Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
gambar dari: www.examiningcalvinism.com |
Aldo seorang
seorang marketing eksekutif perusahaan pialang forex. Hari itu agenda kerjanya
cukup padat. Dia harus menyusuri setengah metropolitan untuk menepati janjinya
dengan beberapa prospekan. Lewat tengah hari, dia pun memarkirkan Honda
Jazz-nya di depan warung es dawet favoritnya. Sebuah warung yang cukup lapang,
dengan belasan kursi dan tiga meja besar yang dipasang melintang di bawah tenda
oranye besar. Siang itu suasana warung cukup ramai. Sambil menunggu pesanannya tiba,
Aldo membuka tabletnya dan menjelajah berbagai portal berita kalau-kalau ada
berita menarik di hari yang terik ini.
Perhatian Aldo
beralih. Tampak seorang pengemis, bapak separuh baya berbadan ceking masuk ke
warung tersebut. Setelah ikut memesan es dawet, pengemis tadi celingak-celinguk
mencari kursi kosong. Pilihannya jatuh pada kursi disamping Aldo.
Bapak tadi mesam
mesem minta permisi ke Aldo. Aldo ikutan senyum. Jiwa sosialnya tiba-tiba
menggegak saat melihat bapak itu menghitung koin demi koin rupiah di dalam tas lusuh
yang disampirkan ke bahunya. Aldo pun berniat dalam hati akan membayar pesanan
bapak tadi.
Tak lama kemudian es dawetnya tiba, begitu
pula es dawet bapak itu. Dengan kikuk bapak tadi menyeruput es dawetnya. Aldo berniat bercakap-cakap
dengan si bapak, namun bingung mau mengawali percakapan itu darimana soalnya
selama ini dia terbiasa bergaul dengan kaum the
have yang mewah dan berkelas.
Tapi rupanya bapak
itu yang menegur duluan.
“Maaf pak. Bapak
kerjanya di kantor apa pak?” suaranya sopan sekali.
Ah, akhirnya. Aldo
menyahut senang, “Saya marketing di
perusahaan perdagangan forex pak. Forex itu... mata uang asing,”
Bapak
mengangguk-angguk. Entah paham atau tidak.
“Maaf pak. Sekarang
satu dolar berapa rupiah ya pak?”
tanyanya.
“Mm... sekarang
dikisaran 12 ribuan pak,” sahut Aldo.
Si Bapak mengangguk-angguk lagi. Dia tiba-tiba
terhenyak, lalu merogoh tas pinggangnya dalam-dalam. Sebuah i-phone silver dikeluarkan. Aldo
tertegun.
“Sebentar ya pak,
telepon dari istri saya,...” pamitnya lalu sedikit membelakangi Aldo dan kelihatan
ngobrol asyik dengan si penelepon.
Aldo sedikit
bingung. Tadi sangkanya bapak ini pengemis. Tapi dari pakaian kusut dan lusuh, serta
sendal jepit kumal yang dikenakannya, memang tidak diragukan lagi bapak ini
punya tampang-tampang seorang pengemis. Tapi apa iya, seorang pengemis bisa
punya gadget mewah begitu. Jangan-jangan hasil..... maling lagi.
Kebingungan
Aldo semakin menjadi saat bapak tadi, merogoh kembali tasnya lalu mengeluarkan I-Pad
Mini dan menyandarkannya di atas meja warung. Sambil ngomong dia
memencet-mencet layar tablet itu.
Sekian menit
lamanya bapak tadi tenggelam dalam obrolannya. Setelah itu, dia kembali
menyeruput es dawetnya. Aldo bertanya pelan dengan ekspresi bingung.
“Pak... bapak
kerjanya.. ng.. apa sih?!”
Sambil mesam-mesem
bapak tadi menyahut.
“Maaf pak. Saya
cuman pengemis pak.”
Aldo terdiam.
Sepertinya bapak tadi bisa memahami pikiran Aldo sehingga dia berujar lagi,
“Pendapatan saya
tak tentu pak. Pasti beda dengan bapak yang kerjanya kantoran, sudah tentu
pendapatannya. Handphone sama i-pad
saya ini murni hasil mengemis pak.”
Bapak tadi terdiam
sebentar, menghabiskan es dawetnya lalu berujar lagi,
“Tapi.... sekarang
harga-harga udah pada naik pak. Jadi mesti pinter berhemat. Ini baru-baru istri
saya telepon, katanya liburan ini anak-anak ngotot mau ke hongkong lagi, mau ke
disneyland.”
Aldo melotot
“La... lagi?!”
“Iya pak. Tahun
lalu kami sekeluarga ke sana. Saya sih maunya liburan dalam negeri aja pak
tahun ini. Kan masih banyak tempat bagus tuh. Seperti misalnya Bali, tapi di
Bali anak-anak sudah sering sih. Nah misalnya di Raja Ampat atau Tana Toraja”
Aldo menghirup es
dawetnya.
“Saya aja ke Bali
masih bisa dihitung jari, pengemis ini udah sampai ke Disneylang Hongkong,”
batinnya.
“Ng... pak. Emang
kalau boleh tahu, berapa sih penghasilan bapak?” tanya Aldo tidak bisa lagi
menutupi rasa penasarannya.
“Eh, maaf pak. Penghasilan
saya tidak tentu pak....”
“Ehm,... kira-kira
aja pak. Paling kurang berapa gitu?”
Kening si Bapak
sedikit mengerut menandakan si empunya kening sedang berpikir.
“Yah... kira-kira
sepuluh jutaan deh pak.”
“Sepuluh juta?!!!”
sergah Aldo terkejut. Pasalnya angka itu hampir menyamai gajinya sebulan.
Padahal bapak ini cuman pengemis, modal tampang dan tangan tengadah doang.
Dibandingkan dia yang mesti berpikir keras hampir stres karena mengejar target
setiap bulannya. Tapi...
“Pak, sepuluh juta
sebulan itu cukup untuk biaya hidup keluarga, bahkan masih bisa dipakai
jalan-jalan keluar negeri segala pak?”
“Maaf pak. Itu
pendapatan per minggu, bukan per bulan.”
Aldo hampir
tersedak, saking kagetnya.
“Per minggu...!!?”
“Iya pak.”
Aldo geleng-geleng
kepala, entah mau percaya atau tidak. Niatnya yang semula mau mentraktir bapak
itu langsung pupus. Malah sekarang dia yang tergoda mau pindah profesi.
“Maaf pak. Saya
permisi mau jalan lagi. Nanti es dawet bapak, biar sekalian saya yang bayar ya
pak.”
Aldo mau menyahut,
tapi bapak itu keburu memotong,
“Oh iya pak. Boleh
minta kartu namanya? Saya rencana mau lepas Euro saya nih pak. Hanya lagi
tunggu momen yang pas.”
Aldo kini
benar-benar speechless........
Komentar
Trims sudah mampir mbak Putri
Trims sudah main kemari ya mbak ervanty
ya udah, ane culik blog Mas Pical aje ye, buat nemenin glog ane hehehhe