Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Matahari hampir masuk ke peraduannya. Semburat cahaya
tembaga yang biasa merona, kali ini terlihat begitu pucat dan sayu. Deru kendaraan
serta raungan pria dan wanita jadi seperti lagu requiem tak berkesudahan. Alam sedang berduka, selaras dengan pilu di
hati Disha. Sudah dua hari ini, air matanya mengalir tanpa bisa dibendung.
Dua hari lalu, sebelum Kathmandu rata jadi debu, sepasang mata
itu masih berbinar indah. Kenangan terakhir yang dilihat mata bening tersebut
adalah pemandangan saat dia mengatar suami dan putri semata wayangnya di depan
pintu rumah. Siang itu Hasim, suaminya bermaksud membawa Satya, putri mereka berdarmawisata
ke menara Dharahara.
Saat mengaduk kari kambingnya sejam kemudian, bumi berguncang
hebat. Kuah kari tumpah membasahi kompor dan lantai dapur. Beruntung, Disha masih
sempat menyelamatkan diri keluar rumah. Gempa 7,9 yang hanya berlangsung
beberapa waktu telah meluluhlantakkan semuanya. Rumah dan seluruh isinya,
termasuk mimpi-mimpi tentang masa depan semuanya terkubur dalam debu.
Disha menatap hampa pada rumah mungil yang sudah lima tahun
ini mereka tempati. Tatapannya bertambah kelam, saat warga yang selamat berlarian
dengan tubuh tertutup debu beton dan menyampaikan kabar dari mulut ke mulut,
kalau menara Dharahara saat itu juga rata dengan tanah.
Separuh penduduk Kathmandu berubah jadi jenazah. Mereka pergi
bersama kobaran api, sisanya masih tertimbun di bawah reruntuhan. Rumah
sakit-rumah sakit tidak bisa lagi menampung korban luka-luka. Ratusan korban dirawat tak ubahnya seperti kucing
yang ditelantarkan di luar rumah. Seumur hidupnya Disha baru sekalig ini mengalami
sendiri tragedi yang menyayat-nyayat hati dan logika.
Untunglah pada hari kedua ini, keadaan mulai berubah. Kabarnya
sinyal telekomunikasi mulai berfungsi. Kota juga mulai dipenuhi oleh
wajah-wajah asing, pertanda bantuan dari negara tetangga telah berdatangan.
Sementara itu semakin banyak jenazah yang berhasil dikeluarkan dari puing-puing.
Disha tidak kuat membayangkan jenazah suami dan putrinya
berada di antara ratusan jenazah lainnya yang terkubur reruntuhan menara Dharahara. Setelah itu dia pingsan
berkali-kali karena harus menerima kenyataan kalau dua orang yang paling
dicintainya itu harus pergi bersama asap kremasi bersama ratusan jenazah
lainnya.
Sejak itu detik demi detik, menit dan jam berjalan begitu
lambat. Disha melihat dunia seperti padang gurun raksasa yang begitu sepi dan
kelam. Separuh jiwanya seolah pergi, bersama gempa tektonik yang memporakporandakan
hampir seluruh Nepal. Dia tidak peduli lagi pada yang terjadi setelahnya, pada
orang-orang yang menyeret tubuhnya kesana kemari. Ketika tersadar, tahu-tahu
dia sudah berada di tengah-tengah lapangan di tengah kota bersama ratusan
tunawisma lain, berpayung tenda-tenda darurat dan bintang-bintang.
Terlalu pedih rasanya. Di tengah-tengah kegalauan mendalam,
tiba-tiba angin malam membisikkan sesuatu di telinganya. Disha membelalak. Tangannya
sekejab mengepal.
“Aku pasti sudah gila…..,” batinnya. Tapi tak urung, kaki-kaki
jenjangnya melangkah meninggalkan tenda darurat. Perlahan tapi pasti, Disha
tahu, di belakang lapangan ada mesin
genset raksasa yang siang tadi disediakan otoritas kota bersama lusinan jerigen
penuh bahan bakar. Diri Disha yang lain merasa dengan beberapa tenggak saja,
dia sudah bisa mengakhiri penderitaanya yang begitu dalam itu.
Disha berhasil melewati beberapa tenda, langkahnya diringi isak
tangis pilu, suara yang sudah lumrah terdengar dua hari ini. Di tenda paling
belakang, sepintas Disha dapat melihat seorang bocah perempuan berusia sekitar 8
tahun, sedang merapatkan kain selimut di tubuh seorang nenek renta yang
terbaring lemah. Seperti tak cukup, bocah itu ikut melepas syal tebalnya untuk
dilingkarkan ke leher si nenek.
