Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [26]



Walaupun percakapan antara guru dan murid itu sepertinya ditelan langit Gopalagos yang perlahan mendung menunggu hujan, sejarah tengah mencatatkan awal sebuah kisah kelam. Kisah ini akan menjadi buah bibir turun temurun sebagai kisah paling getir dalam sejarah kaum sihir. Ini hanya masalah waktu saja.

Ya, waktu. Kita tidak bisa menahan kemutlakannya yang menguasai setiap helai rambut kita, sama seperti kita tidak bisa menahan perjalanan usia Guru Shandong yang semakin tua, juga ambisi Basalto yang semakin menggebu-gebu.

Sampai pada akhirnya angin begitu saja menerbangkannya, merayapi puncak gunung Eisatar, menyapu semua kenangan dan harapan.

Lalu kisah kita mengalir bersama daun-daun pepohonan setengah kering yang ditiupkan awan-awan ke sebelah selatan istana Ametys.

Berhektar-hektar padi dan beberapa jenis buah tropis tumbuh subur di tempat itu. Nama kerajaan Ametys memang terkenal di seluruh penjuru Gopalagos, baik oleh kaum sihir maupun non-sihir sebagai kerajaan yang pertaniannya paling maju.

Bahkan istana raja Ametys pun dirancang supaya berinkulturasi dengan alam di sekitarnya. Istana yang dibangun kaum sihir di timur Gopalagos ini dibuat memanjang dari utara ke selatan dengan rangkaian tiga bangunan megah beratap terbuka.

Pada bagian atas bangunan, dibuat taman-taman berisi aneka pohon buah. Sementara pada bangunan di tengah, taman itu dibuat melingkar, mengelilingi bangunan puncak menara  istana. Dari atas, terlihat seperti rangkaian zamrud yang mengelilingi menara istana. Entah butuh waktu berapa lama untuk memadukan pepohonan dan bebatuan seperti itu.

Setiap fajar tiba, Ametys selalu menyempatkan diri untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin di antara taman-taman itu sambil melemparkan pandangan ke ufuk timur. Sekitar satu kilometer ke arah timur, wilayah kerajaan sudah berbatasan dengan pesisir pantai, menyisakan laut lepas sejauh mata memandang. Jadi pemandangan matahari terbit dari arah laut memang terlalu sayang untuk dilewatkan.

Seperti pagi ini.

Ametys masih mengenakan jubah tidur berwarna biru gelap. Rambut merahnya dibiarkan berserakan di sepanjang kening dan bahunya. Dia melangkah perlahan, menunggu matahari yang masih malu-malu. Tidak seperti biasa, kali ini dia menatap aneh ke arah timur.

Memang saat itu separuh langit sedang berawan dan separuh mendung. Tetapi berkas-berkas sinar raja hari seharusnya bisa mengenyahkan gundah di hati siapapun yang memandangnya.

 “Yang Mulia, Ratu sudah menunggu di meja makan.”

Seorang pelayan wanita menyapa Ametys beberapa langkah di belakangnya. Ametys berpaling sebentar, lalu kembali menatap ke arah timur.

“Mengapa mereka sudah menyiapkan sarapan sepagi ini? Apakah ini hanya perasaanku saja, atau memang waktu yang selalu tiba lebih cepat. Pergilah, Darhim. Katakan pada Ratu aku akan segera turun.”

“Baik, Yang Mulia.”

Ametys memandang lekat-lekat awan mendung yang menggelayut di sekitar istana.

“Ini seperti sebuah pertanda,” batinnya.

Ametys juga memandang beberapa lembar daun manggis yang berjatuhan seperti embun. Begitu jatuh terkena tanah, daun-daun itu langsung mengering begitu saja.

Dia lalu menjulurkan telapan tangan kanannya ke depan sembari memejamkan mata. Dia mencoba berbahasa kalbu dengan angin pagi, untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ingin disampaikan alam kepadanya.

Dia menangkap desah kesedihan dari alam, hanya bentuknya cukup samar sehingga dia masih ragu menyimpulkan.

Bersamaan dengan itu, aroma roti bakar perlahan-lahan menggelitik indera penciumannya.
“Ah, aku kalah oleh roti bakar kali ini. Baiklah, Semesta. Mudah-mudahan bukan bencana dahsyat yang hendak kamu sampaikan. Sampai ketemu esok pagi.”

Ametys pun menghilang di balik pintu yang menghubungkan gedung istana dan taman di atas atap.
Tapi sepertinya tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan teka-teki alam pagi ini.
Siang harinya, seekor merpati pengantar pesan hinggap di salah satu jendela, persis di jendela kamar tidur Raja dan Ratu. Di kaki merpati itu, tersemat gulungan kecil surat berwarna kuning. Itu penanda kalau surat itu berisi pesan penting dan harus segera disampaikan.

Ratu yang pertama kali menemukan merpati dan surat itu pun cepat-cepat membawa surat tersebut kepada suaminya.
Saat itu Ametys sedang berada di mengamati di kandang khusus tempat anak-anak er dibesarkan. Er yang biasa ditungganginya telah uzur sehingga dia harus mulai memilih er pengganti secepatnya.

Saat membaca isi surat, Ametys terperanjat hebat.

“Ini tidak mungkin!”

“Apa yang terjadi, Yang Mulia?” tanya Ratu.

“Guru…, Guru!”

“Guru Shandong? Apa yang terjadi dengan Guru?”
“Dia wafat… dua hari yang lalu!”

Ratu dan beberapa prajurit serta pegawai raja ikut terhentak dengan berita itu.

“Bagaimana bisa?”

Ametys tidak langsung menjawab. Dia sepertinya membaca kembali isi surat itu untuk meyakinkan diri.

“Entahlah… Basalto hanya menulis kalau Guru ditemukan tidak sadarkan diri lagi. Aku harus berangkat ke wilayah Barat siang ini. Aku titip kerajaan selama beberapa hari, Ratuku. ”

“Pergilah, Yang Mulia. Bawa serta beberapa penasehat dan orang-orang terbaik untuk mewakili kerajaan kita.”

Berita duka itu langsung menyebar dengan cepat ke seluruh istana, ke perkebunan pir dan sebagian kaum sihir yang tinggal di sekitar istana.


 Raja telah meminta prajurit untuk segera menyiapkan er-er terbaik dan tercepat agar bisa sampai ke istana Basalto sebelum larut malam.

--------

(bersambung)
ilustrasi gambar dari: seanopher.tumblr.com

Komentar