Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Lin dan Ibu Peri


Lin membuka pelupuk matanya perlahan, lalu mengedarkan pandangan ke segenap penjuru kamar tidurnya dengan ekspresi tidak biasa.  Dia merasa sangat bugar, seperti bangun dari tidur berkepanjangan. Sensasi dinginnya lantai yang menyambut jemari dan telapak kakinya pun terasa tidak biasa.
Lin merasakan keanehan, tetapi pikirannya masih kaku, belum mampu mengurai keanehan tersebut. Perlahan gadis mungil berusia delapan tahun  itu pun menuju ke pintu kamar, membuka kenop pintu dan memandang ke luar. Sepi dan suram. Hanya hembusan sepoi angin yang memberinya salam.
Lin menyusuri selasar lalu menuruni tangga kayu jati menuju ke lantai satu. Berkas cahaya matahari yang biasa masuk dari jendela di sebelah timur rumah, kali ini tak nampak sedikitpun. Lin memperkirakan dia terbangun di tengah malam. Biasanya Lin dengan berat hati akan mengetuk pintu kamar kamar ibunya, untuk memintanya menemani ke kamar mandi di lantai dasar.

Sejak berumur tujuh tahun, Lin sudah paham, wanita setengah baya yang biasa dipanggilnya ibu itu sebenarnya bukan ibu kandungnya. Wanita itu mengadopsinya sejak Lin masih bayi. Sekalipun Lin tidak pernah suka pada ibu angkatnya, dia tetap butuh orang dewasa untuk menemaninya menyusuri tangga yang kelam dan dingin. Tapi kali ini entah mengapa, dia merasa tidak perlu memanggil siapa-siapa untuk menemaninya ke bawah.
Dia merasa begitu bebas dalam kebingungannya. Ya, kali ini dia berani seorang diri, tidak tahu darimana datangnya keberanian itu. Bibir mungilnya pun mulai melantunkan lagu favoritnya
“Twinkle-twinkle Little Star……
How I wonder what you are……,” sambil menuruni anak tangga satu persatu.
Suara mungilnya menggema di sudut-sudut ruangan. Di bawah sini, keadaan ruangan lebih gelap lagi. Tapi Lin seperti tidak peduli, tatapannya tertuju pada sosok boneka panda besar berwarna coklat pasir di sudut ruangan.
Lin pun berlari ke arah boneka itu, seolah ada yang hendak mendahuluinya. Boneka Panda kini berada dalam dekapan Lin. Rambut panjangnya digerai kesamping menutupi dada kirinya, lalu boneka panda disandarkan kesitu. Lin kemudian berpura-pura menjadi ibu yang sedang menidurkan bayinya. Dengan gemulai dia menari kesana kemari, sesekali meloncat kecil sambil menyanyikan lagu Nina Bobo.
Beberapa saat kemudian, Lin menyadari keanehan lainnya. Dia lalu meraba pelipis juga punggungnya. Ada yang hilang rasanya. Sehari-hari ibu angkatnya menjadikan Lin sebagai sasaran amarah. Tonjokan dan pukulan kayu sudah biasa dia terima sehingga selama ini setiap kali terbangun dari tidur, perasaan ngilu dan sedikit nyeri selalu menghampirinya. Dia pun terheran-heran kali ini dia terbangun segar bugar. Tak merasa sakit atau nyeri sedikitpun.
Lin tersenyum lalu meletakkan boneka panda ke lantai. Dari jendela rumah, dia bisa melihat kawan-kawan sekelasnya sedang bermain di luar sana. Di luar cuaca sedang cerah. Lin pun jadi heran dengan anomali waktu dan cuaca itu. Dari jendela lainnya dia bisa melihat guru-gurunya hanyut dalam kegalauan, mereka semua nampak kebingungan seperti baru saja kehilangan sesuatu yang berharga. Senyum Lin perlahan memudar. Dari jendela yang lain, dia melihat sosok ibu angkatnya dikawal beberapa lelaki dewasa berpakaian seperti….. polisi. Apa yang terjadi?
