Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [35-37]


Emerald dan Tabita kini telah berada di tengah-tengah ruang meditasi yang dibangun di bawah lantai dasar istana. Ruangan yang lapang tersebut berbentuk elips dengan barisan pilar yang berjejer rapi membentuk lengkungan di sekitar dinding ruangan. Kayu-kayu dataran tinggi yang dipenuhi ukiran huruf kuno dipasang melapisi dinding-dinding ruangan, menciptakan aroma magis yang tajam.
Berada di dalam ruangan ini membuat jiwa terasa teduh seketika, sehingga seringkali digunakan Emerald untuk bermeditasi atau melatih ilmu mengolah batin pada anak-anak asuhnya. 

Emerald dan Tabita kini berdiri berhadapan, terpisah dengan jarak beberapa langkah. Masing-masing memegang tongkat sihirnya.

“Kamu siap, Tabita?”


“Aku akan berusaha semampunya, Ratu.”

“Aku yakin kamu bisa. Sekarang, mulailah berkonsentrasi… Raja Ametys memasang perisai sihir agar portal sihir tak bisa terbuka di dalam istananya. Jadi pikirkanlah pintu depan istananya…”

Tabita menutup matanya. Emerald melakukan hal serupa. Untuk menciptakan portal sihir mereka harus menghadirkan tempat yang akan dituju dalam pikiran mereka sejelas mungkin, lalu melepaskan energi sihir untuk membuka pintu antar dimensi yang disembunyikan alam semesta. Perpaduan energi sihir dan kekuatan pikiran ini membuat partikel-partikel dari materi yang akan dipindahkan melesat sampai ke tempat tujuan dalam waktu sekejab.

Tak lama kemudian, ujung tongkat masing-masing mulai memendarkan cahaya putih, pertanda proses membuka portal sihir telah dimulai.  Mula-mula terlihat samar, tetapi lama-lama cahaya itu semakin terang benderang. Lalu dari cahaya tersebut muncul cahaya lain seperti percikan halilintar. Percikan halilintar itu terpancar dari ujung tongkat sihir masing-masing dan bertemu pada ruang kosong di antara kedua penyihir. Pertemuan antara dua cahaya tersebut, memunculkan cahaya lain berwarna biru terang. Semakin lama percikan halilintar itu semakin besar, sehingga cahaya biru tersebut juga nampak semakin besar.

Emerald pun meneriakkan barisan mantra untuk membuka pintu portal. Saat ini, energi mereka benar-benar dikerahkan.

Tabita mulai terlihat kesulitan mempertahankan posisinya. Tapi dia berusaha semampunya menjaga kestabilan energi sihir yang dipancarkan tongkatnya. Saat Emerald menuntaskan mantra, cahaya biru berubah menjadi sebuah pintu antara yang terbuka perlahan. Di balik cahaya biru itu, ada ruangan lain yang tersingkap samar-samar.

“Tahan sebentar lagi, Tabita.”

Saat itu Tabita semakin kepayahan. Tubuhnya bergetar. Darah merah segar mulai merembes dari hidungnya. Tapi dia masih berusaha menganggukkan kepalanya.

Saat cahaya biru yang merupakan pintu portal sihir itu benar-benar terbuka, Emerald pun meloncat ke dalamnya.

Saat seluruh tubuh Emerald sudah berhasil masuk, Tabita menurunkan tongkatnya sehingga dalam sekejab cahaya biru itu menghilang tanpa bekas.
Dia pun duduk bersila dengan lunglai. Setelah mengatur napas sejenak, dia segera bermeditasi untuk memulihkan energinya.

******
Saat itu hari menjelang pagi di wilayah timur Gopalagos, tempat istana Ametys berada. Dari ufuk timur  mulai terlihat samar larik-larik matahari yang hendak menyapa bumi.

Cahaya biru terang benderang muncul seketika dan Emerald muncul dari dalamnya. Kedatangannya yang tiba-tiba melalui portal sihir itu mengejutkan para prajurit yang sedang bersiaga di depan istana. Tapi begitu Emerald mendekat dan cahaya obor-obor menerangi wajahnya, mereka pun menyadari kalau tamu mereka itu adalah pemimpin kaum sihir dari Selatan. Mereka lalu memberi hormat takzim.

