Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Syahdan, ada seorang pemilik penginapan yang
culas dan tamak bernama Tuan Jafar. Penginapan mewahnya sering digunakan para
saudagar dan pembesar kerajaan yang hendak menuju Kota Baghdad. Begitu pula
sebaliknya. Jarak penginapan dari Kota Baghdad kira-kira sehari perjalanan berkuda
jauhnya.
Tidak jauh dari situ, ada penginapan lain yang
lebih kecil dan lebih sederhana milik Tuan Gofar. Namun karena sudah berusia
lanjut, orang-orang lebih sering menjulukinya pak Tua. Sifat Pak Tua dan tuan
Jafar bagai langit dan bumi perbedaannya. pak Tua terkenal sangat baik, jujur
dan rajin. Sekalipun dia dibantu oleh keponakannya mengelola penginapan
tersebut, pak Tua tidak jarang membersihkan sendiri kamar tamunya, atau
menyiapkan makan malam yang dimasaknya sendiri. Pak Tua memberikan tarif yang
murah sehingga penginapannya lebih sering dikunjungi oleh tamu-tamu biasa,
pedagang kecil atau para musafir. Bahkan kadang-kadang jika dia mendapat
kunjungan tamu yang sangat kekurangan, dia membebaskan tamu itu dari biaya
sewa.
Sekalipun demikian, usahanya tidak pernah
merugi. Walaupun tamunya tidak seramai penginapan Tuan Jafar, keramahtamahannya
yang tulus selalu mengundang para tamu untuk berkunjung kembali.
*****************
Akhir-akhir ini muncul gerombolan penyamun
berkuda yang sering beraksi di sekitar kota Baghdad. Mereka selalu merampok dan
melukai korban-korbannya yang akan menuju ke Kota Baghdad. Oleh karena itu para saudagar, pedagang atau
musafir yang sedang menempuh perjalanan ke Baghdad dan kemalaman, lebih memilih
untuk singgah menginap sebentar dan melanjutkan perjalanan keesokan paginya.
Mereka pun biasa menunggu satu dua tamu yang setujuan untuk melanjutkan
perjalanan bersama-sama.
Malam ini penginapan Tuan Jafar ramai seperti
biasanya. Hampir semua kamar terisi. Hari ini penginapan kedatangan tamu
serombongan saudagar dari negeri seberang yang tengah melakukan perjalanan
bisnis ke Kota Baghdad.
Aroma sedap makanan mewah seperti sop kacang merah,
daging panggang dan aneka manisan merebak memenuhi ruang makan. Dua pelayan hilir
mudik meladeni pesanan para tamu. Di
ujung ruangan, tuan Jafar tersenyum licik membayangkan omset besar yang akan segera
memenuhi pundi-pundinya.
Saat tuan Jafar memeriksa pekerjaan
karyawannnya di bagian penerimaan tamu, nampak seorang musafir memakai mantel
lusuh berwarna coklat pasir masuk ke penginapan tersebut. Saat menurunkan
tudung kepalanya, nampak wajah seorang pemuda dengan gurat letih. Pemuda
tersebut mengedarkan pandangannya ke arah tamu-tamu tambun yang sedang makan
dan minum sambil tertawa ria di sebelah dalam ruangan penginapan.
“Ehemm....!!!,” Tuan Jafar langsung menghadang
langkah musafir tersebut. “Ada yang bisa kami bantu, tuan?” tanyanya
berpura-pura ramah.
“Saya butuh tumpangan untuk satu malam,” sahut
pemuda tersebut.
“Wah, kebetulan kami masih punya satu kamar
kosong untuk tuan. Satu malam sepuluh Dirham. Gratis makan pagi, kamar luas,
tilam dari kain beludru Persia, dan anggur terbaik akan diantarkan ke kamar
anda,” dengan sigap Tuan Jafar menjawab sambil memandang sinis.
Sang musafir terkejut, “Itu harga yang
terlampau mahal bagi saya, tuan. Tidakkah tuan punya kamar yang lebih
sederhana? Saya juga tidak perlu pelayanan terbaik. Yang penting ada tempat
tidur untuk meletakkan kepala sejenak.”
Tuan Jafar mendengus.
“Minta maaf tuan.... Kamar ekonomis kami sudah
penuh malam ini. Itu pun kami hargai delapan Dirham semalam, tidak terlalu jauh
berbeda.”
Sang Musafir nampak kecewa.
“Tidak adakah penginapan lain di sekitar
sini?”
Tuan Jafar terkekeh kecil. “Ada penginapan milik
pak Tua, tak jauh dari sini. Penginapannya sangat sederhana. Luasnya tak lebih
luas dari istal kami. Mungkin tarifnya cocok untuk pundi-pundi tuan. Kalau tuan
pandai bermimik, malah bisa dikasih cuma-cuma.”
