Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Ketok Palu

gambar dari: archive.kaskus.co.id

Sudah terlalu sering rakyat jelata diletakkan di atas meja judi, jadi taruhan penjudi-penjudi politik berkerah putih.
Namun kali ini nilai taruhannya terlampau mahal, bahkan untuk ditakar dengan pundi-pundi konstitusi yang pernah disembah puja bak dewa.
Bola panas
pasti mengikuti kemana waktu membawanya.
Tapi nasib kami? Tuhan pun kini bingung menjawabnya.
.
Kadang, madu politik memang terasa manis di lidah, tapi jadi racun mematikan begitu lambung menelannya.
Jika beruntung, racun tersebut akan diekstrak menjadi sel-sel apatisme yang larut sendirinya seperti isu yang hilang
dihembus isu lainnya.
.
Sebelum ibu pertiwi kembali berduka, palu yang tengah digenggam harus engkau ayunkan secepatnya.
Usah pikir pantun yang akan dilantukan para penjudi
usah pikir membalas budi
pun harga sebuah citra diri
.
Kali ini rakyat harus diangkat dari meja judi dan diberi tempat setinggi-tingginya di negeri ini.  

 photo Jangancopasing.jpg

also posted at kompasiana: http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2015/02/16/ketok-palu-723995.html

Komentar

Lis Suwasono mengatakan…
Hm... Ikutan pusing juga :(
pical gadi mengatakan…
Pusing berjemaah dunk mbak Lis :)
ketok magic gimana pak? :D
pical gadi mengatakan…
Hahaha. Kalu yg itu gak apa2 mbak Putri, gak bikin pusing.......