudah  sangat terlatih untuk tidak mengubah ekspresiku sedikitpun.

“Saya Jefri bu, dari PT. Insan Cemerlang.”

Untuk calon pembeli yang lebih ramah aku pasti sudah akan mengulurkan tangan. Tapi tidak untuk yang satu ini. Apalagi sinar matanya semakin suram. Dua bocah yang tadi asyik bermain, juga mulai menghentikan keasyikannya karena menangkap bahasa non verbal ibunya. Mereka berlindung di belakang daster si ibu dan menatap aneh kepadaku.

“Ya... ada apa ya, dek?” si ibu mulai membuka suara hati-hati. Aku memutar otak sejenak.

“Maaf mengganggu, bu. Saya cuman mau kasih katalog produk ini sama ibu,” aku meraih saku samping tas ku. “Saya yakin ibu menyukai .....”

“Roy... Ana masuk, masuk...,” kata-kata saya terpotong seketika.

“Maaf dek, saya ndak tertarik,” lalu tanpa menunggu reaksi saya lagi, ibu itu tergopoh-gopoh menyeret kedua bocah ke dalam rumah lalu menutup pintunya keras. Untung tembok di batas pintu tidak sampai jebol. Aku membuang napas selepas-lepasnya lalu membuka aplikasi memo dalam HP ku dan mencatat kegagalan ini. Aku belajar mencatat setiap penolakan, penerimaan dan closing transaction dari mentorku dulu sebagai cara untuk selalu belajar dari best practise. Sekaligus aku ingin membuktikan seberapa besar pembuktian hukum rata-rata kepadaku. 

Nah, ibu tadi tergolong ke dalan tipe ke tiga. Calon pembeli pada tipe ke tiga ini menganggap sales itu salah satu varian orang asing yang jahat dan harus dijauhi. Bisa jadi sales itu adalah pencuri kelas kakap yang sedang menyamar untuk melihat situasi kompleks, atau kawanan penculik anak-anak yang akan beraksi saat keadaan memungkinkan.

Aku yakin si ibu sedang mengintip dari balik jendelanya saat ini. Tapi aku melangkah meninggalkan pekarangan rumah itu. Kebetulan perut ini juga sudah berteriak minta diisi. Tak lama kemudian aku keluar dari jalan Kenari I lalu mengikuti bibir jalan Kenari Raya ke arah selatan. Sekitar 150 meter ke depan ada warung favoritku jika aku berjualan di daerah ini, warung kecil yang rasa bumbu pecelnya te o pe kata anak-anak zaman ini.

Setelah berjalan sebentar aku pun sampai di warung tersebut. Bu Sum, si pemilik warung tersenyum hangat begitu aku melongokkan kepalaku ke dalam warung berukuran 4x6 meter tersebut. Aroma bawang bercampur asap yang khas langsung menari-nari di depan hidungku.

“Waduhh, nak Jefri!! Kemana aja? Sudah lama ndak main kemari,” sapa bu Sum.

“Lama bagaimana bu? Baru juga seminggu,” sahutku sembari masuk ke dalam warung dan menghempaskan tas ku kesalah satu kursi plastik dan merebabkan pantatku di atas kursi plastik lainnya. Kebetulan saat itu warung sedang sepi, hanya terlihat seorang bapak tambun berpenampilan perlente di pojok warung yang sedang asik dengan blackberry-nya.
Bu Sum tertawa renyah.

“Masa iya seminggu. Kok perasaan sudah lama,”

“Kan perasaan ibu. Saya perasaan baru seminggu bu,”sahutku lagi.

“Ada-ada saja kamu. Eh, mau makan apa nih?”


“ Menu biasa bu. Nasi pecel....”


“Minumnya?”

“ Mm... teh manis aja bu ya. Bisa pakai es kan?”

Bu Sum mengiyakan lalu menghilang keluar. Gerobak tempat meracik masakannya memang terletak di depan warungnya.  

Sambil menunggu, aku membolak-balik koran lokal yang memang disediakan bu Sum untuk pelanggannya. Ekor mataku tertuju  kepada bapak di sudut yang dari tadi larut dengan dunianya sendiri. Di atas meja di depannya, nampak piring sop sudah tandas. Sesekali dia tersenyum sendiri kayak orang gila. Suasana hati yang sedang happy seperti ini membuat proses mem-prospek seorang calon pembeli lebih mudah. Insting marketing ku muncul seketika. Namun sementara berpikir mencari kata yang tepat membuka percakapan kami, bapak itu tiba-tiba berdiri dan menuju ke bu Sum sambil merogoh dompet di saku belakang celanannya dengan susah payah. Waduh, mesti gerak cepat nih. Aku langsung merogoh saku samping tas ku, lalu berdiri sedikit menghalangi jalan bapak tadi.