Tak lama kemudian, dengan lunglai sang musafir
berjalan meninggalkan penginapan tuan Jafar menyeret ontanya menuju ke arah
yang ditunjukkan. Untunglah bulan purnama malam ini menjadi penerang
perjalanannya.
**********
Rumah penginapan milik pak Tua memang tidak
terlalu besar. Malah terkesan rumah rumah biasa bertingkat dua yang difungsikan
sebagai penginapan. Namun karena keadaan rumah bersih dan terawat, sang musafir
langsung merasa nyaman. Dengan mantap musafir tersebut mengetukkan gantungan
besi yang sengaja dipajang di pintu rumah penginapan tersebut. Tak lama Kemudian,
pintu terbuka. Pak Tua berdiri di belakang pintu, wajahnya memang hampir
dipenuhi garis usia namun sorot matanya begitu teduh.
“Salam....,” sapa musafir. Belum lagi pak Tua
menyahut, musafir berkata lagi.
“Saya mencari penginapan, pak.”
“Oh, tuan berada di rumah yang tepat,” sahut
pak Tua ramah.
“Tapi.... sebelumnya saya boleh tahu berapa
tarifnya permalam?”
“Kamar paling mewah disini tarifnya hanya dua Dirham
semalam. Kebetulan sementara kosong.”
“Wah, aku tidak punya uang sebanyak itu. Tidak
adakah kamar yang lebih murah lagi?”
Pak Tua tersenyum tulus.
“Tentu, tentu tuan. Kami dengan senang hati menerima
siapapun yang datang. Keponakan saya akan mengurus onta anda dan segera
mengantar anda. Kita bicarakan tarifnya sambil makan malam.”
Pak Tua pun mengajak tamunya ke dalam, lalu memanggil
Abu, keponakannya.
“Saya akan menyiapkan makan malam segera.
Mungkin tidak semewah yang anda harapkan, menu malam ini roti tawar dan sop
kaki kambing.”
“Itu sudah lebih dari cukup,” sahut musafir
lega sambil menyingkap tudung mantelnya. Kini pak Tua mampu melihat jelas
gurat-gurat wajah pemuda itu.
“Kelihatannya anda lelah sekali, anak muda.
Saya akan menyiapkan sup paling lezat untuk anda. Nama saya Gofar, tapi
orang-orang memanggil saya, pak Tua.”
“Nama saya Abdul, tuan.”
Perkenalan singkat itu pun berlanjut sampai ke
meja makan. Rupanya malam itu, tamu pak Tua hanya Abdul seorang. Tapi pak Tua
senang, karena teman ngobrolnya sekalipun masih belia ternyata punya segudang
pengalaman. Dia bercerita tentang petualangannya menjelajah gurun dan hutan,
dan hal-hal menarik di luar sana yang jarang ditemui pak Tua. Sebaliknya, Abdul
juga senang karena kehangatan persahabatan pak Tua. Sekalipun hubungan mereka
hanya sebatas tamu dan pemilik penginapan, pelayanan dan keramahan yang ditunjukkan
pak Tua membuatnya seperti baru bertemu kawan baik yang lama berpisah.
Di akhir percakapan mereka, pak Tua tak lupa menceritakan
kabar tentang kawanan penyamun yang sering mengganggu orang-orang yang melintas
ke Baghdad. Gerombolan mereka tak segan menyiksa korbannya demi mendapat harta
serta bawaan berharga.
“Mengapa Sultan nan Agung membiarkan penyamun-penyamun
itu beraksi di wilayah kedaulatannya?” tanya Abdul
“Sultan sudah sering mengirim pasukan-pasukan
terbaiknya untuk mengejar mereka. Tapi sampai sekarang, belum ada tanda-tanda
mereka telah ditangkap. Dulu mereka kerap beraksi di malam hari, tapi sekarang
ini siang hari pun mereka harus diwaspadai. Sekarang jalan ke kota Baghdad
siang dan malam sama berbahayanya. Anehnya...” mata Pak Tua menyipit, “Mereka selalu
muncul dan menghilang seketika, bagai angin gurun yang menerbangkan butiran
pasir. Mereka juga ahli menghapus jejak.”
Abdul tertegun. Pak Tua lalu menyarankan agar
Abdul melanjutkan perjalannya pagi-pagi sekali jika tidak ingin terlalu malam
sampai ke Baghdad. Lebih baik lagi jika Abdul bisa bergabung bersama rombongan
atau khafilah yang bertujuan sama.
Mereka berhenti bertukar cerita ketika hawa
dingin malam mencapai puncaknya. Pak Tua mengantar Abdul sampai ke depan
kamarnya. Setelah membereskan perabot makan, pak Tua pun ikut terlelap dalam damai.
Dia tidak tahu kejadian besar yang akan berlangsung di penghujung malam itu.
*****************
Keesokan paginya, Pak Tua dibangunkan oleh
suara ringkihan dan derap langkah belasan kuda yang kedengaran seperti
mengepung penginapannya. Pak Tua berteriak memanggil keponakannya lalu
tergopoh-gopoh turun ke lantai dasar untuk memastikan semuanya baik-baik saja.
