Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [23-24]



“Bocah itu selalu saja ingin tahu.”

Guru Shandong terkekeh sambil mengelus janggutnya.

“Dia mewarisi salah satu sifatmu, Nak. Mudah-mudahan dia juga bisa tumbuh menjadi penyihir besar sepertimu.”

Kendati Basalto sudah menjadi pemimpin di kerajaan itu, saat bercakap-cakap berdua seperti ini, mereka tetap saja saling menyapa seperti layaknya seorang guru dan murid asuhannya.

“Oh, ya. Bagaimana keadaan di bukit Rhemeas, Guru?”
Rhemeas adalah nama desa kaum sihir yang memanjang dari lereng sampai ke puncak sebuah bukit di wilayah barat Gopalagos. Nama Rhemeas akhirnya melekat pada bukit tersebut. Guru Shandong sering berkunjung ke situ untuk bertemu kawan-kawan lamanya.

Guru Shandong tersenyum.


“Reuni kami kali ini berlangsung seru. Aku bermalam di rumah Guru Mitvah. Rumahnya adalah salah satu dari tujuh rumah yang terletak di atas bukit. Jadi kalau malam tiba, apalagi pada musim kemarau seperti ini, udara benar-benar dingin menggigit.”

“Guru tidak lupa membawa selimut tebal dan perlengkapan lainnya, bukan?”

“Nah, itu dia masalahnya. Maklumlah, akhir-akhir ini aku sudah mulai menjadi pelupa. Dan… ngomong-ngomong soal lupa…”

Guru Shandong menghentikan langkahnya, dan berpaling ke belakang mereka. Basalto ikut berhenti dan mengikuti arah pandangan gurunya. Pandangan mereka tertumpu pada naga Sang Guru, yang sedang tidur-tiduran malas di atas rerumputan.

“…aku hampir lupa dengan naga yang manis itu.”

“Oh ya, aku akan menyuruh salah satu pengurus kuda untuk menangani Zar, Guru.”

“Baiklah, hanya sampaikan saja untuk berhati-hati. Zar nampak uring-uringan hari ini. Dia mungkin sedang birahi.”

“Baik, Guru.”

Mereka pun melanjutkan langkah mereka dan masuk melalui salah satu pintu belakang istana.

“Kebetulan Guru pulang, aku ingin menyampaikan sesuatu.”

“Ya, aku juga sebenarnya ingin membicarakan sesuatu kepadamu. Tapi… bagusnya kita bercakap-cakap setelah makan malam saja. Aku sedang ingin mandi air hangat sepuasnya.”

Basalto mengangguk takzim.

Tak lama kemudian, mereka berpisah. Basalto berjalan terus ke depan, sedangkan Guru Shandong meniti tangga menuju ke lantai atas tempat kamar yang disiapkan untuknya.

***** 
Suasana makan malam berlangsung hangat. Makanan yang disajikan koki istana pun dibuat spesial, untuk menyambut Sang Guru. Beberapa di antaranya adalah makanan favorit Guru Shandong, seperti ikan belut panggang, sayuran tanaman jalar dan sop omodu. Omodu adalah sejenis reptil khas dataran tinggi Gopalagos.

Meja jati yang penuh dengan masakan dan piring dikeliling oleh keluarga Raja dan koleganya. Sebagai Raja, Guru Shandong juga mengundang penasihat kerajaan dan beberapa pejabat istana. Beberapa guru tua di padepokan sihir juga diundang turut serta.

Sepanjang makan malam berlangsung, Guru Shandong menceritakan pengalamannya selama beberapa minggu bersama penyihir-penyihir tua, kawan-kawannya, di bukit Rhemeas. Sebagian besar penyihir-penyihir tua selalu punya kisah-kisah menarik untuk diceritakan, terutama kisah mengenai penyakit pikun mereka.

Seperti salah satu penyihir yang meninggalkan istrinya sendirian di pasar. Lalu begitu sampai di rumah, dia bingung karena rumah ternyata kosong melompong dan baru ingat kalau tadi dia berbelanja di pasar bersama istrinya.

Ada juga cerita tentang kawan mereka, seorang penyihir sekaligus tabib, yang memberi resep salah pada seorang pasiennya. Orang itu sakit keracunan jamur, namun diberi obat untuk meningkatkan stamina dan gairah. Akhirnya alih-alih sembuh, orang itu malah melolong seperti serigala dan berlari ke sana kemari seperti orang kepanasan. Untung saja dia cepat menerima ramuan penawarnya.

Cerita-cerita lucu ini membuat yang lain larut dalam senyum dan tawa.

