Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [25]



“Tidak semua dari kami memiliki kejelian seperti yang Guru miliki. Aku pikir tujuan kita sama, Guru.  Hanya saja aku ingin berbagi kepada lebih banyak kaum sihir, sambil mencari murid-murid pilihan. Tentu mereka harus tetap diberi pelajaran moral yang kuat, agar ilmu sihir itu tidak digunakan untuk hal-hal jahat. Sampai pada akhirnya, kaum sihir akan benar-benar berdaulat… untuk menjaga keharmonisan dan kedamaian di seluruh Gopalagos.”

Guru Shandong termangu, memperhatikan lilin di atas lemari antik yang sudah setengahnya meleleh, lalu menatap dalam-dalam wajah Basalto.


“…Ada iblis dan malaikat dalam hati manusia, Nak. Seringkali kita tidak bisa membedakan keduanya dengan mudah. Jika kita memberi makanan sama banyak pada keduanya, mereka akan tumbuh menjadi sama kuat. Tapi sesuai sifatnya, iblis perlahan-lahan akan menguasai malaikat dan menghancurkannya. Satu-satunya cara untuk memenangkan malaikat adalah… jangan memberi makan iblis itu.”

Basalto merasa otaknya tiba-tiba berdenyut. “Aku hanya mencoba menyampaikan gagasan pribadi, Guru. Jika Guru tidak berkenan…”

“Basalto, jangan sekali-kali, Nak. Jangan. Kita sudah sepakat, mantra-mantra itu bukan untuk diajarkan kepada para murid.”

Basalto terkejut. Dia rupanya hendak menyampaikan satu hal lagi, tetapi pikirannya sudah diterawang Sang Guru.

“Maaf, Nak. Aku berhasil menembus perisai sihir dalam pikiranmu. Aku melihat kamu membuka kitab sihir, bagian delapan.”

“Guru, padahal aku baru bermaksud meminta izin untuk mengajarkan beberapa mantra pertahanan tersebut pada beberapa murid tingkat akhir.”

“Kamu tahu bukan, beberapa mantra pada bagian delapan kitab itu sebenarnya adalah mantra paling kejam yang pernah dibuat dalam sejarah kaum sihir. Lagipula, kamu pun masih harus banyak belajar mempertahankan diri kamu sendiri.”

“Guru, kita bisa menyesuaikannya, bukan?”

“Hentikan!” bibir Guru Shandong bergetar menahan amarah. “Jangan biarkan malaikat dan iblis berkompromi dalam diri kamu.”

Pada saat itu tiba-tiba pintu ruangan makan terbuka. Wajah lucu seorang bocah muncul di situ, lalu dia berlari ke arah Guru Shandong.

“Kakek, kok lama sekali?” Daestar memeluk erat-erat kaki Guru Shandong.

“Viona!?” Basalto berseru kepada istrinya yang muncul menyusul di balik pintu.

“Dia memaksa…” istri Basalto menyahut lirih.

Guru Shandong balas memeluk Daestar. Gurat-gurat amarah di wajahnya perlahan sirna. Kehadiran Daestar berhasil mencairkan suasana yang mendadak kaku tersebut.

“Aku telah melihat dengan mata kepala sendiri, banyaknya korban jatuh sia-sia pada masa-masa perang antara manusia dan kaum sihir, Nak. Aku tidak akan memintamu untuk mendengarkan ocehan kakek tua ini,” Guru Shandong mengucapkan kata-kata itu dengan dingin, sambil mengusap-usap rambut Daestar. “…. tapi paling tidak, pertimbangkanlah nasib generasi anak kamu nanti.”

Lalu dia menunduk dan menyapa Daestar.

“Baiklah, Jagoan. Kakek tadi sudah berjanji, jadi harus ditepati. Ayo sekarang kita ke perpustakaan kakek. Kakekk punya banyak koleksi mainan di sana. Tapi ingat, kita hanya bermain sampai cahaya lilin habis. Jika sampai waktunya, Daestar harus masuk ke kamar untuk tidur.”

Daestar mengangguk gembira.

“Nah, Basalto. Terima kasih untuk percakapan yang melancarkan peredaran darahku. Kamu adalah pemimpin tertinggi di sini, tetapi aku minta dengan sangat agar kamu mempertimbangkan kembali rencana-rencana tadi.”

Setelah Guru Shandong dan Daestar menghilang di balik pintu, Viona menghampiri Basalto.

“Guru tidak setuju, bukan?”

Basalto terdiam, gerahamnya menegang.

“Bukan. Bukan tidak setuju. Guru hanya belum setuju.”


-------

(bersambung)

ilustrasi gambar dari: ilustrasi gambar dari: www.smosh.com

Komentar