Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Petang masih enggan berganti malam, membiarkan langit barat merona berwarna tembaga. Pantulan warna tembaga di langit itu terlihat jelas di atas sungai Karrum yang mengalir tenang. Di salah satu sisi sungai, kawanan angsa sedang berleha-leha menikmati penghujung hari. Beberapa di antaranya bercanda satu sama lain, meninggalkan riak-riak di atas air.
Sesaat kemudian, kawanan angsa itu tersentak dan segera
beterbangan menjauh dari bibir sungai. Bersamaan dengan itu, terdengar suara
udara yang bergemuruh, nyaris memekakkan telinga.
Rupanya seekor naga berkulit kuning keemasan, mengepakkan
sayap dan terbang rendah mengikuti alur sungai tersebut. Penunggang naga terlihat
menunduk untuk melewatkan angin dari depan. Rambut putih keperakannya dibiarkan
berkibar seperti panji-panji kerajaan.
Naga dan penunggangnya, terbang melambat begitu mendekati
bagian belakang halaman istana kerajaan Basalto. Saat menemukan padang rumput
yang cukup luas, penunggang nada itu mengarahkan tunggangannya untuk mendarat
di tempat itu.
Pendaratan berjalan mulus. Dengan hati-hati, penunggang naga
turun dari punggung tunggangannya. Begitu menjejakkan kakinya ke atas
rerumputan, penunggang naga yang ternyata adalah Guru Shandong sendiri kembali
mengenakan topi lancipnya.
“Terima kasih, Zar,
penerbangan yang nyaman,” ucapnya sambil menepuk-nepuk leher naga tersebut.
Naga yang diberi nama Zar itu pun membalas dengan meraung pelan sambil menggoyang-goyangkan
lehernya.
Sebelum beranjak dari situ, Guru Shandong mengambil tongkat
sihirnya yang tersemat di sisi pelana Zar. Tongkat sihir dengan tinggi sebahu itu
terbuat dari sejenis kayu hitam. Di ujung tongkat terpasang ukir-ukiran seperti
sulur pohon yang menjulur ke luar dengan gigi taring naga di tengah-tengahnya.
Selain untuk membantu pemusatan tenaga saat melepas energi
sihir, Guru Shandong yang terlihat semakin menua juga menggunakan tongkat tersebut
untuk membantu menopang langkahnya.
“Selamat datang, Guru.”
Rupanya Basalto telah menunggunya sejak tadi. Dia masih
mengenakan pakaian kebesarannya. Tangan kanan memegang tongkat sihir yang
terbuat dari perak dengan ujung tongkat diberi hiasan batu mulia, sedangkan
tangan kirinya terulur ke atas kepala seorang bocah lelaki berusia tiga tahunan. Di samping mereka berdiri istri Basalto, ratu kerajaan itu.
Mereka bertiga tersenyum hangat menyambut kedatangan Sang Guru.
“Wah, lihat siapa yang datang menyambutku?” Guru Shandong
mengacak-acak rambut bocah lelaki di sisi Basalto dengan gemas.
“Kakek, lihat, Ibu membuat mainan yang bagus untuk Daestar,”
bocah itu memamerkan sebuah origami angsa yang melayang dan berputar pelan di
atas telapak tangannya. “Apa Kakek bisa membuat mainan seperti ini?” tanyanya
lagi.
Ratu tersenyum sedangkan Guru Shandong
terkekeh geli.
“Sudah, Nak, jangan ganggu Kakek Guru dulu, ya,” sergah
Basalto. “Kakek baru sampai, jadi harus istirahat dulu.”
Guru Shandong terlihat tidak memedulikan ucapan Basalto. Dia
sedikit menunduk agar lebih sejajar dengan wajah Daestar, lalu berkata, “Bagaimana
kalau sebentar Kakek ajak kamu ke perpustakaan pribadi Kakek? Kamu bisa pilih
mainan apa saja yang kamu suka di sana. Bagaimana, mau tidak?”
Bocah itu mengangguk.
“Nah, kalau begitu, sekarang Daestar harus makan dulu sama
Bibi Tora. Setelah makanannya dihabiskan, baru deh Kakek ajak bermain sepuasnya.”
Saat itu di belakang mereka sudah ada bibi Tora, pengasuh
Daestar yang hendak menjemputnya karena sebentar lagi waktunya makan.
Bocah itu pun berlari ke arah pengasuhnya sambil berseru kegirangan.
Mereka lalu berjalan kembali ke arah istana, diikuti Sang Ratu, meninggalkan
Guru Shandong dan Basalto berdua saja.
Guru Shandong dan Basalto pun berjalan bersisian. Guru
Shandong berjalan perlahan sehingga Basalto harus mengimbangi langkahnya.
--------
Komentar
Salam