Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
“Eliaaahhh…..!!!!!”
Untuk
kesekian kalinya, Tedi berteriak menyebut nama sobatnya itu.
“Udah
… kita balik aja ke Gotong Batu terus lapor sama Kepala Desanya,” Sukma yang
nampak sama putus asanya mencoba memberi saran.
“Iya,
Di. Sudah hampir seharian kita keliling hutan ini. Bentar lagi mahgrib…,”
sambung Aldo.
Tedi
pun nampak berpikir keras beberapa saat.
“Okeh…,
ayo panggil mas Sujud. Kita balik saja ke Gotong Batu sekarang….”
********
Untunglah larik cahaya matahari
yang menembus rimbunnya pepohonan sedikit menerangi gelapnya rimba. Eliah
berjalan tertatih di antara sulur beringin. Sepatu ketsnya menyibak daun-daun
kering yang berserakan di tanah berbau humus. Sesekali pemuda itu menyeka darah
yang merembes di bawah lututnya. Tangan yang satu lagi menghempas poni lebat
yang menutupi sebagian keningnya agar pandangannya lebih mudah mengitari
keadaan di sekitarnya. Sebuah kamera DSLR berayun-ayun di sekitar bahunya.
Kerongkongannya terasa kering karena sejak tadi dia berteriak memecah keheingan
hutan. Sialnya air mineralnya kini hampir
tandas.
Aneh. Padahal sepertinya tadi
dia cuma terpisah belasan meter saja dari rombongan kawan-kawannya, sekarang
tidak ada sama sekali tanda-tanda kehadiran mereka.
Setelah berjalan beberapa
langkah, Eliah memutuskan untuk berhenti dan rehat sejenak dipayungi pohon
gaharu. Ransel biru gelap yang membekap punggungnya dirogohnya dalam-dalam,
sebuah smartphone dikeluarkan lalu
kembali dicek. Eliah mendengus kesal, kali ini smartphone itu rupanya low
batt berat sehingga tidak bisa dinyalakan sama sekali.
******
Ini semua gara-gara
kupu-kupu dengan sayap berwarna merah cerah yang tadi mengusik perhatian Eliah.
Kupu-kupu itu tiba-tiba melintas di depan Eliah dan hingga diatas kuntum
kembang hutan. Eliah bermaksud mengambil gambar kupu-kupu itu dengan kameranya
hingga sejenak memisahkan diri dari barisan kawan-kawannya yang menyusuri jalan
setapak di tengah hutan itu. Namun begitu dia mendekat dan mengatur fokus
kamera, kupu-kupu itu serta merta terbang dan hingga di kuncup kembang hutan
yang lain. Eliah pun perlahan mendekat sambal memastikan dia masih bisa melihat
rombongan kawan-kawannya.
Kali ini Eliah hampir
menangkap buruannya namun jepretan kameranya rupanya bersamaan dengan sapuan
angin yang mengejutkan kupu-kupu itu sehingga dia pun terbang menjauh dan
hinggap di dedaunan tak jauh dari situ. Eliah merasa kupu-kupu itu seperti
sedang mempermainkannya. Tapi dia tidak mau menyerah, kembali berjingkat
mendekat ke arah kupu-kupu merah itu. Saking fokusnya, dia tidak melihat kalau
saat itu dia memijak akar pohon berlumut yang menyembul di permukaan tanah sehingga dia pun jatuh terjerembab.
Celakanya tanah di
sekitar situ ternyata tidak datar sehingga kemiringan tanah membuat Eliah
terguling menembus semak belukar yang memagari tepi jurang terjal.
Eliah pun terseret ke
bawah. Untunglah jurang itu dipenuhi perdu dan tanaman rambat yang lebat sehingga
walaupun terjungkal beberapa kali sebelum terhempas ke dasar jurang, Eliah masih
bisa memaksa oksigen memenuhi paru-parunya.
