Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [52-54]


Mendengar hardikan Ruby, Basalto terkejut setengah mati. Ruby berhasil menembus pertahanan pikirannya. Tinggal masalah waktu saja sebelum dia membeberkan segala sesuatunya.
Basalto pun mengebaskan tangan kirinya dan tiba-tiba ruangan itu dipenuhi kabut tebal berwarna biru kehitaman. Asap itu membuat seluruh ruangan hampir gelap gulita. Dengan cepat Basalto membaca barisan mantra lainnya, sehingga dari tongkat sihirnya melesat cahaya berwarna biru yang menyambar semua perkamen dan kitab sihir dari atas meja. Begitu cahaya itu meredup, seluruh perkamen dan kitab sihir juga sirna.


Penyihir yang lainnya secara spontan membentuk menyelimuti diri mereka dengan energi sihir.

“Ini asap pengecoh, Kawan-kawan. Tidak berbahaya,” seru Ametys.

Basalto menggunakan kesempatan itu untuk segera melarikan diri dalam senyap. Sehingga pada saat kabut tebal memudar, ketiga penyihir kembali terkejut. Bukan saja karena Basalto telah hilang, tetapi juga perkamen serta kitab-kitab sihir pemicu masalah itu.

“Wah, Kawan-kawan. Thores membawa pergi semua mainan-mainannya,” ucap Ametys.

“Apa yang kamu lihat dalam pikiran Thores? Apa yang terjadi?” desak Emerald kepada Ruby.
Ruby berusaha menahan emosinya agar mampu mengendalikan kata-katanya.

“Tidak terlalu jelas sebenarnya, karena Thores mengunci pikirannya rapat-rapat. Tapi di saat-saat terakhir, aku melihat guru… guru sedang sekarat. Entah apa hubungannya, tetapi Thores memandang guru dengan dengan tatapan benci. Aku juga melihat racun yang dituangkan dalam ramuan guru dan guru yang benar-benar kesakitan. Ah, sedih dan marah rasanya. Sekaligus marah. Sejak dulu aku memang curiga, dia ada hubungannya dengan kematian guru. “

Ametys dan Emerald menatap tak percaya.

“…juga sepertinya aku melihat kitab kuno disitu. Kitab dengan sampul bergambar xxxx. Jangan-jangan dia juga ada kaitannya dengan kitab sihirmu yang hilang, Kesha.”

Emerald geram.

“…jika benar, semuanya jadi berhubungan sekarang. Tongkat sihir perak, penyihir berilmu tinggi yang mengenali seluk beluk istanaku…”

“Apapun yang terjadi kurasa sekarang kita sebaiknya menyusul Thores untuk memintanya menceritakan kebenarannya,” sambung Ametys.

“Benar. Apalagi dia sudah membawa pergi semua benda-benda itu.”

“Tanpa portal sihir dia tidak bisa memindahkannya jauh-jauh. Tapi kita mulai mencari darimana?”

Ruby memandang arah padepokan dari balik jendela.

“Satu-satunya tempat yang aman untuk menyembunyikan perkamen dan kitab sihir hitam itu adalah di padepokan. Banyak tempat penyimpanan rahasia di sana.”

“Jadi, tunggu apa lagi kawan-kawan. Ayo segera kesana.”

Ketiga penyihir itu pun kelua dari ruang kerja Basalto. Mereka lalu keluar dari istana, tetapi bukan dari pintu utama, melainkan dari salah satu pintu kecil yang menghubungkan istana dengan halaman samping padepokan.

Mereka melangkah terburu-buru. Tetapi saat sampai di halaman, langkah mereka terhenti. Di hadapan mereka, di tengah-tengah halaman itu terbentang barisan prajurit kerajaan Basalto dengan senjata tongkat sihir di tangan masing-masing. Sepertinya mereka menggunakan posisi siap tempur. Mata-mata  mereka terlihat sangat awas, seolah-olah tiga penyihir di depan mereka ini adalah buronan berbahaya yang harus dilumpuhkan segera.

Seketika itu udara di antara mereka pun serasa dipenuhi hawa mencekam.

Di tengah-tengah barisan prajurit itu, Basalto berdiri dengan mantap. Sekalipun ekspresinya terlihat tenang, Ruby tahu pikirannya sedang bergejolak hebat.

“Sialan, Thores!” geram Emerald.

“Kita selesaikan masalah ini dengan mudah, Kawan. Aku tidak pernah mengusik kepentingan kalian di kerajaan masing-masing, jadi marilah kita hidup tanpa saling menggangu satu sama lain. Jika kalian pergi baik-baik dari tempat ini, aku anggap masalah hari ini selesai. Bagaimana?” seru Basalto.

“Kami tidak akan pergi sebelum mendapatkan benda-benda sialan itu!” sahut Ruby.

“Kami bersikeras karena kami peduli, Thores. Jika Guru masih hidup dia pasti akan melakukan hal yang sama,” sambung Emerald.

“Guru sudah tidak ada lagi, jadi jangan mencatut namanya! Lagipula, guru lebih mempercayai aku untuk mengurus padepokan ini dibanding salah satu dari kalian.” Nada suara Basalto semakin tinggi.

“Masih tidak mengertikah kamu, Thores? Guru tidak mau meninggalkanmu karena dia khawatir hal seperti ini akan terjadi… dan hari ini ketakutannya terbukti!” Nada Ruby juga terdengar semakin tidak ramah.

