Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Tiga Penyangkalan


Matahari sudah mengintip dari balik cakrawala, tapi bekunya malam masih menggantung di udara. Pelataran Imam Besar sesubuh ini sudah ramai oleh Imam-imam Kepala, pemuka agama dan beberapa penduduk setempat. Memang tidak lama lagi sebagian besar warga Yerusalem akan memperingati hari raya Paskah. Tapi keramaian besar di pagi buta begini bukan hal lazim, seolah ada peristiwa besar yang akan terjadi sebentar lagi.

Wanita dan orang-orang tua berkasak-kusuk. Seorang Nabi dan Guru besar baru saja ditangkap, kata mereka. Sebagian penduduk lain menceritakan sepak terjang sang Guru selama ini di tengah penduduk. Dia bersih dari tipu muslihat, berkeliling dari desa ke desa untuk mengajarkan banyak petuah. Dia berkawan dengan siapapun. Mulai dari nelayan dan para janda untuk memberi semangat kehidupan, bahkan pemungut pajak untuk menyapa mereka dengan kasih tulus. Padahal orang lain mengucilkannya, karena pemungut pajak dianggap kawan penjajah Romawi. Dia menyembuhkan orang sakit, bahkan kabarnya pernah mengembalikan nyawa seorang mati. Perlahan, pengikutnya semakin banyak. Pesonanya menyaingi pesona para pembesar masyarakat.

Akibatnya, para pemuka agama menjadi berang. Beberapa kali Sang Guru juga mengecam cara hidup mereka yang munafik. Namun mereka takut menyerang sang Guru secara terbuka karena banyak masyarakat yang menaruh simpati padanya. Akhirnya cara licik pun ditempuh. Sebuah konspirasi besar yang didalangi oleh pembesar-pembesar agama membuatnya ditangkap.

Dengan keahlian retorika dan menggunakan beberapa saksi palsu berhasil menghasut sebagian masyarakat untuk berbalik mengecam sang Guru Besar. Penangkapannya tengah malam tadi, merupakan awal dari sebuah tragedi besar yang merupakan bagian dari rencana bulus mereka.

Di salah satu sudut pelataran, beberapa orang berdiang di dekat api untuk menghangatkan tubuh. Seorang lelaki berwajah kokoh mendekat malu-malu. Matanya bergerak liar meneliti setiap sudut gerbang gerbang istana Imam besar. Dia adalah satu dari dua belas murid kesayangan sang Guru besar. Di daerah mereka, hampir setiap orang mengenalnya. Tapi mungkin tidak demikian di kota sebesar Yerusalem. Makanya lelaki itu mencoba mencari kesempatan untuk melihat keadaan sang Guru.

Nyatanya salah satu wanita yang berdiam di dekat api mengenal wajahnya.

“Bukankah kamu salah satu dari murid orang itu?”

Lelaki tersebut terkejut lalu dia tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Tapi dia tetap menggeleng.

“Bukan... aku bukan murid orang itu....,” sahutnya.

Dia pun beranjak dari situ. Namun saat melintas di dekat kawanan prajurit, seorang lelaki lain menegurnya.

“Bukankah kamu murid orang itu? Kamu yang melukai saudaraku saat penangkapan orang itu....”

“Ah,...” Lelaki itu mengingat kembali peristiwa semalam, saat dengan marah dia menebas daun telinga salah satu prajurit. Namun sang Guru menghardiknya untuk menyimpan pedangnya, lalu menyembuhkan telinga prajurit tersebut.

“Bu... bukan aku, kawan. Aku sama sekali tidak mengenal orang itu....,”

“Ya, benar. Aku mengingat raut wajahmu. Kamu juga salah satu dari mereka, bukan?” kata prajurit yang lain.

Lelaki itu menggeleng cepat.

“Sungguh. Aku bukan salah satu dari mereka. A.. aku, aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan orang itu,” sahutnya lalu berlalu cepat-cepat dari situ.

Belum jauh melangkah, jantungnya seperti tercekat oleh sesuatu manakala telinganya menangkap suara yang sudah sangat lazim di awal pagi itu. Suara ayam jantan berkokok panjang terdengar dari kejauhan. Matanya melotot. Memorinya kembali berputar pada peristiwa perjamuan terakhirnya dengan sang Guru sebelum sang Guru berakhir di tangan para prajurit.

Lamat-lamat suara sang guru menggema kembali dalam gendang telinganya.

......sebelum ayam berkokok, kamu telah menyangkal aku tiga kali,......

Kata-kata itu diucapkan Sang Guru dengan sedih setelah dia dengan gigih menyatakan akan membela Sang Guru sampai tetes darah penghabisan. Tapi nyatanya kini, dia sendiri sudah menyangkalnya habis-habisan.

Dia merasa dadanya panas dan sesak, sehingga dia berlari dari situ dengan hati pedih.

Menyesal.


Sedih.
___________________________

gambar dari: jordandenari.com



 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Fabina Lovers mengatakan…
sesuai tema hari ini ya...like it
Lis Suwasono mengatakan…
Petrus... dia menyangkal 3 kali. Kita? :(
Selamat Paskah, Mas Pical...
Maria Etha mengatakan…
Selalu ada harapan setelah Yesus bangkit. Selamat paskah Mas Pical.
PutriAndPapa mengatakan…
Met Paskah om Pical........... Salam dr MamPap sy
Ryan M. mengatakan…
...semasa kecil, saya pernah baca kisah ini (sambil ngecat kulit telur). Salam siang :)
pical gadi mengatakan…
Bener mbak Fabina. Trims mampirnya yaa
pical gadi mengatakan…
Waduhh, pertanyaannya berat mbak Lis :)
Selamat Paskah... salam buat keluarga
pical gadi mengatakan…
Selamat Paskah bu Maria. Terus menebar kebaikan...
pical gadi mengatakan…
Sudah sehat Putri? Salam kembali buat MamPap. Selamat Paskah :)
pical gadi mengatakan…
Mantap-lah mas Ryan. Saya malah gak pernah ngecat kulit telur. Maklum paskahannya di kampung, paling banter ikut lomba mencari telur paskah saja :D
Makasih mampirnya yaa