Pandangannya nanar
sesaat. Tapi dia memaksa diri untuk menegakkan kepala dan memastikan
keadaannya. Sepertinya semua anggota tubuhnya masih utuh… dan masih bisa
digunakan. Sesaat kemudian dia merasa nyeri datang dari lutut kirinya, terlihat
darah segar mengucur pelan disitu. Memang dia merasa tadi lututnya terantuk keras,
mungkin terkena batu, kayu atau entah benda apa tadi. Beberapa sudut kamera
kesayangannya juga penuh dengan tanah. Untunglah lensanya tidak kenapa-kenapa
padahal tadi dia terguling beberapa kali.
Tapi bukan itu yang perlu
dikhawatirkan sekarang. Tadi kawan-kawannya tidak tahu kalau dia memisahkan
diri dari mereka. Eliah pun bangkit dan tertatih menyusuri lautan labu hutan
yang memenuhi dasar jurang itu. Sayup-sayup telinganya menangkap suara percikan
air. Ahh, rupanya ada sungai kecil yang mengalir di bawah jurang itu. Eliah
jadi merasa haus, dan membuka ranselnya yang belepotan tanah hitam di sana-sini
untuk mengambil botol air mineralnya sekalian smartphone disitu.
Tapi Eliah kelihatan
kecewa berat memandang layar smartphone-nya.
Icon tidak bisa menangkap sinyal tertera disitu.
Eliah mengutuk dirinya
sendiri. Tapi dia harus mencoba sesuatu. Sebelum mencari cara naik kembali ke
atas, dia pun memikirkan untuk berteriak sekeras-kerasnya dari bawah situ.
Siapa tahu kawan-kawannya saat ini sudah sadar kalau dia menghilang, dan
bergerak mencarinya. Dia pun mengambil napas dalam-dalam, lalu…
“TEDDEEEIIIIII…….!!!!!!
SUKMAAAAA……!!!! WOIII…..!!!! AKU DISINI……!!”
Terdengar lamat-lamat
gema dari seruannya. Tapi setelah itu… senyap. Hanya suara air mengalir yang
terdengar di tempat itu.
“WOIIII……. AKU
DISINI…..!!!!!”
“TEDDEEIIII……!!! ALDOOO……!!!!”
“SUKMAAA…..!!!! SIAPA
SAJAA……!!!”
Eliah hampir kehilangan
suara berteriak. Tapi hanya desiran angina saja yang menyahutinya. Akhirnya dia
pun memutuskan untuk mulai mencari jalan kembali ke atas jurang.
Sebenarnya pemandangan di
bawah situ cukup menggodanya untuk kembali mengarahkan kamera, tapi suasananya
sekarang jauh berbeda. Dia terpisah entah seberapa jauh dari kawan-kawannya di
tempat asing yang sama sekali belum pernah didatanginya, jauh dari jangkauan
komunikasi dengan kaki kiri cedera yang dipaksa bekerja untuk sementara. Orang
waras manapun pasti sejenak melupakan keisengannya menjepret sebelum menemukan
kejelasan nasibnya.
Akhirnya setengah jam
kemudian, yang rasanya berjam-jam, Eliah berhasil mendaki kembali jurang itu
dengan bantuan akar dan sulur tanaman-tanaman yang memenuhi bibir jurang.
Setibanya di atas Eliah
menghempaskan diri di atas rerumputan. Kening dan seluruh badannya basah oleh
keringat. Nafasnya masih terdengar memburu.
Tapi beberapa saat
kemudian, Eliah merasa begitu nyaman. Rimbunnya pepohonan yang memayungi hutan
dan mengalirkan oksigen segar membuat suasana begitu teduh. Eliah pun
menyunggingkan senyum di bibirnya. Hampir-hampir dia terlena dan terlelap.
Eliah pun menghembuskan
napas panjang lalu bangkit dan memandang ke sekitarnya. Rasanya ini bukan
tempat dia terjatuh tadi. Sepertinya dia sudah semakin jauh dari
kawan-akwannya. Dia pun mengambila napas panjang lalu mulai berteriak memanggil
kawan-kawannya lagi.