Pandangan mereka bersirobok. Disha membuang muka dan
mempercepat langkahnya. Tapi tahu-tahu bocah itu berlari menghampirinya..
“Bibi….. Saya minta tolong sama bibi. Bolehkah?” suara bocah
mengalun dari bibir mungilnya.
Disha menatap geram, hampir tak sudi membuang waktunya untuk
hal-hal lainnya. Tapi melihat rona senja yang terpantul dari mata bocah itu,
Disha jadi luluh. Bagaimanapun juga, gadis mungil itu berhasil mengingatkannya
pada Satya putrinya.
Disha mengelap air matanya, lalu setengah bersujud agar
sejajar dengan bocah didepannya.
“Apa yang bisa bibi bantu, sayang?
Siapa namamu?”
“Nama saya Karina. Bibi tolong temani nenek sebentar, Karina
mau ke posko untuk memanggil suster. Badan nenek panas lagi….,”
Disha ragu.
“Bolehkah….,” pinta Karina lagi.
Akhirnya dengan berat hati Disha mengangguk. Dia lalu
mengekor tangan Karian yang menuntunnya ke dalam tenda. Disitu kosong
melompong. Memang ada sejumlah selimut dan sendal jepit, tapi penghuni tenda lainnya
entah kemana. Setelah sampai, Karina lalu pergi meninggalkan Disha dan si
nenek.
Disha pun memandang iba kepada nenek renta itu. Tangan nenek
memberi isyarat agar Disha mendekat dan membantunya merapatkan selimut-selimut
yang melilit tubuhnya. Sambil menolong nenek itu, Disha menegur pelan…
“Nama saya Disha, bu. Saya… lihat, cucu nenek begitu
menyayangi nenek,”
Diluar dugaan. Nenek menggeleng kecil, lalu dengan suara
serak dia menyahut.
“Karina bukan cucu saya, nak. Dia juga senasib dengan kita…..
terpisah… terpisah dari orang-orang yang menyayanginya,”
Disha tertegun.
“Ayah dan ibunya…,” gumam Disha.
Nenek kembali menggeleng.
“Karina bilang ayahnya seorang guru. Sedangkan ibunya…..
Karina menyaksikan dengan kepalanya sendiri apartemen mereka rubuh
berkeping-keping. Saat itu Karina sedang bermain bersama kawan-kawannya, nak….
Sepertinya ayah Karina juga tidak terselamatkan lagi….”
Bulir bening kembali mengalir dari mata Dsiha.
“Dia begitu kuat,” isaknya.
Kali ini nenek mengangguk lemah. Disha pun menggenggam
jemari nenek itu. Dia mengutuki dirinya habis-habisan. Semua orang akan diuji
oleh penderitaan. Penderitaan akan membagi manusia menjadi orang yang tegar,
dan orang yang menyerah. Tapi ketegaran bocah itu barusan menamparnya telak-telak.
Tak lama kemudian Karina datang bersama seorang wanita perawat.
Wajah perawat itu kelihatan letih, tapi dengan sigap dia tetap mengeluarkan
beberapa peralatan medis lalu mengambil alih posisi Disha untuk mengecek
keadaan nenek.
“Makasih, bibi” ucap Karina.
Disha berpaling menatap Karina. Air matanya semakin deras
mengalir, lalu dia melepaskan semua bebannya dengan memeluk tubuh mungil Karina
lekat-lekat.
Karina pun membalas pelukan Disha. Dari dalam hangatnya
pelukan itu Karian bertutur lirih,
“Mama juga suka memeluk saya seperti ini…..,”
Disha lalu melepas pelukannya dan menatap penuh arti ke
wajah Karina.
“Karina… kamu boleh memanggil bibi dengan panggilan mama….,”
Karina balas menatap, mencari kesungguhan ucapan Disha itu dari
matanya.
“Bolehkah…?”
Disha mengangguk.
“Nenek bilang mama saya sudah pergi ke surga,…. Papa juga.
Tapi saya senang kalau bibi mau jadi mama saya, mama di surga juga pasti juga
senang…,”
Disha mengangguk lagi, kali ini gurat senyum mulai nampak di
bibirnya.
“Saya punya putri seumuran kamu, sayang…. Dia juga sudah
pergi ke surga sekarang…,”
Kedua wanita itu kembali larut dalam pelukan hangat.
Matahari telah sepenuhnya berganti menjadi potongan rembulan
pertanda malam telah merajai langit Nepal. Relung-relung elegi memang tidak
mudah untuk pergi, tapi selalu ada harapan bagi mereka yang mengisi hatinya
dengan ketabahan dan ketulusan.
________________________________________
Komentar