“Maaf pak, nama saya Jefri,” kataku sambil tersenyum ramah dan mengulurkan tangan.

Si bapak balas menjabat tangan saya. Pertanda bagus nih, walaupun dia kelihatan tidak mau menyebutkan namanya.

“Saya dari PT. Insan Cemerlang. Bisa minta waktunya bentaaaar aja, pak. Saya mau kasih lihat produk terbaru kami,” kataku lagi sambil menyodorkan katalog di depannya.

Bapak itu melihat sejenak, lalu menggeleng kecil.

“Lain kali aja ya, saya buru-buru,” katanya dengan suara basnya yang kental. 
Namun aku belum beringsut.

“Saya punya sauna belt terbaru loh pak. Ampuh sekali menghilangkan lemak-lemak yang tak diinginkan, mumpung lagi diskon,” sambungku sambil membuka lembaran produknya.

Bapak tadi melihat kembali katalog-ku, air mukanya sedikit berubah, menunjukan ketertarikan. Aku menohok lagi benaknya,

“Di tas saya kebetulan masih ada satu nih. Nggak mau dilihat atau mungkin dicoba dulu pak?”

Bapak itu berpikir sejenak, lalu menggeleng kecil lagi. Dia mengambil selembar dua puluh ribuan dari dompetnya dan menyodorkannya kepadaku. Aku terkejut.

“Duit apa nih pak?!”

“Udah ambil aja, nggak apa-apa!”

“Saya tidak minta duit bapak kok,” sahutku.

“Udah... anggap aja aku yang traktir makan siang.”

Kata bapak itu lagi, kali ini dia sedikit memaksa dan hampir memasukkan uang di tangannya itu ke dalam saku kemejaku. Untunglah aku masih bisa mencegahnya. Aku beranjak mundur.

“Mending bapak kasih ke panti asuhan pak, atau anak yang minta-minta di pinggir jalan. Saya mau jualan kok pak, bukan minta duit,” nadaku mulai sedikit ketus kali ini.

Si bapak menatap aneh, lalu berbalik dan keluar warung sambil geleng kepala. 

Nah, ini tipe calon pembeli ke empat. Calon pembeli yang merasa iba dan menganggap orang kayak aku ini orang yang harus dikasihani dan disantuni. Padahal profesi sales itu profesi basah kalau benar-benar dilakoni dengan baik. Kalaupun calon pembeli dari tipe ini jadi membeli, biasa mereka membeli hanya karena kasihan, bukan karena butuh produk yang aku tawarkan. Tapi hal itu tidak terlalu jadi masalah-lah, selama masih ada transaksi sebagaimana mestinya. Toh produknya kan bisa digunakan. Dibanding bapak tadi yang menyamakan aku dengan peminta-minta di dekat lampu merah. Walaupun cuma nyeker kesana-kemari aku masih punya harga kok.

Hh, untunglah bu Sum segera masuk dan menghidangkan pesananku. Aku jadi sedikit cooling down.

“Teh-nya menyusul, ya,” ucapnya.

“Baik, bu.”

Tanpa berlama-lama lagi, aku langsung tancap gas mengeksekusi nasi pecel juara buatan bu Sum.


Apapun yang terjadi hari ini, aku selalu bersyukur masih bisa bernapas, masih bisa tersenyum dan menikmati sepiring nasi pecel. Penolakan dan kata-kata kurang sedap dari calon pembeli, juga  penerimaan dan closing transaction yang manis masih akan aku alami di sisa hari ini dan hari-hari mendatang. Tapi biarlah ini jadi permasalahan kemudian. Yang penting aku masih betah menjadi seorang sales dan aku berani menjalani hidupku.


_________________________________

Baca juga: 



 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Wehh keren nih pak, salesnyah, rajin bersyukur :D
pical gadi mengatakan…
Bener mbak Putri. Apapun peristiwa yg kita alami pasti selalu ada alasan untuk bersyukur....
Fabina Lovers mengatakan…
Salut dengan profesi sales. Saya sendiri selalu gagal berdagang. Entah tak berbakat atau kurang ulet he he he
pical gadi mengatakan…
Mbak Fabina Lovers kalau kurang ulet, itu penilaian yg bisa langsung nampak. Tp sulit menilai kalu kurang bakat. Makasih sudah mampir yah...
Maria Etha mengatakan…
Waduh,... nyesek banget yaaaaa dikasih duit kayak gitu,...
pical gadi mengatakan…
Iya mbak Maria. Untung Salesnya idealis ^_^