****************
Setelah merasa bisa
memulihkan tenaganya lagi, Eliah berdiri dari akar gaharu yang menyembul ke
permukaan, lalu mencoba melangkah lagi. Arlojinya sudah menunjukkan pukul
setengah empat sore. Udara di sekitar situ memang semakin sejuk rasanya.
Jantung Eliah berdebar kencang. Dia tiba-tiba membayangkan jika hari sudah
gelap dan dia belum juga menemukan kawan-kawannya atau jalan keluar dari hutan
itu ke desa terdekat. Jantungnya pun berdetak kencang.
Sekali lagi Eliah
mengutuki dirinya. Kalau saja dia tidak memilih berada di urutan paling
belakang tadi bersama rombongan. Kalau saja tidak ada kupu-kupu merah yang
melintas di depan hidungnya. Kalau saja dia tidak tergoda mengambil gambar
kupu-kupu itu, kalau saja dia tidak terjatuh, semua ini pasti tidak akan
terjadi. Kalau saja…..
Sambil menyusuri
rerumputan dan semak, doa-doa singkat pun dipanjatkan. Ketakutan mulai
menyelimuti hatinya, seperti tangan-tangan malam yang mulai menyusupi
relung-relung hutan. Dia mulai memaksa kakinya berjalan lebih cepat lagi,
sebelum telinganya menangkap suara harapan.
Eliah berhenti sejenak
untuk memastikan pendengarannya. Ya, kedengarannya suara teratur ini seperti
suara palu yang beradu dengan paku, di suatu tempat di dalam hutan itu. Eliah
pun mencoba mencari asal suara itu. Tidak berapa lama kemudian, dari kejauhan
dia melihat sebuah pondok mungil di kelilingi rimbunnya ketela pohon. Eliah
mendekat perlahan. Rasa penasarannya mengalahkan rasa ketakutannya.
Kini suara palu itu
benar-benar jelas. Seorang kakek dengan rambut memutih yang dibiarkan
berserakan di bahunya sedang memaku bilah papan pada barisan papan lainnya yang
menjadi dinding pondoknya.
Kakek itu sepertinya
menyadari kehadiran orang lain di sekitar pondoknya sehingga dia berhenti dan
berpaling ke arah Eliah.
“Eh, ada tamu rupanya….”
Eliah terkejut. Padahal
tadi dia punya segudang tanya yang ingin diucapkan tapi melihat pandangan si
kakek yang dalam dan menyejukkan dia mendadak kehilangan kata-kata.
“Ayo, kesini, nak. Tidak
usah takut… ,”
Kaki Eliah pun bergerak
maju, padahal sebenarnya pikirannya masih ragu.
“Ak…. aku….,” Eliah
mencoba membuka kata begitu sampai di hadapan kakek. Tapi suaranya terdengar
hampir habis.
Dengan gesit kakek
menarik tangan Eliah ke arah depan rumah. Disitu ada balai-balai dari bambu.
Kakek mempersilahkan Eliah duduk dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian dia
keluar sambil membawa kendi tanah liat, dan gelas plastik. Kakek pun menuangkan
air dari dalam gelas dan mempersilahkan tamunya minum.
Sekali teguk, Eliah
langsung menghabiskan isi gelas itu. Ah rasanya segar sekali.
“Terima kasih, kek….”
Kakek terkekeh.
“Syukurlah, ternyata kamu
bersuara seperti orang, nak. Mbah pikir tadi hantu penunggu hutan yang nyasar.
Hehehe… Mmh… orang-orang kampung memanggilku mbah tukang.”
Eliah manggut-manggut.
“Terima kasih, Mbah..”
Mbah Tukang terkekeh
lagi.
“Oh ya, namaku Eliah, Mbah,”
Eliah berucap lagi sambil bersalaman.
“Mmh…Nak Eliah ada
keperluan apa ya sama mbah?”
Eliah menggaruk kepalanya.
“Sebenarnya…. Sebenarnya
aku tersesat nih mbah.. Aku tadi muter-muter ndak jelas, sampai akhirnya nyasar
kesini.”
Mbah Tukang terpekur.
“Terus kamu mau kemana,
nak??”