Lin cepat-cepat berpaling dari jendela tersebut. Ditatapnya bingkai jendela lain di sisi dinding yang berseberangan. Pemandangan disitu lebih mengerikan. Lin bisa melihat puluhan tubuh manusia tergeletak di atas tanah berlumpur. Tubuh-tubuh semula diam tak bergeming, lalu bergerak-gerak, merangkak dan merayap ke arah jendela. Wajah-wajah mereka benar-benar mengerikan, hidung yang tak bercuping, mata tanpa bola mata, bibir terkelupas sehingga menyingkap gigi-gigi yang menghitam.
Lin berseru histeris lalu cepat-cepat berlari naik kembali ke lantai dua. Napasnya tersengal-sengal.
Sampai di atas dia melihat pemandangan lainnya yang membuatnya kembali terpaku. Tetapi kali ini, entah mengapa, dia merasa begitu damai. Di hadapannya seorang wanita cantik mengenakan gaun panjang putih berkilauan, tersenyum manis ke arahnya.
“Anakku sayang, kenapa kamu begitu ketakutan?” sapanya ramah.
Lin seperti mendapat kekuatannya kembali mendengar ketulusan yang terpancar dari suara wanita itu.
“Banyak orang jahat yang datang, tante! Lin,… Lin takut…”
Wanita itu mengelus rambut Lin.
“Lin sekarang tidak perlu takut, tante akan membawa kamu pergi  jauh dari orang-orang jahat itu.”
Lin mengernyitkan keningnya.
“Tante ini….. ibu peri, ya? Tante tinggal dimana?” tanyanya polos.
“Mm… kamu boleh panggil seperti itu. Tante tinggal tidak jauh dari sini kok, tapi disana tidak ada orang jahat. Yang ada hanya orang-orang baik seperti Lin…. Lin mau ya ikut tante?”
Lin seperti ragu. Dilihatnya sekali lagi ruangan di lantai bawah, membiarkan sisa-sisa memorinya  menggelegak memanggil kembali pengalaman demi pengalaman dari waktu yang dihabiskannya di rumah itu. Pengalaman getir maupun pengalaman manis bergantian mengisi ingatannya.
Lin pun mengangguk mantap.
Senyum wanita cantik itu semakin lebar, lalu dia meletakkan tangannya ke bahu Lin. Perlahan namun pasti, Lin merasa tubuhnya semakin ringan. Dia dan wanita tadi terangkat dari lantai rumah. Plafon rumah seketika itu berubah menjadi bintang-bintang, dan Lin melihat dengan jelas dunia yang penuh penderitaan telah mereka tinggalkan jauh di bawah sana.
Lin merasa begitu damai dan gembira, tak pernah sekalipun dia merasa sebahagia ini.
“Lin senang, tante…..”
Wanita itu mengangguk.
“Semua orang yang kesana akan merasa bahagia, nak. Mulai sekarang, tidak ada lagi yang bisa menyakiti kamu.”
Pakaian Lin pun mulai berubah warna menjadi putih berkilauan, seindah pakaian wanita yang menemaninya. Semakin lama mereka semakin tinggi dan bergabung bersama bintang-bintang yang bersinar semarak menerangi bumi nan fana.
____________________

ilustrasi gambar dari: 
 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Ceritanya terinspirasi dari kisahnya Angeline ya pak? Sedih bacanya, semoga gadis mungil itu menemukan kebahagiaannya di sana.... :(
Ryan M. mengatakan…
Lin, carilah sepatu kacamu di Rumah-Nya...
Fabina Lovers mengatakan…
Lin, temukanlah kedamaian di istana-Nya. Tempat kasih sayang bermekaran di taman indahnya
Fabina Lovers mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Lis Suwasono mengatakan…
Selamat jalan, Lin...
PutriAndPapa mengatakan…
Kisah yang sedih. Bagus Bung Pical
pical gadi mengatakan…
Amin mbak Putri. Trims sudah mampir yaa
pical gadi mengatakan…
Sipp...
Makasih mampirnya mas Ryan
pical gadi mengatakan…
Makasih doanya bu Fabina...
pical gadi mengatakan…
Trims mampirnya bu Lis
pical gadi mengatakan…
Trims apresiasinya PutriAndPapa. Salam hangat