“Mestinya raja kalian baru sampai belum lama ini,” sapa Emerald.

“Benar, Ratu,” jawab salah satu prajurit. “Mari, kami antar ke dalam…,” prajurit itu lalu memberi jalan bagi Emerald dan memberi isyarat kepada kawannya, prajurit yang lain untuk segera memberitahu raja Ametys mengenai kedatangan Emerald.

Tapi baru saja melangkah, Ametys sudah nampak di depan pintu utama istana. Dia membuka tangannya lebar-lebar.

“Kita baru berpisah beberapa lama, tetapi kamu sudah merindukanku lagi, kawan…,” Ametys tahu ada sesuatu yang serius terjadi, tetapi dia berusaha tetap memberikan sambutan yang hangat kepada kawannya.

“Kamu sudah tahu aku akan datang?” sahut Emerald begitu sampai di depan Ametys.

“Tentu tidak. Aku hanya terkejut saat sedang berusaha tertidur, tahu-tahu aku merasakan energi sihir besar dari arah depan istanaku. Jadi aku segera berlari keluar.”

“Oh, maafkan aku, kawan. Aku pikir tak bisa menunggu lebih lama lagi untuk memberitahumu kabar buruk yang terjadi dalam istanaku.”

Ametys terdiam.

“Mari mengobrol sambil menuju ke taman di atap istanaku. Aku akan meminta pelayan membuatkan minuman hangat. Aku lihat kamu belum beristirahat sejenak pun sekembalinya dari istana Basalto.”

“Memang…”

Keduanya pun melangkah melewati sejumlah ruangan menuju ke taman yang terletak di puncak istana, tempat Ametys biasa mengawali harinya.

Saat Emerald mengatakan kalau kitab sihirnya dicuri orang. Ametys benar-benar terkejut.

*****  

“Siapa dia yang begitu berani melakukan kejahatan itu?”

Emerald terdiam sejenak.

Keduanya kini telah berada di salah satu bangku taman yang menghadap ke ufuk timur. Dua buah cangkir teh yang masih mengepul tersaji di atas meja di hadapan mereka.

“Entahlah. Yang jelas pelakunya seorang yang memiliki ilmu sihir sangkat tinggi. Besar kemungkinannya dia mampu membuka portal sihir seorang diri.”

Ametys kembali terkejut.

“Sepertinya tidak banyak lagi penyihir di Gopalagos yang memiliki kemampuan seperti itu,” ucapnya. “Setahuku mendiang Guru Shandong pernah melakukannya. Mungkin masih ada satu dua penyihir tua yang mampu melakukannya. Tapi pertanyaan berikutnya, apa yang diinginkannya dengan mencuri kitab itu?”

“Itu yang mengganjal pikiran dan membuatmu khawatir sejak awal. Bagaimana denganmu? Apa kitab sihir pemberian Guru Shandong masih tersimpan aman?”

Ametys memicingkan mata.

“Ya, sejauh ini. Sejak tiba tadi, aku tidak mendengar laporan kalau ada yang tidak beres selama aku pergi beberapa hari ini.”

“Syukurlah kalau begitu…”

“Tapi untuk meyakinkan diri, baiklah aku akan memeriksanya sendiri ke tempat penyimpanannya.”
Ametys berdiri.

“Oh ya. Kamu ingin tetap di sini atau berjalan bersamaku?”
“Biarlah aku menunggu di sini saja, Kawan. Aku ingin menikmati teh rempah yang enak ini. 
Sepertinya tak lama lagi matahari juga akan muncul. Sayang kalau pemandangan seperti ini dilewatkan begitu saja.”

Ametys tersenyum.

“Baiklah. Aku memang selalu jatuh cinta pada pemandangan pagi dari tempat ini.”

Ametys pun beranjak meninggalkan taman menuju ke dalam istananya.