“Aku sama teman-teman
tadi sebenarnya meninjau sisa peninggalan kompeni Belanda di tengah hutan.
Untuk keperluan penelitian kampus. Kami dipandu salah satu warga desa, tapi…..
di perjalanan aku terpisah dari rombongan. Aku mau motret kupu-kupu berwarna
merah. Tapi tahu-tahu terperosok ke jurang,”
“Kamu tidak
kenapa-kenapa?” Mbak Tukang memotong ucapan Eliah.
“Cuman lutut yang rada
perih, sepertinya terbentur. Tapi tidak parah kok, Mbah. Ng.. makanya sekarang
saya mau minta petunjuk ke arah mana biar bisa balik ke desa Gotong Batu lagi.”
Mbah tukang
mengangguk-angguk, lalu menepuk pelan bahu Eliah.
“Nak, andai Mbah tidak
kejar target mesti menyelesaikan dinding pondok ini sebelum Mahgrib, Mbah
bersedia ngantar kamu ke Gotong Batu. Ada anak Mbah yang tinggal disana. Tapi
gini,… kamu ikut saja arah matahari terbenam, ke arah barat. Kesitu arah untuk
keluar dari hutan ini ke Gotong Batu.”
Mbah kemudian membulatkan
pupil matanya. “Tapi kamu sudah harus keluar dari hutan ini sebelum matahari
terbenam. Kalau tidak, kamu bakal tidak bisa keluar-keluar lagi.”
Bulu kuduk Eliah
merinding tiba-tiba. “Serem amat,” batinnya.
“Serius Mbah??” tanya
Eliah.
“Iya. Makanya sekarang kamu
cepat-cepat pergi. Lihat matahari semakin condong ke barat. Kamu tidak usah
takut, nak. Mbah bisa melihat ketulusan dalam diri kamu. Ikuti suara hati kamu,
maka kamu bisa keluar dengan selamat.”
Eliah mau memohon lagi,
tapi Mbah Tukang kembali menalukan palu-palunya ke arah papan-papan yang
menghias dinding pondoknya. Gelagatnya juga seperti enggan diganggu lagi.
Eliah pun segera mohon
diri dan berjalan ke arah sinar matahari yang mulai memerah di ufuk barat.
***********
Kini gema suara palu Mbah
Tukang sudah tak terdengar lagi, pertanda pondok di tengah hutan itu sudah
berada jauh di belakang. Arloji yang membelit tangan kiri Eliah sudah
menunjukan pukul lima lewat dua puluh lima menit. Udara mulai mendingin, dan
cahaya matahari semakin sayu.
Eliah nampak semakin
gundah gulana. Tak lama lagi hutan akan menjadi gelap. Tapi sepertinya belum
ada tanda-tanda dia berhasil menuju ke tepi hutan. Sejak tadi yang dilihatnya
hanyalah pepohonan yang menjulang tinggi, belukar dan tanaman liar lainnya.
Eliah memalingkan wajah
ke belakang pertanda ragu. Sejenak muncul niat untuk kembali ke pondok mbah
Tukang. Mungkin jika dia tidak bisa keluar malam ini, dia bisa menumpang semalam
di pondok kakek baik itu.
Eliah terkejut. Tiba-tiba
dari arah belakang muncul kawanan besar kupu-kupu yang terbang ke arahnya.
Refleks Eliah menunduk sambil melindungi wajahnya. Tapi rupanya kawanan
kupu-kupu itu terbang melintas di atas kepalanya. Kini rasa terkejutnya,
berganti perasaan kagum. Banyak sekali kupu-kupu berwarna merah dalam rombongan
besar itu. Sebagian lagi kupu-kupu dengan sayap berwarna kuning terang.
Ajaib! Setelah sampai beberapa
meter di depan Eliah, mereka memisahkan diri. Kupu-kupu merah terbang ke arah
kanan, sedangkan kupu-kupu kuning terbang ke arah kiri. Konvoi kupu-kupu itu
berlangsung cukup lama, sampai seluruh kupu-kpu terpisah menjadi dua dari
rombongan terbang semula.