Di depan penginapan, sebuah pasukan berkuda telah berbaris gagah. Matahari
masih mengintip malu-malu tapi Pak Tua dapat mengenali mereka sebagai tentara khusus
pengawal Sultan.
Di belakang pasukan, pak Tua dapat melihat
Abdul sedang berbincang dengan pemimpin pasukan. Kelihatannya mereka menyadari
kehadiran pak Tua, sehingga Abdul menghentikan obrolannya lalu menghampiri pak
Tua tersebut.
“Apa yang terjadi?” tanya pak Tua sedikit
cemas.
“Tidak usah takut pak Tua. Semuanya baik-baik
saja. Maafkan saya tidak langsung menceritakan siapa saya sebenarnya,” Abdul
menenangkan.
“Kalau begitu siapa anda? Dan mengapa
pagi-pagi buta, tentara kesultanan menghampiri penginapan saya?”
Abdul tersenyum.
“Saya Abdul bin Khotab, panglima tertinggi pasukan
Sultan,” ucap Abdul sambil mendekapkan telapak tangan kanan ke dadanya
lekat-lekat. “ Saya dan beberapa kawan harus menyamar karena secara khusus
ditugaskan Sri Sultan untuk memata-matai sekaligus menangkap gerombolan berkuda
yang sering meresahkan itu. Sebulan terakhir ini saya dan pasukan-pasukan
terbaik sudah mengendus dan menelusuri keberadaan mereka. Subuh tadi, kami
menggerebek Penginapan Tuan Jafar, karena telah lama kami curigai sebagai salah
satu persembunyian mereka.”
Pak Tua terperangah.
“...kecurigaan kami terbukti. Kami berhasil
menangkap enam orang anggota penyamun. Sisanya masih akan terus dikejar. Kami
juga menangkap tuan Jafar, yang kami curigai sebagai mata-mata gerombolan
tersebut.”
“Benarkah itu?” tanya Pak Tua tidak percaya.
“Kami akan membawa mereka hari ini ke Baghdad
untuk diperiksa di sana. Biar nanti pengadilan yang memutuskan. Kecurigaan kami
berawal dari laporan korban perampokan yang rata-rata pernah menginap di
Penginapan tuan Jafar. Para penyamun itu juga tahu, siapa-siapa tamu yang punya
banyak harta.” Abdul menjelaskan lamat-lamat. “...tapi keberadaan para penyamun di
penginapan, dan harta hasil jarahan yang juga ditemukan di kamar tuan Jafar
sudah jadi bukti yang cukup kuat,” lanjutnya.
Tak lama kemudian satu pasukan prajurit
berkuda lainnya melintas dekat mereka. Rombongan tersebut membawa dua buah
kereta berjeruji besi yang membawa para tawanan. Sekilas nampak tuan Jafar
berteriak-teriak dari balik jeruji.
“Saya tidak bersalah!! Saya ini orang
terhormat! Saya akan berbicara kepada Sultan, kalian semua akan
dihukuuummm....!!!”
Seorang prajurit di dekat kererta menggebrak
jeruji dengan tombaknya untuk membuat tuan Jafar diam.
“Kami harus segera menyusul mereka kembali ke
Baghdad,” pamit Abdul.
Pak Tua pun berterimakasih kepada Abdul dan
pasukannya. Dia juga menitipkan harapan agar seluruh gerombolan penyamun yang
selama ini mengganggu orang-orang yang melintas segera ditangkap.
Tak lama kemudian Abdul sudah bersalin rupa,
mengenakan pakaian kebesarannya. Dia nampak gagah sekali dibalik baju perwiranya.
Sebelum berangkat, Abdul sekali lagi menghampiri pak tua sambil memandang
sekilas penginapan di belakangnya.
“Saya yakin pengadilan nanti akan menyita
seluruh harga kekayaan tuan Jafar sebagai hukuman. Jika itu terjadi, saya akan
merekomendasikan kepada Sultan agar pengelolaan penginapan itu diserahkan
kepada pak Tua. Jarang-jarang saya menemukan keramahan dan kebaikan tulus
seperti yang pak tua lakukan. Saya yakin, tamu-tamu Sultan akan senang
berisirahat di penginapan tersebut.”
Pak Tua tersenyum.
“Saya hanya warga biasa, tuan panglima. Apapun
yang Sultan titahkan harus dilaksanakan, selama saya mampu.”
Abdul pun tersenyum hangat. Dia menyalami pak
Tua, lalu naik ke atas kuda. Dengan gagah dia memimpin pasukan berkudanya
segera menyusul rombongan pertama yang mulai menjauh.
Matahari mulai meninggi, membangunkan angin
padang gurun. (PG)
___________
gambar dari: usatoday30.usatoday.com
Komentar
Makasih sudah mampir