Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Jembatan Aspirasi



Warga desa Manukampret girang bukan kepalang. Proyek pembangunan jembatan penghubung dengan desa tetangga, Manukampus, sepanjang 60 meter telah kelar tuntas. Pembangunan jembatan ini telah lama dirindu-rindukan. Selama ini untuk sampai ke desa Manukampus warga harus mengangkut sepeda motornya ke atas rakit. Jika hujan turun lebat dan arus sungai menderas, mereka harus memutar melaluui desa lain yang hampir tiga kali lipat jauh jaraknya.

Syukurlah kali ini cerita sedih itu tidak terjadi lagi. Berkat jembatan baru, transportasi darat antara desa Manukampret dan desa Manukampret semakin lancar. Sepeda motor, delman, pejalan kaki, bahkan terlihat satu dua mobil telah melintas di atas jembatan tersebut.


Kabarnya beberapa hari lagi, warga desa Manukampret dan Manukampur akan mengadakan syukuran atas suksesnya pembangunan jembatan tersebut. Bapak Camat pun berkenan hadir pada syukuran tersebut.

Naasnya, malam sebelum acara berlangsung, hujan lebat berkepanjangan datang melanda. Air sungai pun meninggi dan menderas. Warga disekitar jembatan yang hampir tertidur lelap karena kelelahan usai kerja bakti membangun panggung hajatan serempak terkejut. Mereka mendengar suara derak yang keras menggelegar, datangnya dari arah jembatan. Warga pun berhamburan keluar rumah dengan penerangan dan mantel seadanya, untuk mencari tahu apa gerangan yang terjadi.

Semua orang pun menatap tak percaya.

Matahari yang datang bersama pagi memperjelas peristiwa pahit yang baru saja terjadi. Jembatan yang akan mereka rayakan syukurannya rupanya patah terbawa hanyut oleh arus sungai yang deras. Untung tidak ada korban jiwa pada saat kejadian.
Bejo dan Jojo, pemuda warga desa Manukampret berbincang dengan ekspresi hampa.
“Wah, tak disangka. Baru beberapa hari dipakai, jembatan kita sudah amblas broer…,” ucap Bejo.
“Iya. Sebenarnya mbah Tukupret sudah lama memperingati pak Kades supaya menghentikan kontraktor yang membangun jembatan tersebut,” sahut Jojo.
“Oh ya?”
“Iya. Dia melihat pembangunan jembatan tersebut penuh aura hitam….,”
“Yah, susah dong kalau kayak gitu. Artinya kita selamanya tidak bisa punya jembatan ke Manukampus,…,” sahut Bejo.
“Yang bermasalah bukan pembangunan jembatannya, tapi..… sst, sumber dananya..!!”
“Maksudnya?” Bejo semakin bingung.
“Sumber dana pembangunan jembatan itu dari Dana Aspirasi, dana panas…..,”

“Ooh gitu,” Bejo mengangguk-angguk pura-pura paham. 

____________________________


ilustrasi gambar dari: regional.kompas.com

Baca Juga:

Sang Pengemis
Konvoi

 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Saya kok fokus sama nama desanya dan mbah tukupretnya ya pak, hahaha kocak :D
Ryan M. mengatakan…
...kirain kisah nyata, ternyata...
pical gadi mengatakan…
Hahaha......
Trims mbak Putri sudah mampir
pical gadi mengatakan…
Hehehe.... fiksi doang kok, tapi memang terinspirasi dari kisah nyata
Fabina Lovers mengatakan…
He he he gara2 uang panas sih ya...
pical gadi mengatakan…
Bener mbak. Maap baru balas koment-nya. Sebulan ini blog ditelantarin gara2 (sok) sibuk. Hehehe