Eliah terdiam beberapa
saat. Apa ini semacam petunjuk? Dia harus memilih antara arah yang ditunjukkan
kupu-kupu merah atau kupu-kupu kuning. Tanpa banyak pikir lagi Eliah segera
memaksa tubuhnya mengejar kupu-kupu berwarna kuning. Kupu-kupu berwarna merah
tadi hampir membuatnya celaka. Itu hanya satu kupu-kupu, bagaimana kalau satu
rombongan yang diikutinya?
Dengan sisa-sisa
tenaganya Eliah berusaha mengikuti arah yang ditunjukkan kupu-kupu kuning.
Rombongan besar telah jauh menghilang di depan, hanya ada satu dua ekor yang tercecer
dari rombongan yang masih hinggap di pucuk-pucuk kembang hutan. Tapi semakin
lama Eliah semakin kehilangan jejak.
Saat itu malam mulai
menunjukkan kuasanya. Jarak pandang semakin pendek, karena sudut-sudut hutan
sudah dikuasai gelap. Walaupun sudah menguras hampir seluruh tenaganya,
sepertinya dia masih terjebak dalam barisan pohon-pohon raksasa. Eliah hampir
menangis karena kebingungan. Air mineral pun sudah tandas. Dalam keputusasaan
dia kembali memanjatkan doa, walaupun dia merasa pikiran logis-praktisnya pun sedang
menertawakan kebodohannya saat itu.
Tiba-tiba sayup-sayup dia
mendengar kumandang azan mahgrib dari kejauhan. Sontak Eliah mengangkat
wajahnya. Sulit menduga arah sumber suara di tengah hutan seperti itu, tapi
kini nampak cercah harapan di mata Eliah. Dia pun kembali melanjutkan perjalanan,
kini dia tidak mau terlalu banyak berpikir lagi. Dibiarkannya hati nurani
memandu langkah demi langkah.
Kelihatannya kali ini
Eliah berhasil. Dari kejauhan nampak satu dua cahaya lampu listrik. Suara azan pun
terdengar semakin jelas sesekali diselingi suara deru sepeda motor. Eliah tidak
pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Namun ekspresinya hanya ditunjukan
dengan satu tetes bening yang mengalir dari sudut matanya. “Terimakasih ya
Tuhan…..,” batinnya.
Begitu sampai pada rumah
terdekat, Eliah mengucap salam. Di teras rumah ada beberapa kursi plastik
kusam. Eliah merasa sangat lelah sehingga tanpa menunggu jawaban dia langsung
merebahkan pantat dan tas ranselnya disitu.
Seorang bapak ceking mengenakan
kaos oblong dan sarung keluar dari dalam rumah.
“Maaf mengganggu, pak… Ng,..
nama saya Eliah pak. Mau Tanya apa benar ini desa Gotong Batu, pak?”
Si bapak bukannya
menjawab. Malah melotot ketakutan..
“Si..siapa tadi
namanya?,”
Eliah sedikit heran…”Eliah…”
Bapak langsung masuk ke
dalam rumah. Kedengarannya terjadi sedikit keributan di dalam, sebelum bapak
itu keluar kembali. Kali ini dia tidak sendiri tapi diikuti seorang ibu
berambut ikal, kelihatannya istrinya, di ujung daster si ibu bergelayut seorang
bocah perempuan.
Ibu itu memandang Eliah
lekat-lekat lalu melihat layar HP-nya.
“Ini beneran Eliah?? Eliah…..
mahasiswa!??” tanya si Ibu
Eliah tambah heran. “Iya,
bener bu.”
Si ibu lalu menyodorkan
HP-nya dan membiarkan Eliah melihat sendiri layar HP tersebut. Sebuah foto selfie bertiga terpampang disitu. Eliah
berbinar seketika.
“Ini teman saya bu. Aldo
sama Tedi…Rupanya mereka sudah mencari sampai kesini ya bu. Saya memang seharian ini tersesat di hutan. Ini
baru ketemu jalan keluar,..”
Ibu dan bapak ikut
terheran-heran…
“Seharian?” sambung si
bapak lirih. “Kamu sudah hilang seminggu, nak…”
Eliah membisu seketika.
