Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [15-16]


Cerita sebelumnya: Basalto Terakhir [13-14]

“Aku jadi teringat masa lalu, enam atau tujuh tahun lalu saat menerima kalian di padepokan ini. Dan lihatlah… betapa berbedanya diri kalian sekarang ini.”

Guru Shandong lalu menatap wajah muridnya bergantian.

“Thores, waktu itu kamu gemar sekali berkelahi. Dengan sihir kecil-kecilan kamu menimpukkan bebatuan pada punggung kakak-kakak kelas.”

Thores tersenyum malu-malu.

“Ya, lalu tahu-tahu aku sudah berada di jemuran ikan dengan tangan dan kaki terikat,” sahutnya.

Yang lain tertawa kecil.

“Kesha,” kata Guru Shandong lagi. “Gadis kecil manis yang suka tersesat di lorong-lorong padepokan.  Awalnya aku berpikir kamu lebih senang memantrai kertas prakarya supaya bisa beterbangan seperti kupu-kupu di taman, ternyata kamu lebih suka bercanda dengan boneka-bonekamu.”

Kesha tersenyum.

Guru Shandong meneruskan ucapannya, “Aku ingat kamu pernah salah mengambil boneka di kamar Guru Mitvah dan tidak menyadari kalau ternyata itu boneka sihir yang digunakannya untuk mengobati diri sendiri.”

“Iya,” sambung Kesha. “Sampai sekarang aku masih sering merasa bersalah jika mengingat Guru Mitvah sampai demam seminggu, gara-gara bonekanya tanpa sengaja terlupa di halaman dan terkena hujan selama beberapa hari.”

Guru Shandong menggeleng-geleng dengan ekspresi geli.

“Guru Mitvah juga terkena flu berat gara-gara itu, Kesha, jangan lupa. Kami sama-sama di klinik ibu Gamigael waktu itu,” sambung Basaman.

“Iya, aku tahu, Basaman.”

“Kamu…”

Guru Shandong mengangkat telunjuknya untuk menghentikan ocehan Basaman.
 
“Huria…,”

Huria hening menanti kata-kata gurunya.

“….bocah yang tiba-tiba menghilang sehingga paling sering membuat guru-guru panik. Tahu-tahu ditemukan di perpustakaan sedang sibuk membaca literatur, atau menghitung bintang-bintang di menara.”

Huria tersenyum, “…dan pernah tertidur di istal karena letih memberi makan lusinan kuda,” sambungnya.

Guru Shandong terkekeh.

“Iya, aku ingat saat itu kamu dihukum Guru Sasian karena lupa mengerjakan tugas besarmu.”

Basaman baru teringat peristiwa itu, lalu memandang Huria sambil tersipu.

“Mestinya penyebab kekacauan itu juga dihukum…,” tunjuk Huria ke Basaman.

“Oh ya ya, aku ingat,” sambung Guru Shandong. “Saat itu ternyata perkamen tugas harianmu dipinjam oleh Basaman dan dia lupa tempat mengembalikannya.”

“Huria tidak mau berbicara kepadaku berhari-hari setelah kejadian itu,” ucap Basaman.

“…dan mendamaikan kalian berdua jadi tugas pertamaku saat dipilih jadi ketua kelas oleh Guru saat itu,” sambung Thores.

“Jangan lupa… aku jadi merpati pos-nya,” Kesha mengerling ke wajah Basaman.

Guru Shandong menatap tak mengerti.

“Jangan, Kesha,” Basaman berusaha mencegah Kesha melanjutkan ucapannya.

“Aku harus memberitahu guru rahasia kecilmu itu,” Kesha sepertinya tidak terpengaruh.

“Apa yang kalian rahasiakan? Semestinya aku tahu semua hal-hal kecil yang terjadi di sini.”

“Begini, Guru. Waktu itu, Basaman terlalu malu untuk meminta maaf langsung kepada Huria. Dan… Huria terlalu tinggi hati untuk menerima permintaan maaf Basaman secara langsung. Jadi… aku didaulat menjadi pengantar surat-surat mereka.”