Sementara itu larik-larik sinar matahari semakin lama semakin jelas. Sejak tadi, dari kejauhan terdengar kokok ayam jago bersahut-sahutan namun seiring munculnya matahari, kicau burung-burung yang mulai keluar sarang juga menambah semarak harmoni pagi ini.

Suasana pagi yang hangat begitu meneduhkan kalbu, sehingga sejenak Emerald bisa melupakan peristiwa buruk yang baru saja dialaminya.  

Tak lama kemudian, Ametys hadir kembali di tempat itu. Ametys telah menemukan kitab sihir pemberian guru Shandong masih ada di tempatnya. Juga tidak ada laporan dari prajurit kalau ada peristiwa aneh yang terjadi selama dia meninggalkan istana.

Emerald terpekur.

“Sepertinya pencuri itu hanya mengincar kitabku saja,” ucapnya tanpa bisa menyembunyikan getar sedih dan khawatir dalam nada suaranya.

“Sepertinya begitu. Wah, lihat. Matahari sudah muncul. Aku sudah beberapa hari tidak menikmati pemandangan ini. Ngomong-ngomong, kamu terlihat lelah sekali. Bagaimana kalau aku menyiapkan kamar untuk beristirahat sejenak.”

Emerald menggeleng.

“Aku harus kembali ke istana secepatnya, Kawan. Aku harus bertemu beberapa tetua kaum sihir. Siapa tahu ada jalan untuk menemukan kembali jejak-jejak pencuri itu.”

Ametys mengangguk-angguk pelan.

“Kalau begitu bersabarlah sebentar lagi, tukang masak kami sedang menyiapkan sarapan.”

“Terima kasih, Kawan,” Emerald mencoba tersenyum. “Sepertinya makanan apa pun akan terasa hambar saat ini jika aku belum menemukan langkah yang perlu aku lakukan secepatnya. Bagaimana pun juga, kitab itu adalah amanah dari Guru Shandong. Dan aku, juga kalian, pernah berjanji akan menjaga kitab itu dengan seluruh jiwa dan raga, bukan? Sampaikan salamku kepada Ratu. Aku harus pergi sekarang…”

“Portal sihir?”

“Tentu saja.”

“Baiklah. Biar aku nanti yang mengirim merpati pos ke istana Basalto dan Ruby untuk mengabarkan peristiwa ini. Tapi… apakah kamu masih cukup kuat untuk membuka portal sihir?”

“Kan ada kamu yang akan mengimbangi kekuatanku…”

Ametys tersenyum lucu.

“Sepertinya sudah saatnya kamu mencari pendamping…”

“…jangan memulai, Basaman.”

Terdengar tawa kecil dari bibir Ametys.

“…sebaiknya siapkan tongkat sihirmu, dan segera kirim aku ke Selatan.”
Ametys pun mengangkat tangan kanannya sambil memejamkan mata. Tak lama kemudian dari ruangan dalam, tongkat sihirnya melayang dengan cepat menuju ke arah telapak tangannya.

“Kita sudah bisa mulai,” ucapnya.

“Ya, kamu yang membaca mantranya.”

“Kamu akan mendarat dimana? Di puncak menara istana?”

“Bukan. Ada rumah tua dengan dua cerobong asap di sebelah selatan istana.”

“Rumah kakek Dorbo?”

“Betul, kamu pernah berkunjung ke sana, bukan? Aku bermaksud meminta bantuannya.”

“Ya, ya. Penyihir tua itu salah satu cenayang ulung yang masih dimiliki kaum sihir. Tapi… apakah kamu akan mengganggu istirahatnya. Mestinya di sana hari masih larut malam, bukan?”

“Tenang saja. Dia itu seperti kelelawar, jarang sekali tertidur di malam hari.”

“Oh begitu. Baiklah, segeralah bersiap-siap.”

Mereka berdua pun mengambil jarak dan berdiri berhadapan. Tak lama kemudian dari ujung tongkat sihir masing-masing berpendar cahaya putih, semakin lama semakin terang.


*****

(bersambung)
ilustrasi gambar dari www.deviantart.com

Komentar

pical gadi mengatakan…
Makasih mas. Salam :)