“Ini foto yang dikasih
teman kamu minggu lalu,” sambung si Ibu. “Tiga hari lamanya warga desa dan tim
SAR menyusuri hutan untuk mencari kamu, tapi tidak berhasil.”
“Bapak ibu kamu sampai
nginap di rumah kepala Desa menunggu hasil pencarian. Baru kemarin dulu mereka
balik ke kota. Mereka nampak sedih sekali, nak.”
Eliah masih membisu.
Otaknya sedang berusaha mencerna kata demi kata yang didengarnya. Seluruh
pengalamannya di hutan pun bermunculan berlomba mengisi layar utama film yang
sedang dimainkan Eliah dalam pikirannya.
Bapak dan ibu pun saling
berbisik, lalu si Ibu buka suara lagi.
“Ya sudah. yang penting
sekarang kamu tidak kenapa-kenapa. Ayo masuk ke dalam dulu, nak. Ibu buatkan minum
dulu. Nanti bapak akan menghubungi kepala desa biar segera kesini setelah
maghrib.”
Eliah pun melangkah pelan
ke dalam rumah, mengekor si ibu. Sepertinya segelas air memang pilihan tepat
saat ini. Untuk memuaskan dahaganya sekaligus untuk menenangkan hatinya yang
sedang berkecamuk.
Dari dalam rumah, Eliah
bisa mendengar suara si bapak yang sedang menelpon kepala Desa di teras rumah.
Samar-samar Eliah bisa mengikuti percakapan mereka….
“…anaknya udah ketemu
pak…
iya, tidak
kenapa-kenapa…..
jangan-jangan ditahan mahkluk
penunggu hutan pak… dia hanya bilang seharian tersesat
Iya, pak. Tadi sore ada
rombongan kupu-kupu kuning, saya pikir tamu siapa yang bakal muncul di desa
kita, rupanya si Eliah ini keluar dari hutan….”
Suara motor yang melintas
di luar menutupi suara percakapan mereka. Eliah pun mengalihkan perhatiannya
pada foto-foto yang terpampang di dinding belakang pesawat televisi. Disitu nampak
foto perkawinan, foto wisuda, dan sejumlah foto-foto jadul lainnya. Ketika
pandangannya sampai pada salah satu foto, Eliah kelihatan terpaku, dia sangat
mengenal foto itu. Foto hitam putih itu adalah foto milik seorang bapak
setengah baya berambut panjang yang dikuncir ke belakang. Walaupun pada foto
itu sedikit berbeda, sorot mata dan senyumnya persis sekali dengan kakek yang
dia temui di hutan.
“Mbah Tukang??” gumamnya.
Pada saat yang bersamaan
ibu rumah muncul ke ruang tamu membawa sebuah ceret dan satu gelas kosong. Dia
mendengar ucapan Eliah.
“Kenal dengan Mbah Tukang?”
tanya si ibu.
“Mm… Saya ketemu Mbah
Tukang tadi di hutan, beliau yang menunjukkan saya arah keluar hutan.”
Praaangg…!!!! Eliah
kaget, gelas yang digenggam ibu jatuh ke lantai. Wajahnya kelihatan pucat pasi.
Bapak di teras tergopoh-gopoh masuk ke dalam.
“Ada apa toh bu!??”
Eliah mau mengucapkan
sesuatu tapi keburu dipotong oleh si ibu.
“Dia ketemu bapak di
hutan, Mas….!!, “ kata ibu setengah berseru pada suaminya.
“Haah… bapak!!?? Bapak
kan sudah meninggal 5 tahun yang lalu….!!!”
Kini giliran Eliah yang
mendadak pucat pasi. Di tengah keterkejutannya, dia benar-benar yakin sekarang
dia baru saja mengalami pengalaman luar biasa yang sudah berada di luar
jangkauan logika manusia. (PG)
____________________________
ilustrasi gambar dari: mindblowingshop.com
Komentar
Makasih singgahnya
Heheh...
Sorry lama balas komentnya
Happy Sunday