Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [17]


Cerita sebelumnya: Basalto Terakhir [15-16]

Setelah asap tipis kebiruan berlalu, nampaklah empat kitab tua yang berjejer rapi di dalam peti. Ukuran panjang peti sama persis dengan jejeran kitab-kitab itu. Sepertinya pembuat peti memang sudah membuatnya secara khusus.

Guru Shandong memberi isyarat agar keempat murid berdiri dan melihat isi peti lebih dekat.
Thores yang berada paling dekat, segera beranjak ke sisi Guru Shandong, diikuti Kesha. Sedangkan Basaman dan Huria mendekat dari sisi sebaliknya.


Empat kitab itu hampir serupa satu sama lain. Terdiri dari lembaran-lembaran perkamen tebal dengan sampul keras dari kulit kayu khusus di luarnya. Yang membedakan keempatnya adalah ukiran simbol-simbol khusus pada sampulnya.

“Kalian harus mempersiapkan diri, Anak-anakku. Tidak lama lagi, kalian akan kuutus untuk mengabdi diri pada dunia.”

Guru Shandong menyentuh permukaan sampul kitab paling kanan dalam peti. Pada sampul kitab itu terukir simbol seperti motif daun-daun pepohonan.

“Kesha, aku akan memberikan kitab tentang ramuan-ramuan sihir dan mantra-mantra pengobatan ini. Beberapa di antaranya adalah ramuan sihir tingkat tinggi yang belum pernah diajarkan kepada siapapun. Aku harap kamu siap menerimanya.”

“Aku siap, Guru,” sahut Kesha.

Tangan Guru Shandong berpindah pada kitab berikutnya, di sebelah kiri kitab pertama. Kali ini pada sampul kitab terukir simbol menyerupai bulan dan matahari, juga ada garis-garis seperti lukisan hujan di kanan kirinya.

“Kitab ini berisi pengetahuan mengenai energi pada cuaca dan peristiwa-peristiwa alam lainnya. Aku sudah memperlihatkan kepada kalian bagaimana sihir digunakan untuk merangkul kekuatan-kekuatan alam tersebut. Kitab ini akan membahasnya lebih dalam. Basaman, aku akan memberikan kitab ini padamu.”

“Saya merasa terhormat, Guru,” sahut Basaman.                                    

“Berikut, Huria,” tangan Guru Shandong berpindah ke kitab di sebelah kirinya lagi. Sampul kitab itu diukiri gambar wajah manusia lengkap dengan gurat-gurat halusnya.

 “Kitab mengenai sihir dan seni mengolah pikiran manusia ini akan kuberikan kepadamu.”

Huria tunduk menghormat dengan takzim.

Gurus Shandong menyentuh kitab terakhir, yang berada paling kiri. Simbol pada sampul kitab itu menyerupai gambar bola api.

“Dan Thores. Aku akan memberi kitab berisi mantra-mantra serangan dan pertahanan. Saat ini kita memang berada pada masa paling damai dalam sejarah Golapagos. Tapi pengetahuan sihir seperti itu harus tetap dipelajari kaum sihir. Kita bisa menggunakannya untuk kebaikan dan membela kebenaran jika sewaktu-waktu diperlukan.”

“Terima kasih banyak, Guru,” Thores menyahut takzim.

“Nah, Anak-anakku. Kitab-kitab sihir di hadapanku ini telah jadi milik kalian mulai malam. Tetapi izinkan aku menyimpannya untuk sementara, sampai tiba waktunya kalian meninggalkan padepokan ini. Aku ingin kalian berjanji akan menjaga peninggalan keluargaku yang paling berharga ini dengan seluruh jiwa raga kalian.”

Ada gurat-gurat kesedihan di wajah Guru Shandong. Bagaimanapun juga, dia adalah generasi terakhir yang harus menjaga peninggalam keluarganya itu.

Thores menjura diikuti ketiga kawannya.

“Kami berjanji akan menjaga kitab peninggalan Guru dengan seluruh jiwa kami,” ucap Thores sungguh-sungguh.

“Kami berjanji menjaga dan menghormatinya seperti kami menghormati Guru sendiri,” sambung Kesha.

“Kami juga akan mempelajari isi kitab itu dengan sungguh-sungguh sesuai pesan Guru,” tutur Basaman.

“…dan mengamalkannya untuk kebenaran semata,” tutur Huria.

“Cukup… cukup, Anak-anakku.”

Keempat murid itu pun menegakkan kembali tubuh mereka.

“Sekali lagi, aku bahagia mendengar kesungguhan kalian.”

Suara gerimis di luar berubah menjadi suara hujan yang mulai menderas. Guru Shandong mesti mengeraskan suaranya untuk mengalahkan derasnya hujan di luar.

“Malam ini pelajaran kita selesai di sini. Sepertinya sebentar lagi hujan bercampur badai akan tiba. Sekarang, kembalilah ke asrama kalian masing-masing. Istirahatlah, Anak-anakku.”

“Sekali lagi terima kasih, Guru, atas kepercayaan Guru kepada kami.”

 Thores mewakili kawan-kawannya menyampaikan terima kasih mereka. Setelah itu mereka berpamitan pada Sang Guru.

Jarak pondok dan asrama mereka masih cukup jauh sehingga sebelum meninggalkan pondok Guru Shandong, mereka terlebih dahulu memasang selubung sihir agar tidak tertimpa hujan dalam perjalanan ke asrama nanti.


Setelah keadaan pondok sepi, Guru Shandong menutup peti berisi kitab-kitab sihir itu, memejamkan mata lalu membaca barisan mantra. Ukiran-ukiran kuno di atas penutup peti berpendar-pendar kembali, lalu terdengar suara gemeretak halus beberapa kali pertanda peti telah terkunci dengan sempurna.

---------

(bersambung)

ilustrasi gambar dari: www.123rf.com


 photo Jangancopasing.jpg

Komentar