Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Cerita sebelumnya: Basalto Terakhir [15-16]
Setelah asap tipis kebiruan berlalu, nampaklah empat kitab
tua yang berjejer rapi di dalam peti. Ukuran panjang peti sama persis dengan
jejeran kitab-kitab itu. Sepertinya pembuat peti memang sudah membuatnya secara
khusus.
Guru Shandong memberi isyarat agar keempat murid berdiri dan
melihat isi peti lebih dekat.
Thores yang berada paling dekat, segera beranjak ke sisi
Guru Shandong, diikuti Kesha. Sedangkan Basaman dan Huria mendekat dari sisi
sebaliknya.
Empat kitab itu hampir serupa satu sama lain. Terdiri dari
lembaran-lembaran perkamen tebal dengan sampul keras dari kulit kayu khusus di
luarnya. Yang membedakan keempatnya adalah ukiran simbol-simbol khusus pada
sampulnya.
“Kalian harus mempersiapkan diri, Anak-anakku. Tidak lama
lagi, kalian akan kuutus untuk mengabdi diri pada dunia.”
Guru Shandong menyentuh permukaan sampul kitab paling kanan dalam
peti. Pada sampul kitab itu terukir simbol seperti motif daun-daun pepohonan.
“Kesha, aku akan memberikan kitab tentang ramuan-ramuan
sihir dan mantra-mantra pengobatan ini. Beberapa di antaranya adalah ramuan
sihir tingkat tinggi yang belum pernah diajarkan kepada siapapun. Aku harap
kamu siap menerimanya.”
“Aku siap, Guru,” sahut Kesha.
Tangan Guru Shandong berpindah pada kitab berikutnya, di
sebelah kiri kitab pertama. Kali ini pada sampul kitab terukir simbol
menyerupai bulan dan matahari, juga ada garis-garis seperti lukisan hujan di
kanan kirinya.
“Kitab ini berisi pengetahuan mengenai energi pada cuaca dan
peristiwa-peristiwa alam lainnya. Aku sudah memperlihatkan kepada kalian bagaimana
sihir digunakan untuk merangkul kekuatan-kekuatan alam tersebut. Kitab ini akan
membahasnya lebih dalam. Basaman, aku akan memberikan kitab ini padamu.”
“Saya merasa terhormat, Guru,”
sahut Basaman.
“Berikut, Huria,” tangan Guru Shandong berpindah ke kitab di
sebelah kirinya lagi. Sampul kitab itu diukiri gambar wajah manusia lengkap
dengan gurat-gurat halusnya.
“Kitab mengenai sihir
dan seni mengolah pikiran manusia ini akan kuberikan kepadamu.”
Huria tunduk menghormat dengan takzim.
Gurus Shandong menyentuh kitab terakhir, yang berada paling kiri.
Simbol pada sampul kitab itu menyerupai gambar bola api.
“Dan Thores. Aku akan memberi kitab berisi mantra-mantra serangan
dan pertahanan. Saat ini kita memang berada pada masa paling damai dalam
sejarah Golapagos. Tapi pengetahuan sihir
seperti itu harus tetap dipelajari kaum sihir. Kita bisa menggunakannya untuk
kebaikan dan membela kebenaran jika sewaktu-waktu diperlukan.”
“Terima kasih banyak, Guru,” Thores menyahut takzim.
“Nah, Anak-anakku. Kitab-kitab sihir di hadapanku ini telah
jadi milik kalian mulai malam. Tetapi izinkan aku menyimpannya untuk sementara,
sampai tiba waktunya kalian meninggalkan padepokan ini. Aku ingin kalian berjanji
akan menjaga peninggalan keluargaku yang paling berharga ini dengan seluruh
jiwa raga kalian.”
Ada gurat-gurat kesedihan di wajah Guru Shandong. Bagaimanapun
juga, dia adalah generasi terakhir yang harus menjaga peninggalam keluarganya
itu.
Thores menjura diikuti ketiga kawannya.
“Kami berjanji akan menjaga kitab peninggalan Guru dengan
seluruh jiwa kami,” ucap Thores sungguh-sungguh.
“Kami berjanji menjaga dan menghormatinya seperti kami
menghormati Guru sendiri,” sambung Kesha.
“Kami juga akan mempelajari isi kitab itu dengan
sungguh-sungguh sesuai pesan Guru,” tutur Basaman.
“…dan mengamalkannya untuk kebenaran semata,” tutur Huria.
“Cukup… cukup, Anak-anakku.”
Keempat murid itu pun menegakkan kembali tubuh mereka.
“Sekali lagi, aku bahagia mendengar kesungguhan kalian.”
Suara gerimis di luar berubah menjadi suara hujan yang mulai
menderas. Guru Shandong mesti mengeraskan suaranya untuk mengalahkan derasnya
hujan di luar.
“Malam ini pelajaran kita selesai di sini. Sepertinya
sebentar lagi hujan bercampur badai akan tiba. Sekarang, kembalilah ke asrama
kalian masing-masing. Istirahatlah, Anak-anakku.”
“Sekali lagi terima kasih, Guru, atas kepercayaan Guru
kepada kami.”
Thores mewakili
kawan-kawannya menyampaikan terima kasih mereka. Setelah itu mereka berpamitan
pada Sang Guru.
Jarak pondok dan asrama mereka masih cukup jauh sehingga sebelum
meninggalkan pondok Guru Shandong, mereka terlebih dahulu memasang selubung
sihir agar tidak tertimpa hujan dalam perjalanan ke asrama nanti.
Setelah keadaan pondok sepi, Guru Shandong menutup peti
berisi kitab-kitab sihir itu, memejamkan mata lalu membaca barisan mantra. Ukiran-ukiran
kuno di atas penutup peti berpendar-pendar kembali, lalu terdengar suara gemeretak
halus beberapa kali pertanda peti telah terkunci dengan sempurna.
---------
(bersambung)
ilustrasi gambar dari: www.123rf.com
Komentar