Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [31]


Purnama yang bersinar pucat sedang merajai langit kelam. Sejauh mata memandang, tak nampak satu pun bintang yang meninggalkan cahayanya di sana. Seperti baru saja dibawa badai kosmis entah kemana.

Emerald melangkah terburu-buru di tengah pelukan malam. Kaki telanjangnya menapaki jalan tanah berbatu dengan barisan pinus di kiri dan kanannya. Dia sedang berjalan menuju ke sebuah tempat yang belum terpikirkan, namun dia sepertinya begitu kenal dengan tempat asing itu. Begitu memalingkan wajah dia merasa angin malam dengan yang sejuk tiba-tiba memiliki kekuatan maha besar sehingga menerbangkannya seperti kapas. Tahu-tahu dia sudah berada di tengah-tengah menara istananya sendiri.  


Udara benar-benar dingin menggigit, sehingga dia segera merapatkan celah-celah mantelnya.
Beberapa dentuman keras tiba-tiba terdengar. Dia mengarahkan pandangannya ke asal suara itu di bawah sana, pada halaman samping istana. Nampak dua orang penyihir sedang bertarung. Yang satu mengenakan perlengkapan prajurit kerajaan sedangkan yang lain mengenakan pakaian hitam-hitam dengan cadar berwarna senada. Sepertinya tak ingin ada orang lain yang mengenalinya.

Keduanya beradu kekuatan sihir dan kegesitan. Dari ujung telapak tangan mereka berdua, melesat energi sihir dalam rupa larik-larik cahaya biru kemerahan seperti cahaya petir. Keduanya saling menghindar dan mengincar tubuh lawannya masing-masing dalam pertarungan jarak dekat. Saat melewatkan sasarannya, larik cahaya sihir tersebut merusak benda apapun yang menghalangi jalannya seperti pepohonan, bebatuan maupun tembok-tembok istana, disertai suara dentuman yang keras.

Angin kembali tiba-tiba menerbangkan tubuh Emerald. Dalam sekejab dia sudah berada di bawah, lebih dekat dengan pertarungan yang sengit antara dua penyihir tersebut.

Dari situ dia bisa melihat beberapa prajurit sudah terkapar tak sadarkan diri. Dia bisa merasakan begitu banyak endapan energi sihir di tempat itu. Pertempuran ini pasti telah berlangsung cukup lama. Prajurit istana yang sedang bertarung pun mulai terlihat kewalahan.

Pada satu kesempatan sosok berpakaian serba hitam berhasil melesatkan energi sihirnya ke dada lawannya. Prajurit yang malang itu pun terpental jauh ke belakang. Sambil berusaha bangkit, prajurit itu meringis menahan sakit. Dari sudut-sudut bibir prajurit tersebut mengalir darah segar.
Emerald berseru terkejut. Namun dia belum mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Melihat lawannya sudah tidak berdaya lagi, sosok berbaju serba hitam itu pun berlari pergi dari tempat itu menuju ke bagian belakang istana.

Melihat peristiwa itu, Emerald jadi bingung memilih antara menyelamatkan prajuritnya atau mengejar sosok misterius itu.

Akhirnya dia memilih menolong prajurit itu.

“Apa yang terjadi?” serunya sambil berusaha memapah tubuh prajurit yang sedang sekarat itu. Tetapi dia kembali terkejut ketika menyentuh prajurit tersebut. Dia tidak bisa merasakan apapun seperti sedang berusaha menyentuh bayang-bayang.

Emerald tersentak oleh kekuatan besar yang langsung menariknya ke belakang. Kekuatan tersebut menghimpit tubuhnya sehingga dia merasa sangat kesakitan dan hampir kehabisan napas. Celakanya dia seperti tidak punya kekuatan untuk melawan sedikitpun. Semakin kuat dia berusaha memasukkan oksigen ke paru-parunya, semakin besar kekuatan misterius yang menyesakkannya.

Segala penderitaan itu berakhir… ketika dia membuka mata.

Kelamnya malam berganti dengan suasana kamar asri yang diterangi penerangan samar-samar dari sebuah pelita. Aroma sedap malam yang menyusup dari celah-celah jendela kamar membuatnya segera tersedar kalau dia sedang berada di salah satu kamar istana Basalto.

“Mimpi aneh,” batinnya. Dia segera menyapu keningnya yang penuh peluh. Kerongkongannya terasa kering, sehingga dia segera menuang air minum dari dalam kendi ke cangkir dan dihabiskannya sekali teguk.

Setelah itu dia mencoba mencerna mimpi yang baru saja dialaminya. Dia mencoba mengingat kembali setiap detik mimpi yang lamat-lamat mulai meninggalkan kepalanya.

“Mimpi aneh,” batinnya sekali lagi.

--------------

(bersambung)

Komentar