“Oh, ya?”

Kesha mengangguk sambil melirik nakal ke arah Basaman dan Huria. Mereka semua tersenyum geli.

“Wah, setelah bertahun-tahun aku baru tahu rahasia kecil itu,” sahut Guru Shandong. “Lihatlah, sejak remaja, kalian ternyata memang telah ditakdirkan untuk selalu saling melengkapi satu sama lain.”

Saat itu terdengar bulir-bulir gerimis berjatuhan di atas atap, pertanda tak lama lagi awan-awan segera menumpahkan hujan ke atas bumi.

Guru Shandong lalu menatap Huria dalam-dalam.

“Apa yang kamu lihat, Huria? Apa yang aku pikirkan?”

Dia seperti mempersilahkan Huria membaca setiap sudut pikirannya, seperti memberi seorang murid sebuah kitab pelajaran untuk membiarkannya membaca lembar demi lembar kitab tersebut.

Setiap berhadapan dengan murid atau penyihir yang memiliki kepandaian itu, dia selalu memasang tabir sihir untuk menyulitkan mereka menembus pikirannya. Tapi kali ini dia menyingkapnya sedikit demi sedikit.

Huria terdiam beberapa saat. Dia lalu menyapukan jemari kanannya pada matanya. Matanya yang tajam memandang lurus menembus batas-batas dimensi dunia untuk menelusuri cabang-cabang pikiran gurunya.

Keinginan guru mereka malam ini tidak seperti biasanya, sehingga ketiga kawannya yang lain pun larut dalam ketenangan yang sama.

“Apa yang kamu lihat?”

“Entahlah, Guru. Tidak seperti membaca pikiran kebanyakan orang, pikiran Guru begitu dalam dan… begitu bening. Tetapi samar-samar aku seperti melihat kesedihan disitu. Guru akan menyampaikan sesuatu yang penting kepada kami. Itu yang membuat Guru bersedih…”

Guru Shandong mengangguk-angguk. Sebaliknya, Thores, Kesha dan Basaman nampak tidak mengerti.

“Kamu memang berbakat, Huria. Kamu hanya perlu membiasakan diri lebih sering lagi.”

“…aku melihat kitab kuno dengan aura sihir yang besar. Ada empat kitab.”

Guru Shandong sedikit terkejut.

“Bagus, Huria, bagus. Sekarang…  aku merasa kalian benar-benar telah siap sepenuhnya lulus dari padepokan ini. Dunia sihir akan menyambut kedatangan kalian, Anak-anakku.”

"Apa yang anda maksudkan, Guru?" tanya Thores.

"Ya, kami merasa masih memiliki banyak kelemahan dan masih butuh bimbingan dari Guru," sambung Kesha.

Guru Shandong menggeleng pelan.

“Hampir seluruh ilmu sihir yang kumiliki telah kuturunkan kepada kalian."

“Tapi bukankah Guru sendiri bilang, kami harus banyak berlatih, berlatih dan berlatih.”

"Seorang ayah bertugas menggendong anaknya sampai anaknya mampu berdiri sendiri. Untuk menguatkan kaki-kakinya, anak itu harus menapaki bumi sendiri. Berjalan, berlari, terjatuh dan bangun kembali. Dia tidak akan pernah bisa belajar berjalan sendiri, jika sang ayah karena merasa sayang, terus saja menggendongnya sepanjang waktu."

Tarian gerimis di luar semakin terdengar.

"Kalian sudah memiliki pengetahuan sihir yang memadai, Anak-anakku. Pelajaran sihir bukan hanya didapatkan di padepokan ini, tetapi juga ada di luar sana pada saat kalian berada di tengah-tengah kaum sihir dan manusia biasa. Pelajaran bukan hanya didapatkan dari literatur tetapi juga didapatkan dari pengalaman dan perbuatan-perbuatan baik yang kalian lakukan untuk orang lain."