Setelah makan malam yang hangat itu tuntas, yang lain langsung pamit undur diri.

Basalto dan Guru Shandong masih tinggal beberapa saat lagi. Meja makan sudah dibersihkan oleh para pelayan, menyisakan senampan anggur hijau segar yang kini dijadikan kudapan oleh Guru dan murid itu, serta cangkir-cangkir dan seteko teh melati.

Dari pembicaraan yang ringan dan hangat, nada suara mereka terdengar semakin berat dan serius.

“…Aku telah mendengar kabar, kamu memberikan pelajaran mengenai ilmu membangkitkan api pada murid-murid di tahun ke tiga.”

“Benar, Guru. Kami membuat beberapa perubahan pelajaran untuk murid-murid tingkat atas. Jadi pelajaran untuk murid tingkat dasar juga disesuaikan. Aku rasa mereka telah siap menerima pelajaran itu, Guru.”

Mata Guru Shandong menyipit, lalu memasukkan biji-biji anggur ke dalam kunyahannya.

“Aku yakin kamu punya alasan lebih kuat dari sekedar ‘mereka telah siap menerima ilmunya’, Basalto. Selama dua puluh tahun terakhir ini kita tidak pernah lagi mengajarkan sihir api kepada murid-murid. Ya, aku memberi pengecualian pada beberapa murid tingkat atas, termasuk kalian dulunya. Mengajarkan ilmu itu kepada para pimpinan prajurit kerajaan juga mungkin bisa dimengerti. Tetapi untuk murid-murid tingkat dasar? Aku tidak akan membaca membaca pikiranmu, jadi katakan, Basalto. Apa yang sedang kamu pikirkan?”

Sekalipun usia telah menggerus daya ingatnya, pada beberapa hal yang mendasar analisis Guru Shandong masih setajam dahulu. Basalto terlihat berusaha mencari kata-kata terbaik untuk menjelaskan pemikirannya. Dia lalu memenuhi cangkirnya dengan teh melati yang masih mengepul.

“Baiklah, Guru. Aku akan berterus terang pada Guru. Bagaimanapun juga, aku harus menyampaikan pemikiran yang telah lama terpendam. Beberapa tahun yang lalu, setelah menguasai semua ilmu sihir dalam kitab yang guru berikan, aku berpikir begitu kaya dan agungnya ilmu mengenai sihir yang kita miliki. Pengetahuan sehebat itu, sayang jika tidak kita bagikan kepada lebih banyak kaum sihir…”

Ekspresi Basalto semakin tajam. Guru Shandong berhenti mengunyah buah anggurnya, seolah ingin mendengar dengan seksama setiap kata Basalto berikutnya.

“…Kita memang sedang berada pada masa damai, tetapi itu tidak berarti generasi kaum sihir berikutnya kehilangan hak mereka untuk mendapat pengetahuan sihir seperti generasi-generasi pendahulunya. Kita bisa memulainya di padepokan ini, Guru. Padepokan sihir terbesar di seluruh Gopalagos. Bagaimana… bagaimana pendapat Guru?”

“Minumlah teh melatimu,” sahut Guru Shandong dingin.

Saat Basalto menyesap isi cangkirnya, Guru Shandong berdiri lalu perlahan berjalan mendekati salah satu dinding ruangan makan. Di situ dipajang lukisan seorang penyihir memakai baju zirah hitam legam dengan trisula di tangan kirinya dan tongkat sihir panjang di tangan kanannya. Sambil memandang detail lukisan tersebut, Guru Shandong membalas,

“Aku tahu, saat seperti ini akan tiba, Anakku. Kaum sihir adalah kaum terpilih, tidak ada yang bisa meragukan hal itu. Oleh karenanya, mereka harus menjadi kaum pertama yang menjaga kedamaian dan keselarasan di dunia ini. Mereka harus menjadi sahabat bagi manusia, kaum raja-raja, bangsawan, ksatria, maupun rakyat jelata. Ah… aku yakin kamu masing ingat betul pelajaran ini.”

Guru Shandong berbalik menatap Basalto.


“Dan itu hanya akan terjadi jika sihir hanya digunakan untuk kebaikan. Ilmu sihir yang kaya dan agung ini tidak akan hilang ditelan zaman, karena pada setiap generasi kaum sihir selalu ada yang terpilih untuk mempelajari seluruh ilmu sihir tersebut. Mereka adalah penyihir yang bertekad kuat dan berhati bersih. Pada zaman ini, kalian berempatlah yang mendapat kesempatan itu.”

------
(bersambung)

ilustrasi gambar dari: www.smosh.com

Komentar