Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Matahari sudah mengintip dari balik cakrawala,
tapi bekunya malam masih menggantung di udara. Pelataran Imam Besar sesubuh ini
sudah ramai oleh Imam-imam Kepala, pemuka agama dan beberapa penduduk setempat.
Memang tidak lama lagi sebagian besar warga Yerusalem akan memperingati hari
raya Paskah. Tapi keramaian besar di pagi buta begini bukan hal lazim, seolah
ada peristiwa besar yang akan terjadi sebentar lagi.
Wanita dan orang-orang tua berkasak-kusuk.
Seorang Nabi dan Guru besar baru saja ditangkap, kata mereka. Sebagian penduduk
lain menceritakan sepak terjang sang Guru selama ini di tengah penduduk. Dia
bersih dari tipu muslihat, berkeliling dari desa ke desa untuk mengajarkan banyak
petuah. Dia berkawan dengan siapapun. Mulai dari nelayan dan para janda untuk
memberi semangat kehidupan, bahkan pemungut pajak untuk menyapa mereka dengan
kasih tulus. Padahal orang lain mengucilkannya, karena pemungut pajak dianggap
kawan penjajah Romawi. Dia menyembuhkan orang sakit, bahkan kabarnya pernah
mengembalikan nyawa seorang mati. Perlahan, pengikutnya semakin banyak.
Pesonanya menyaingi pesona para pembesar masyarakat.
Akibatnya, para pemuka agama menjadi berang.
Beberapa kali Sang Guru juga mengecam cara hidup mereka yang munafik. Namun
mereka takut menyerang sang Guru secara terbuka karena banyak masyarakat yang
menaruh simpati padanya. Akhirnya cara licik pun ditempuh. Sebuah konspirasi
besar yang didalangi oleh pembesar-pembesar agama membuatnya ditangkap.
Dengan keahlian retorika dan menggunakan
beberapa saksi palsu berhasil menghasut sebagian masyarakat untuk berbalik
mengecam sang Guru Besar. Penangkapannya tengah malam tadi, merupakan awal dari
sebuah tragedi besar yang merupakan bagian dari rencana bulus mereka.
Di salah satu sudut pelataran, beberapa orang
berdiang di dekat api untuk menghangatkan tubuh. Seorang lelaki berwajah kokoh
mendekat malu-malu. Matanya bergerak liar meneliti setiap sudut gerbang gerbang
istana Imam besar. Dia adalah satu dari dua belas murid kesayangan sang Guru besar.
Di daerah mereka, hampir setiap orang mengenalnya. Tapi mungkin tidak demikian di
kota sebesar Yerusalem. Makanya lelaki itu mencoba mencari kesempatan untuk
melihat keadaan sang Guru.
Nyatanya salah satu wanita yang berdiam di
dekat api mengenal wajahnya.
“Bukankah kamu salah satu dari murid orang
itu?”
Lelaki tersebut terkejut lalu dia tidak bisa
menyembunyikan kegugupannya. Tapi dia tetap menggeleng.
“Bukan... aku bukan murid orang itu....,”
sahutnya.
Dia pun beranjak dari situ. Namun saat
melintas di dekat kawanan prajurit, seorang lelaki lain menegurnya.
“Bukankah kamu murid orang itu? Kamu yang
melukai saudaraku saat penangkapan orang itu....”
“Ah,...” Lelaki itu mengingat kembali peristiwa
semalam, saat dengan marah dia menebas daun telinga salah satu prajurit. Namun
sang Guru menghardiknya untuk menyimpan pedangnya, lalu menyembuhkan telinga
prajurit tersebut.
“Bu... bukan aku, kawan. Aku sama sekali tidak
mengenal orang itu....,”
“Ya, benar. Aku mengingat raut wajahmu. Kamu
juga salah satu dari mereka, bukan?” kata prajurit yang lain.
Lelaki itu menggeleng cepat.
“Sungguh. Aku bukan salah satu dari mereka.
A.. aku, aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan orang itu,” sahutnya lalu
berlalu cepat-cepat dari situ.
Belum jauh melangkah, jantungnya seperti
tercekat oleh sesuatu manakala telinganya menangkap suara yang sudah sangat
lazim di awal pagi itu. Suara ayam jantan berkokok panjang terdengar dari
kejauhan. Matanya melotot. Memorinya kembali berputar pada peristiwa perjamuan
terakhirnya dengan sang Guru sebelum sang Guru berakhir di tangan para
prajurit.
Lamat-lamat suara sang guru menggema kembali dalam
gendang telinganya.
“......sebelum
ayam berkokok, kamu telah menyangkal aku tiga kali,......”
Kata-kata itu diucapkan Sang Guru dengan sedih
setelah dia dengan gigih menyatakan akan membela Sang Guru sampai tetes darah
penghabisan. Tapi nyatanya kini, dia sendiri sudah menyangkalnya habis-habisan.
Dia merasa dadanya panas dan sesak, sehingga
dia berlari dari situ dengan hati pedih.
Menyesal.
Sedih.
___________________________
gambar dari: jordandenari.com
Komentar
Selamat Paskah, Mas Pical...
Selamat Paskah... salam buat keluarga
Makasih mampirnya yaa