Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
“Bocah itu selalu saja ingin tahu.”
Guru Shandong terkekeh sambil mengelus janggutnya.
“Dia mewarisi salah satu sifatmu, Nak. Mudah-mudahan dia
juga bisa tumbuh menjadi penyihir besar sepertimu.”
Kendati Basalto sudah menjadi pemimpin di kerajaan itu, saat
bercakap-cakap berdua seperti ini, mereka tetap saja saling menyapa seperti layaknya
seorang guru dan murid asuhannya.
“Oh, ya. Bagaimana keadaan di bukit Rhemeas, Guru?”
Rhemeas adalah
nama desa kaum sihir yang memanjang dari lereng sampai ke puncak sebuah bukit
di wilayah barat Gopalagos. Nama Rhemeas akhirnya melekat pada bukit
tersebut. Guru Shandong sering berkunjung ke situ untuk bertemu kawan-kawan lamanya.
Guru Shandong tersenyum.
“Reuni kami kali ini berlangsung seru. Aku bermalam di rumah
Guru Mitvah. Rumahnya adalah salah satu dari tujuh rumah yang terletak di atas
bukit. Jadi kalau malam tiba, apalagi pada musim kemarau seperti ini, udara
benar-benar dingin menggigit.”
“Guru tidak lupa membawa selimut tebal dan perlengkapan
lainnya, bukan?”
“Nah, itu dia masalahnya. Maklumlah, akhir-akhir ini aku
sudah mulai menjadi pelupa. Dan… ngomong-ngomong soal lupa…”
Guru Shandong menghentikan langkahnya, dan berpaling ke belakang
mereka. Basalto ikut berhenti dan mengikuti arah pandangan gurunya. Pandangan
mereka tertumpu pada naga Sang Guru, yang sedang tidur-tiduran malas di atas
rerumputan.
“…aku hampir lupa dengan naga yang manis itu.”
“Oh ya, aku akan menyuruh salah satu pengurus kuda untuk menangani
Zar, Guru.”
“Baiklah, hanya sampaikan saja untuk berhati-hati. Zar
nampak uring-uringan hari ini. Dia mungkin sedang birahi.”
“Baik, Guru.”
Mereka pun melanjutkan langkah mereka dan masuk melalui
salah satu pintu belakang istana.
“Kebetulan Guru pulang, aku ingin menyampaikan sesuatu.”
“Ya, aku juga sebenarnya ingin membicarakan sesuatu
kepadamu. Tapi… bagusnya kita bercakap-cakap setelah makan malam saja. Aku sedang
ingin mandi air hangat sepuasnya.”
Basalto mengangguk takzim.
Tak lama kemudian, mereka berpisah. Basalto berjalan terus
ke depan, sedangkan Guru Shandong meniti tangga menuju ke lantai atas tempat
kamar yang disiapkan untuknya.
*****
Suasana makan malam berlangsung hangat. Makanan yang
disajikan koki istana pun dibuat spesial, untuk menyambut Sang Guru. Beberapa
di antaranya adalah makanan favorit Guru Shandong, seperti ikan belut panggang,
sayuran tanaman jalar dan sop omodu.
Omodu adalah sejenis reptil khas
dataran tinggi Gopalagos.
Meja jati yang penuh dengan masakan dan piring dikeliling
oleh keluarga Raja dan koleganya. Sebagai Raja, Guru Shandong juga mengundang
penasihat kerajaan dan beberapa pejabat istana. Beberapa guru tua di padepokan
sihir juga diundang turut serta.
Sepanjang makan malam berlangsung, Guru Shandong menceritakan
pengalamannya selama beberapa minggu bersama penyihir-penyihir tua,
kawan-kawannya, di bukit Rhemeas. Sebagian
besar penyihir-penyihir tua selalu punya kisah-kisah menarik untuk diceritakan,
terutama kisah mengenai penyakit pikun mereka.
Seperti salah satu penyihir yang meninggalkan istrinya
sendirian di pasar. Lalu begitu sampai di rumah, dia bingung karena rumah ternyata
kosong melompong dan baru ingat kalau tadi dia berbelanja di pasar bersama
istrinya.
Ada juga cerita tentang kawan mereka, seorang penyihir sekaligus
tabib, yang memberi resep salah pada seorang pasiennya. Orang itu sakit
keracunan jamur, namun diberi obat untuk meningkatkan stamina dan gairah. Akhirnya
alih-alih sembuh, orang itu malah melolong seperti serigala dan berlari ke sana
kemari seperti orang kepanasan. Untung saja dia cepat menerima ramuan
penawarnya.
Cerita-cerita lucu ini membuat yang lain larut dalam senyum
dan tawa.
