Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [29-30]


Setelah upacara penguburan mendiang guru Shandong diselesaikan, udara malam masih menggantungkan aroma duka mendalam. Sebagian besar para pelayat sudah meninggalkan istana Basalto, menyisakan potongan cerita getir dan tumpukan tugas untuk pelayan-pelayan yang akan membersihkan beberapa bagian istana.

Reunian empat raja kaum sihir yang bersahabat dekat satu sama lain seharusnya bisa berlangsung lebih hangat. Keempatnya kini berada di sekitar meja makan sambil menyantap hidangan malam yang disediakan. Jubah-jubah kebesaran mereka telah ditanggalkan, berganti dengan pakaian yang lebih ringkas.


Namun sejak tadi, percakapan mereka terasa dingin dan kaku. Percakapan mereka lebih banyak meninggalkan jeda-jeda panjang karena masing-masing larut dalam alam pikirannya. Tak bisa disangkal, kepergian guru mereka memang meninggalkan jejak-jejak kesedihan yang sepertinya akan sulit terkikis waktu.

Sampai pada akhirnya Ruby memecahkan kebekuan itu dengan pertanyaan yang mengejutkan,

“Mengapa Guru begitu bersedih dalam kematiannya?”

Basalto yang sedang disasar pertanyaan itu, menatap tak mengerti ke arah Ruby.

“Aku tak mengerti maksud pertanyaanmu, Huria?”

Basalto memanggil Ruby dengan nama aslinya, Huria. Panggilan itu tak urung membuat pikiran mereka kembali melayang jauh ke masa silam, pada masa-masa mereka masih menjadi sesama murid di bawah asuhan mendiang Guru Shandong. Saat itu, mereka baru menyadari begitu rindunya mereka pada suasana seperti ini, perjumpaan kembali di tempat mereka dibesarkan.

Alam dan suasana di sekitar padepokan masih nampak sama dengan keadaan bertahun-tahun yang lalu, kecuali kini Istana Basalto yang megah telah berdiri di samping padepokan mereka.

“Entahlah. Aku seringkali bisa membaca endapan emosi  mereka yang telah dijemput maut. Sama seperti pikiran mereka yang masih hidup, pikiran orang mati pun bisa dibaca dengan ilmu sihir. Pikiran adalah hal paling terakhir yang tersisa dari mereka. Mereka yang telah mati pun meninggalkan jejak pikiran yang bisa terbaca, kendati semakin lama jejaknya akan semakin pudar dan akan hilang seiring waktu. Dan selama beberapa hari ini, aku seperti menangkap gurat kesedihan pada mendiang Guru.”

Emerald dan Ametys nampak menunggu jawaban Basalto. Sambil menurunkan sendok supnya, Basalto pun menjawab,

“…Memang sudah beberapa minggu ini, Guru semakin sering sakit-sakitan. Tapi kami merawatnya dengan baik, sehingga memutuskan untuk tidak memberi kalian kabar, Kawan-kawan. Sekitar dua minggu yang lalu, Guru terjatuh sehingga harus dirawat selama beberapa hari. Guru memaksa diri untuk tetap bekerja seperti biasa, tetapi nyonya Arasaim tidak mengizinkan.”

“Siapa Nyonya Arasaim?” potong Emerald.

“Oh, pengganti nyonya Gamigael. Setelah keadaannya membaik, Guru kemudian diizinkan keluar padepokan. Beberapa hari sebelum meninggal dia malah masih menyempatkan diri berkunjung ke desa-desa di sekitar istana, seperti kebiasaannya. Seingat aku, Guru memang pernah mengungkapkan keinginannya untuk bertemu lagi dengan kalian. Tapi benar-benar tak  disangka, ternyata itu menjadi keinginan yang tidak akan pernah terpenuhi lagi.” 

Emerald berusaha tidak menitikkan air mata.

“Guru mungkin sedih karena tidak bisa memenuhi keinginannya itu, kawan-kawan,” ucapnya lirih.