Guru Shandong lalu mengeluarkan sebuah peti dari bawah meja makan mereka. Lebar peti itu kira-kira sejangkauan tangan pria dewasa panjangnya. Seluruh permukaan peti, kecuali bagian penutupnya, ditutupi semacam kulit berwarna merah gelap. 

Perhatian keempat murid pun terpusat pada peti itu. Energi sihir yang terpancar dari situ begitu terasa saat diletakkan di atas meja makan.

“Peti ini dibuat oleh paman ayahku, seorang pandai besi terkenal pada zamannya. Permukaan peti dilapisi kulit Naga Merah dari pantai selatan. Konon naga jenis ini sudah tak pernah terlihat lagi. Dengan mantra yang sesuai, kulitnya mampu menjadi perisai sihir yang kuat.”

Guru Shandong menyapukan tangannya, kira-kira sejengkal jaraknya di atas peti. Samar-samar terlihat pendaran cahaya dari ukiran huruf-huruf kuno di bagian penutup peti.

"Rasakan…. Rasakan aura sihir yang begitu kuat dari peti ini.”

Keempat murid terlihat setuju.

“Sepertinya peti ini tidak bisa dibuka dengan cara lain, selain dengan mantra yang sesuai. Seperti gembok dan anak kuncinya,” ucap Kesha.

Guru Shandong mengangguk.

“Apa isi peti ini, Guru? Mengapa diberi perisai sihir yang begitu kuat?” tanya Thores.

“Isi peti ini adalah kitab sihir peninggalan keluargaku turun temurun. Kitab-kitab itu berisi pelajaran sihir tingkat tinggi, tapi tidak sembarang penyihir boleh membukanya. Kaum sihir sudah berikrar untuk tidak melakukan sihir hitam lagi di atas Gopalagos. Sejak itu, sihir-sihir tingkat tinggi hanya diajarkan kepada penyihir-penyihir tertentu saja agar tidak disalahgunakan. Aku telah mempercayai kalian Anak-anakku, dan yakin dengan kemampuan kalian saat ini.”

“Guru… Guru akan membuka kitab itu untuk kami?” tanya Thores.

 “Lebih dari itu, Thores. Aku akan membiarkan kalian mempelajari secara mandiri isi kitab itu. Nah… terakhir aku membuka peti ini, empat tahun lalu, sebelum membawa kalian ke puncak gunung Eisatar. Mari berharap aku tidak melupakan satu kata pun dari mantra pembuka petinya.”

“Wah, Guru bikin penasaran saja…,” celetuk Basaman.

Ini membuat Kesha dan Huria melirik galak ke arahnya.

“Kalian tidak perlu penasaran lebih lama lagi.”

Guru Shandong lalu memejamkan matanya untuk berkonsentrasi. Telapak tangannya di arahkan ke atas penutup peti, lalu dia mulai membacakan baris-baris mantra. Kata-kata magis yang diucapkannya terdengar asing di telinga keempat muridnya. Sepertinya memang salah satu mantra kuno, setua usia peti itu.

Seiring lantunan mantra, huruf-huruf kuno di atas peti semakin berpendar. Gurat-gurat cahaya itu kini membuat ukiran aksara kuno semakin jelas nampaknya. Saat suara Guru Shandong meninggi, terlihat tutup peti bergetar, dan ketika mantra diakhiri, terdengar suara gemeretak beberapa kali. Pendar cahaya di atas aksara kuno sudah sirna.

Guru Shandong pun membuka tutup peti itu, lalu terlihat endapan sihir dalam rupa asap tipis berwarna kebiruan dari dalam peti. 

(bersambung)

ilustrasi gambar dari: www.123rf.com  photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Fabina Lovers mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Fabina Lovers mengatakan…
Memikat, seperti tulisan Bang Pical yang lainnya.
pical gadi mengatakan…
Makasih sudah singgah bu Fabina. Masih belajar dan terus belajar :)