Setelah makan malam yang hangat itu tuntas, yang lain
langsung pamit undur diri.
Basalto dan Guru Shandong masih tinggal beberapa saat lagi.
Meja makan sudah dibersihkan oleh para pelayan, menyisakan senampan anggur hijau
segar yang kini dijadikan kudapan oleh Guru dan murid itu, serta
cangkir-cangkir dan seteko teh melati.
Dari pembicaraan yang ringan dan hangat, nada suara mereka
terdengar semakin berat dan serius.
“…Aku telah mendengar kabar, kamu memberikan pelajaran
mengenai ilmu membangkitkan api pada murid-murid di tahun ke tiga.”
“Benar, Guru. Kami membuat beberapa perubahan pelajaran
untuk murid-murid tingkat atas. Jadi pelajaran untuk murid tingkat dasar juga
disesuaikan. Aku rasa mereka telah siap menerima pelajaran itu, Guru.”
Mata Guru Shandong menyipit, lalu memasukkan biji-biji
anggur ke dalam kunyahannya.
“Aku yakin kamu punya alasan lebih kuat dari sekedar ‘mereka
telah siap menerima ilmunya’, Basalto. Selama dua puluh tahun terakhir ini kita
tidak pernah lagi mengajarkan sihir api kepada murid-murid. Ya, aku memberi
pengecualian pada beberapa murid tingkat atas, termasuk kalian dulunya. Mengajarkan
ilmu itu kepada para pimpinan prajurit kerajaan juga mungkin bisa dimengerti.
Tetapi untuk murid-murid tingkat dasar? Aku tidak akan membaca membaca
pikiranmu, jadi katakan, Basalto. Apa yang sedang kamu pikirkan?”
Sekalipun usia telah menggerus daya ingatnya, pada beberapa
hal yang mendasar analisis Guru Shandong masih setajam dahulu. Basalto terlihat
berusaha mencari kata-kata terbaik untuk menjelaskan pemikirannya. Dia lalu memenuhi
cangkirnya dengan teh melati yang masih mengepul.
“Baiklah, Guru. Aku akan berterus terang pada Guru. Bagaimanapun
juga, aku harus menyampaikan pemikiran yang telah lama terpendam. Beberapa
tahun yang lalu, setelah menguasai semua ilmu sihir dalam kitab yang guru berikan,
aku berpikir begitu kaya dan agungnya ilmu mengenai sihir yang kita miliki.
Pengetahuan sehebat itu, sayang jika tidak kita bagikan kepada lebih banyak
kaum sihir…”
Ekspresi Basalto semakin tajam. Guru Shandong berhenti
mengunyah buah anggurnya, seolah ingin mendengar dengan seksama setiap kata
Basalto berikutnya.
“…Kita memang sedang berada pada masa damai, tetapi itu
tidak berarti generasi kaum sihir berikutnya kehilangan hak mereka untuk
mendapat pengetahuan sihir seperti generasi-generasi pendahulunya. Kita bisa
memulainya di padepokan ini, Guru. Padepokan sihir terbesar di seluruh Gopalagos. Bagaimana… bagaimana pendapat
Guru?”
“Minumlah teh melatimu,” sahut Guru Shandong dingin.
Saat Basalto menyesap isi cangkirnya, Guru Shandong berdiri
lalu perlahan berjalan mendekati salah satu dinding ruangan makan. Di situ
dipajang lukisan seorang penyihir memakai baju zirah hitam legam dengan trisula
di tangan kirinya dan tongkat sihir panjang di tangan kanannya. Sambil
memandang detail lukisan tersebut, Guru Shandong membalas,
“Aku tahu, saat seperti ini akan tiba, Anakku. Kaum sihir
adalah kaum terpilih, tidak ada yang bisa meragukan hal itu. Oleh karenanya,
mereka harus menjadi kaum pertama yang menjaga kedamaian dan keselarasan di
dunia ini. Mereka harus menjadi sahabat bagi manusia, kaum raja-raja, bangsawan,
ksatria, maupun rakyat jelata. Ah… aku yakin kamu masing ingat betul pelajaran
ini.”
Guru Shandong berbalik menatap Basalto.
“Dan itu hanya akan terjadi jika sihir hanya digunakan untuk
kebaikan. Ilmu sihir yang kaya dan agung ini tidak akan hilang ditelan zaman,
karena pada setiap generasi kaum sihir selalu ada yang terpilih untuk mempelajari
seluruh ilmu sihir tersebut. Mereka adalah penyihir yang bertekad kuat dan
berhati bersih. Pada zaman ini, kalian berempatlah yang mendapat kesempatan
itu.”
------
(bersambung)
ilustrasi gambar dari: www.smosh.com
Komentar