“Iya, mungkin saja,” sahut Ruby. “Oh ya, kalau tak salah istri kamu yang pertama kali menemukan Guru dalam keadaan tak sadarkan diri lagi. Apa yang terjadi saat itu?” tanyanya lagi.

“Viona, istriku, memang meminta agar dirinya yang mengambil alih pekerjaan mengurusi Guru. Dia kurang percaya pada pelayan-pelayan, yang memang kadang tak teliti dan ceroboh. Akhirnya selama ini, Viona-lah yang meracikkan ramuan obat dan mengingatkan Guru untuk meminum ramuannya secara rutin. Sore itu, ketika Viona mengetuk-ngetuk kamar Guru untuk membawakan ramuan seperti biasanya, tak ada jawaban dari dalam. Cukup lama dia mengetuk sehingga memutuskan untuk membuka pintu kamar. Ternyata memang pintu kamar tak terkunci, sehingga Viona dapat masuk dengan mudah. Saat itu dia menemukan Guru sudah terbujur kaku di atas ranjangnya. Viona tidak memedulikan lagi ramuannya yang jatuh tertumpah, karena tergopoh-gopoh menuju ke ranjang Guru. Tubuh Guru sudah dingin, tak bernyawa lagi, sehingga Viona menjerit histeris. Saat itulah yang lainnya datang ke kamar Guru,” Basalto mengakhiri penjelasan panjangnya.

“Kapan terakhir kali ada yang melihatnya masih hidup?” sambung Ametys.

“Kami masih mengobrol seperti biasa pada saat makan siang. Tak ada tanda-tanda sedikitpun kalau kami akan berpisah selama-lamanya dengan guru saat itu. Beberapa prajurit juga masih melihatnya berjalan di koridor istana setelah itu.”

“Dia mungkin menghembuskan nafas terakhir pada saat sedang tertidur…,” Ruby mencoba menyimpulkan.

“Ya… begitulah pendapat orang-orang.”

“Aku sendiri cukup menyesal, Kawan-kawan. Aku bertemu guru terakhir kali hampir tiga tahun yang lalu. Setelah itu aku tidak pernah menyempatkan diri untuk mengunjunginya lagi,” ucap Ametys.

“Aku masih bertemu Guru tahun lalu saat secara kebetulan berkunjung ke istana kerajaan Tarkonium, salah satu kerajaan kecil di utara Gopalagos. Saat itu Guru mengunjungi kawan lamanya, raja Tarkonium,” sambung Ruby.

“Ah, aku pun bertemu terakhir dengan mendiang Guru hampir tiga tahun lalu. Saat itu Guru datang berkunjung dan tinggal selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan ke istana Ametys,” sambung Emerald.

“Yah, kawan-kawan. Kalian yang jauh saja merasa sangat kehilangan, bagaimana denganku yang hampir setiap hari bertemu dan bertukar sapa dengannya?” sambung Basalto.

“Tetapi paling tidak, kamu dan yang lain di tempat ini masih sempat berjasa di saat-saat terakhir Guru,” sahut Emerald.

Suasana menjadi hening kembali selama beberapa saat.

“Kawan-kawan, bagaimana kalau…,” Basalto berdiri dari kursinya. “…kita tinggalkan meja makan ini dan berpindah ke balkon istana. Aku akan menyuruh pelayan untuk membuat teh rempah yang hangat untuk menemani kita disana. Mudah-mudahan bisa menyegarkan badan kita setelah selama dua hari ini kita seperti kurang istirahat.”

“Wah, sepertinya ide yang bagus, Kawan,” sahut Ametys.

Tak lama kemudian, keempatnya meninggalkan ruangan makan tersebut. Dua orang pelayan pun masuk dan dengan sigap membereskan meja makan yang telah ditinggalkan.

----------

(bersambung)
ilustrasi gambar dari www.123rf.com

Komentar