Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Setelah upacara penguburan mendiang guru Shandong
diselesaikan, udara malam masih menggantungkan aroma duka mendalam. Sebagian besar
para pelayat sudah meninggalkan istana Basalto, menyisakan potongan cerita
getir dan tumpukan tugas untuk pelayan-pelayan yang akan membersihkan beberapa
bagian istana.
Reunian empat raja kaum sihir yang bersahabat dekat satu
sama lain seharusnya bisa berlangsung lebih hangat. Keempatnya kini berada di
sekitar meja makan sambil menyantap hidangan malam yang disediakan. Jubah-jubah
kebesaran mereka telah ditanggalkan, berganti dengan pakaian yang lebih
ringkas.
Namun sejak tadi, percakapan mereka terasa dingin dan kaku. Percakapan
mereka lebih banyak meninggalkan jeda-jeda panjang karena masing-masing larut
dalam alam pikirannya. Tak bisa disangkal, kepergian guru mereka memang meninggalkan
jejak-jejak kesedihan yang sepertinya akan sulit terkikis waktu.
Sampai pada akhirnya Ruby memecahkan kebekuan itu dengan
pertanyaan yang mengejutkan,
“Mengapa Guru begitu bersedih dalam kematiannya?”
Basalto yang sedang disasar pertanyaan itu, menatap tak
mengerti ke arah Ruby.
“Aku tak mengerti maksud pertanyaanmu, Huria?”
Basalto memanggil Ruby dengan nama aslinya, Huria. Panggilan
itu tak urung membuat pikiran mereka kembali melayang jauh ke masa silam, pada
masa-masa mereka masih menjadi sesama murid di bawah asuhan mendiang Guru
Shandong. Saat itu, mereka baru menyadari begitu rindunya mereka pada suasana seperti
ini, perjumpaan kembali di tempat mereka dibesarkan.
Alam dan suasana di sekitar padepokan masih nampak sama
dengan keadaan bertahun-tahun yang lalu, kecuali kini Istana Basalto yang megah
telah berdiri di samping padepokan mereka.
“Entahlah. Aku seringkali bisa membaca endapan emosi mereka yang telah dijemput maut. Sama seperti
pikiran mereka yang masih hidup, pikiran orang mati pun bisa dibaca dengan ilmu
sihir. Pikiran adalah hal paling terakhir yang tersisa dari mereka. Mereka yang
telah mati pun meninggalkan jejak pikiran yang bisa terbaca, kendati semakin
lama jejaknya akan semakin pudar dan akan hilang seiring waktu. Dan selama
beberapa hari ini, aku seperti menangkap gurat kesedihan pada mendiang Guru.”
Emerald dan Ametys nampak menunggu jawaban Basalto. Sambil
menurunkan sendok supnya, Basalto pun menjawab,
“…Memang sudah beberapa minggu ini, Guru semakin sering
sakit-sakitan. Tapi kami merawatnya dengan baik, sehingga memutuskan untuk tidak
memberi kalian kabar, Kawan-kawan. Sekitar dua minggu yang lalu, Guru terjatuh
sehingga harus dirawat selama beberapa hari. Guru memaksa diri untuk tetap
bekerja seperti biasa, tetapi nyonya Arasaim tidak mengizinkan.”
“Siapa Nyonya Arasaim?” potong Emerald.
“Oh, pengganti nyonya Gamigael. Setelah keadaannya membaik, Guru
kemudian diizinkan keluar padepokan. Beberapa hari sebelum meninggal dia malah
masih menyempatkan diri berkunjung ke desa-desa di sekitar istana, seperti
kebiasaannya. Seingat aku, Guru memang pernah mengungkapkan keinginannya untuk
bertemu lagi dengan kalian. Tapi benar-benar tak disangka, ternyata itu menjadi keinginan yang
tidak akan pernah terpenuhi lagi.”
Emerald berusaha tidak menitikkan air mata.
“Guru mungkin sedih karena tidak bisa memenuhi keinginannya itu,
kawan-kawan,” ucapnya lirih.
