Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
“Tidak semua dari kami memiliki kejelian seperti yang Guru
miliki. Aku pikir tujuan kita sama, Guru.
Hanya saja aku ingin berbagi kepada lebih banyak kaum sihir, sambil
mencari murid-murid pilihan. Tentu mereka harus tetap diberi pelajaran moral
yang kuat, agar ilmu sihir itu tidak digunakan untuk hal-hal jahat. Sampai pada
akhirnya, kaum sihir akan benar-benar berdaulat… untuk menjaga keharmonisan dan
kedamaian di seluruh Gopalagos.”
Guru Shandong termangu, memperhatikan lilin di atas lemari
antik yang sudah setengahnya meleleh, lalu menatap dalam-dalam wajah Basalto.
“…Ada iblis dan malaikat dalam hati manusia, Nak. Seringkali
kita tidak bisa membedakan keduanya dengan mudah. Jika kita memberi makanan sama
banyak pada keduanya, mereka akan tumbuh menjadi sama kuat. Tapi sesuai
sifatnya, iblis perlahan-lahan akan menguasai malaikat dan menghancurkannya.
Satu-satunya cara untuk memenangkan malaikat adalah… jangan memberi makan iblis
itu.”
Basalto merasa otaknya tiba-tiba berdenyut. “Aku hanya
mencoba menyampaikan gagasan pribadi, Guru. Jika Guru tidak berkenan…”
“Basalto, jangan sekali-kali, Nak. Jangan. Kita sudah
sepakat, mantra-mantra itu bukan untuk diajarkan kepada para murid.”
Basalto terkejut. Dia rupanya hendak menyampaikan satu hal
lagi, tetapi pikirannya sudah diterawang Sang Guru.
“Maaf, Nak. Aku berhasil menembus perisai sihir dalam
pikiranmu. Aku melihat kamu membuka kitab sihir, bagian delapan.”
“Guru, padahal aku baru bermaksud meminta izin untuk
mengajarkan beberapa mantra pertahanan tersebut pada beberapa murid tingkat
akhir.”
“Kamu tahu bukan, beberapa mantra pada bagian delapan kitab
itu sebenarnya adalah mantra paling kejam yang pernah dibuat dalam sejarah kaum
sihir. Lagipula, kamu pun masih harus banyak belajar mempertahankan diri kamu
sendiri.”
“Guru, kita bisa menyesuaikannya, bukan?”
“Hentikan!” bibir Guru Shandong bergetar menahan amarah.
“Jangan biarkan malaikat dan iblis berkompromi dalam diri kamu.”
Pada saat itu tiba-tiba pintu ruangan makan terbuka. Wajah
lucu seorang bocah muncul di situ, lalu dia berlari ke arah Guru Shandong.
“Kakek, kok lama
sekali?” Daestar memeluk erat-erat kaki Guru Shandong.
“Viona!?” Basalto berseru kepada istrinya yang muncul
menyusul di balik pintu.
“Dia memaksa…” istri Basalto menyahut lirih.
Guru Shandong balas memeluk Daestar. Gurat-gurat amarah di
wajahnya perlahan sirna. Kehadiran Daestar berhasil mencairkan suasana yang mendadak
kaku tersebut.
“Aku telah melihat dengan mata kepala sendiri, banyaknya
korban jatuh sia-sia pada masa-masa perang antara manusia dan kaum sihir, Nak.
Aku tidak akan memintamu untuk mendengarkan ocehan kakek tua ini,” Guru
Shandong mengucapkan kata-kata itu dengan dingin, sambil mengusap-usap rambut Daestar.
“…. tapi paling tidak, pertimbangkanlah nasib generasi anak kamu nanti.”
Lalu dia menunduk dan menyapa Daestar.
“Baiklah, Jagoan. Kakek tadi sudah berjanji, jadi harus
ditepati. Ayo sekarang kita ke perpustakaan kakek. Kakekk punya banyak koleksi
mainan di sana. Tapi ingat, kita hanya bermain sampai cahaya lilin habis. Jika sampai
waktunya, Daestar harus masuk ke kamar untuk tidur.”
Daestar mengangguk gembira.
“Nah, Basalto. Terima kasih untuk percakapan yang
melancarkan peredaran darahku. Kamu adalah pemimpin tertinggi di sini, tetapi aku
minta dengan sangat agar kamu mempertimbangkan kembali rencana-rencana tadi.”
Setelah Guru Shandong dan Daestar menghilang di balik pintu,
Viona menghampiri Basalto.
“Guru tidak setuju, bukan?”
Basalto terdiam, gerahamnya menegang.
“Bukan. Bukan tidak setuju. Guru hanya belum setuju.”
-------
(bersambung)
ilustrasi gambar dari: ilustrasi gambar dari: www.smosh.com
Komentar