Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Walaupun percakapan antara guru dan
murid itu sepertinya ditelan langit Gopalagos
yang perlahan mendung menunggu hujan, sejarah tengah mencatatkan awal sebuah
kisah kelam. Kisah ini akan menjadi buah bibir turun temurun sebagai kisah
paling getir dalam sejarah kaum sihir. Ini hanya masalah waktu saja.
Ya, waktu. Kita tidak bisa menahan kemutlakannya yang
menguasai setiap helai rambut kita, sama seperti kita tidak bisa menahan
perjalanan usia Guru Shandong yang semakin tua, juga ambisi Basalto yang
semakin menggebu-gebu.
Lalu kisah kita mengalir bersama daun-daun pepohonan setengah
kering yang ditiupkan awan-awan ke sebelah selatan istana Ametys.
Berhektar-hektar padi dan beberapa jenis buah tropis tumbuh
subur di tempat itu. Nama kerajaan Ametys memang terkenal di seluruh penjuru Gopalagos, baik oleh kaum sihir maupun
non-sihir sebagai kerajaan yang pertaniannya paling maju.
Bahkan istana raja Ametys pun dirancang supaya berinkulturasi
dengan alam di sekitarnya. Istana yang dibangun kaum sihir di timur Gopalagos ini dibuat memanjang dari
utara ke selatan dengan rangkaian tiga bangunan megah beratap terbuka.
Pada bagian atas bangunan, dibuat taman-taman berisi aneka
pohon buah. Sementara pada bangunan di tengah, taman itu dibuat melingkar,
mengelilingi bangunan puncak menara istana.
Dari atas, terlihat seperti rangkaian zamrud yang mengelilingi menara istana. Entah
butuh waktu berapa lama untuk memadukan pepohonan dan bebatuan seperti itu.
Setiap fajar tiba, Ametys selalu menyempatkan diri untuk
menghirup oksigen sebanyak mungkin di antara taman-taman itu sambil melemparkan
pandangan ke ufuk timur. Sekitar satu kilometer ke arah timur, wilayah kerajaan
sudah berbatasan dengan pesisir pantai, menyisakan laut lepas sejauh mata
memandang. Jadi pemandangan matahari terbit dari arah laut memang terlalu sayang
untuk dilewatkan.
Seperti pagi ini.
Ametys masih mengenakan jubah tidur berwarna biru gelap.
Rambut merahnya dibiarkan berserakan di sepanjang kening dan bahunya. Dia melangkah
perlahan, menunggu matahari yang masih malu-malu. Tidak seperti biasa, kali ini
dia menatap aneh ke arah timur.
Memang saat itu separuh langit sedang berawan dan separuh
mendung. Tetapi berkas-berkas sinar raja hari seharusnya bisa mengenyahkan
gundah di hati siapapun yang memandangnya.
“Yang Mulia, Ratu
sudah menunggu di meja makan.”
Seorang pelayan wanita menyapa Ametys beberapa langkah di
belakangnya. Ametys berpaling sebentar, lalu kembali menatap ke arah timur.
“Mengapa mereka sudah menyiapkan sarapan sepagi ini? Apakah
ini hanya perasaanku saja, atau memang waktu yang selalu tiba lebih cepat. Pergilah,
Darhim. Katakan pada Ratu aku akan segera turun.”
“Baik, Yang Mulia.”
Ametys memandang lekat-lekat awan mendung yang menggelayut
di sekitar istana.
“Ini seperti sebuah pertanda,” batinnya.
Ametys juga memandang beberapa lembar daun manggis yang
berjatuhan seperti embun. Begitu jatuh terkena tanah, daun-daun itu langsung
mengering begitu saja.
Dia lalu menjulurkan telapan tangan kanannya ke depan sembari
memejamkan mata. Dia mencoba berbahasa kalbu dengan angin pagi, untuk mencari
tahu apa sebenarnya yang ingin disampaikan alam kepadanya.
Dia menangkap desah kesedihan dari alam, hanya bentuknya cukup
samar sehingga dia masih ragu menyimpulkan.
Bersamaan dengan itu, aroma roti bakar perlahan-lahan
menggelitik indera penciumannya.
“Ah, aku kalah oleh roti bakar kali ini. Baiklah, Semesta. Mudah-mudahan
bukan bencana dahsyat yang hendak kamu sampaikan. Sampai ketemu esok pagi.”
Ametys pun menghilang di balik pintu yang menghubungkan
gedung istana dan taman di atas atap.
Tapi sepertinya tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan
teka-teki alam pagi ini.
Siang harinya, seekor merpati pengantar pesan hinggap di
salah satu jendela, persis di jendela kamar tidur Raja dan Ratu. Di kaki
merpati itu, tersemat gulungan kecil surat berwarna kuning. Itu penanda kalau
surat itu berisi pesan penting dan harus segera disampaikan.
Ratu yang pertama kali menemukan merpati dan surat itu pun
cepat-cepat membawa surat tersebut kepada suaminya.
Saat itu Ametys sedang berada di mengamati di kandang khusus
tempat anak-anak er dibesarkan. Er yang biasa ditungganginya telah uzur
sehingga dia harus mulai memilih er pengganti secepatnya.
Saat membaca isi surat, Ametys terperanjat hebat.
“Ini tidak mungkin!”
“Apa yang terjadi, Yang Mulia?” tanya Ratu.
“Guru…, Guru!”
“Guru Shandong? Apa yang terjadi dengan Guru?”
“Dia wafat… dua hari yang lalu!”
Ratu dan beberapa prajurit serta pegawai raja ikut terhentak
dengan berita itu.
“Bagaimana bisa?”
Ametys tidak langsung menjawab. Dia sepertinya membaca
kembali isi surat itu untuk meyakinkan diri.
“Entahlah… Basalto hanya menulis kalau Guru ditemukan tidak
sadarkan diri lagi. Aku harus berangkat ke wilayah Barat siang ini. Aku titip
kerajaan selama beberapa hari, Ratuku. ”
“Pergilah, Yang Mulia. Bawa serta beberapa penasehat dan
orang-orang terbaik untuk mewakili kerajaan kita.”
Berita duka itu langsung menyebar dengan cepat ke seluruh
istana, ke perkebunan pir dan sebagian kaum sihir yang tinggal di sekitar
istana.
Raja telah meminta
prajurit untuk segera menyiapkan er-er terbaik dan tercepat agar bisa sampai ke
istana Basalto sebelum larut malam.
--------
(bersambung)
ilustrasi gambar dari: seanopher.tumblr.com
Komentar