“Iya, mungkin saja,” sahut Ruby. “Oh ya, kalau tak salah
istri kamu yang pertama kali menemukan Guru dalam keadaan tak sadarkan diri
lagi. Apa yang terjadi saat itu?” tanyanya lagi.
“Viona, istriku, memang meminta agar dirinya yang mengambil
alih pekerjaan mengurusi Guru. Dia kurang percaya pada pelayan-pelayan, yang memang
kadang tak teliti dan ceroboh. Akhirnya selama ini, Viona-lah yang meracikkan
ramuan obat dan mengingatkan Guru untuk meminum ramuannya secara rutin. Sore itu,
ketika Viona mengetuk-ngetuk kamar Guru untuk membawakan ramuan seperti
biasanya, tak ada jawaban dari dalam. Cukup lama dia mengetuk sehingga
memutuskan untuk membuka pintu kamar. Ternyata memang pintu kamar tak terkunci,
sehingga Viona dapat masuk dengan mudah. Saat itu dia menemukan Guru sudah
terbujur kaku di atas ranjangnya. Viona tidak memedulikan lagi ramuannya yang
jatuh tertumpah, karena tergopoh-gopoh menuju ke ranjang Guru. Tubuh Guru sudah
dingin, tak bernyawa lagi, sehingga Viona menjerit histeris. Saat itulah yang
lainnya datang ke kamar Guru,” Basalto mengakhiri penjelasan panjangnya.
“Kapan terakhir kali ada yang melihatnya masih hidup?”
sambung Ametys.
“Kami masih mengobrol seperti biasa pada saat makan siang. Tak
ada tanda-tanda sedikitpun kalau kami akan berpisah selama-lamanya dengan guru
saat itu. Beberapa prajurit juga masih melihatnya berjalan di koridor istana setelah
itu.”
“Dia mungkin menghembuskan nafas terakhir pada saat sedang
tertidur…,” Ruby mencoba menyimpulkan.
“Ya… begitulah pendapat orang-orang.”
“Aku sendiri cukup menyesal, Kawan-kawan. Aku bertemu guru
terakhir kali hampir tiga tahun yang lalu. Setelah itu aku tidak pernah
menyempatkan diri untuk mengunjunginya lagi,” ucap Ametys.
“Aku masih bertemu Guru tahun lalu saat secara kebetulan
berkunjung ke istana kerajaan Tarkonium, salah satu kerajaan kecil di utara Gopalagos. Saat itu Guru mengunjungi
kawan lamanya, raja Tarkonium,” sambung Ruby.
“Ah, aku pun bertemu terakhir dengan mendiang Guru hampir
tiga tahun lalu. Saat itu Guru datang berkunjung dan tinggal selama beberapa
hari sebelum melanjutkan perjalanan ke istana Ametys,” sambung Emerald.
“Yah, kawan-kawan. Kalian yang jauh saja merasa sangat
kehilangan, bagaimana denganku yang hampir setiap hari bertemu dan bertukar
sapa dengannya?” sambung Basalto.
“Tetapi paling tidak, kamu dan yang lain di tempat ini masih
sempat berjasa di saat-saat terakhir Guru,” sahut Emerald.
Suasana menjadi hening kembali selama beberapa saat.
“Kawan-kawan, bagaimana kalau…,” Basalto berdiri dari
kursinya. “…kita tinggalkan meja makan ini dan berpindah ke balkon istana. Aku akan
menyuruh pelayan untuk membuat teh rempah yang hangat untuk menemani kita
disana. Mudah-mudahan bisa menyegarkan badan kita setelah selama dua hari ini
kita seperti kurang istirahat.”
“Wah, sepertinya ide yang bagus, Kawan,” sahut Ametys.
Tak lama kemudian, keempatnya meninggalkan ruangan makan tersebut. Dua orang pelayan pun masuk dan dengan sigap membereskan meja makan yang telah ditinggalkan.
----------
(bersambung)
ilustrasi gambar dari www.123rf.com
Komentar