Mata Basalto berkilat-kilat menahan amarah mendengar itu.

“Ah, sudahlah, Kawan. Kamu ingin masalah ini selesai dengan mudah, bukan? Caranya memang mudah, berikan kepada kami emas hitam itu, lalu kami akan pamit baik-baik, percayalah.” Ametys angkat bicara.

“Pendirianku masih sama seperti pada awal pembicaraan kita tadi. Aku tidak akan memberikannya kepada kalian.”

Emerald tertunduk, lalu tiba-tiba sebuah pemikiran melintas di benaknya. Dia pun kembali menghardik Basalto.

“Katamu tadi tidak mengusik kami, Thores. Tapi bagaimana dengan kitab sihir yang diberikan oleh mendiang guru Shandong?”

Basalto nampak sedikit terkejut. Ruby menajamkan pandangannya.

“Ya, teruskan, Kesha. Aku akan berusaha membaca pikirannya. Saat ini dia sedang rentan,” gumamnya.

“Apa maksudmu?” seru Basalto lagi.

“Aku tidak berhenti mencari, tapi sampai hari ini aku tidak menemukan pencuri kitab itu. Tidak kusangka pelakunya ternyata kawan sendiri. Padahal mestinya sesama kawan harus saling menjaga.”

“Tak salah lagi,” ucap Ruby. “Thores pelakunya. Kitab itu disimpannya pada salah satu tempat di dalam padepokan, sepertinya jika kita berhasil menemukan emas hitam, kita juga akan menemukan Kitab sihir milikmu.”

Basalto kembali terkejut. Lagi-lagi dia kecolongan. Ruby barusan berhasil menembus pikirannya.

“Kembalikan kitab sihirku sekarang, Thores!” seru Emerald. “Apa yang kamu pikirkan?”

 Basalto merasa tidak ada gunanya lagi bersandiwara. Dia pun tertawa terbahak-bahak.

 “Aku punya cita-cita besar, Kawan. Aku ingin menyatukan seluruh kaum sihir di Gopalagos dalam satu kerajaan tunggal. Bayangkan kekuatan besar yang bisa dihimpun jika mimpi itu terwujud. Selama ini kaum sihir hidup terpisah-pisah dan seringkali disisihkan dan diperlakukan semena-mena oleh manusia non-sihir. Cukup sudah cerita itu. Aku ingin kembali menegakkan martabat kaum sihir di benua ini. Maaf jika aku harus melukai prajurit-prajuritmu, Kesha. Pasti akan ada korban pada sebuah revolusi.”

“Jangan sampai cita-citamu itu memakan lebih banyak korban. Kami akan selalu berada paling depan untuk menjaga kedamaian antara kaum sihir dan manusia,” Emerald menghardik lagi.

“Aku menghargai kedamaian dan juga akan menjaganya. Tentu dengan caraku sendiri. Dan aku berjuang sendiri karena melihat kalian tidak memiliki visi yang sama denganku.”

Emerald, Ametys dan Ruby terlihat putus asa. Sepertinya sudah tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk merubah pikiran Basalto.

“Hentikan!”

Suara itu membuat ketegangan yang sudah sampai di ubun-ubun mereda sejenak. Mereka semua berpaling ke arah datangnya suara. Suara itu milik Viona yang telah berdiri bersama Daestar di dekat istana. Ratu kerajaan Basalto itu nampak ketakutan dan mendekap erat-erat Daestar di dadanya. Sementara itu, Daestar yang polos belum bisa sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi di tempat itu.

“Apa yang kalian lakukan?”

“Viona…!” Basalto nampak terkejut. Dia tidak peduli lagi tata krama dengan langsung memanggil nama istrinya. Padahal saat itu dia berada di depan prajurit-prajuritnya.

“Cepat tinggalkan tempat ini. Bawa Daestar sejauh mungkin!”

Viona menggeleng. Terlihat bulir bening mulai mengalir dari sudut-sudut matanya. Dia terlihat begitu cemas. Basalto menunduk lalu kembali menatap mata istrinya dalam-dalam. Dari kejauhan mereka berbahasa lewat pandangan mata. Basalto mencoba mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Tapi Viona tetap terlihat cemas.

“Kumohon, Ratu.” Emerald buka suara. Bagaimana pun juga dia memahami perasaan Viona sebagai sesama wanita. Tapi dia harus membantu menjauhkan Viona dan  Daestar dari musibah yang sedang mengancam di depan mata ini. “Dengarkan kata-kata Raja. Paling tidak bawa Daestar ke tempat yang aman untuk sementara waktu.”

Tangis Viona pun pecah. Daestar memandang tidak mengerti ke wajah ibunya. Lalu Viona membalikkan badan dan segera beranjak tergopoh-gopoh kembali ke dalam istana.

Emerald bernapas lega.

“Lihatlah, Thores. Belum apa-apa, keluargamu sudah harus merasakan akibatnya,” seru Ruby.

“Brengsek! Kalianlah penyebab ini semua,” geram Basalto.

Dia lalu berteriak lantang,

“Para prajurit! Aku memberi kalian izin untuk menyerang jika mereka maju selangkah saja ke arah padepokan. Tidak usah pedulikan kebesaran mereka. Mereka memang Raja di wilayah mereka, tetapi dengan tidak mematuhi Rajamu di tempat ini, perlakukan mereka sama seperti pemberontak.”

Darah Ruby, Emerald dan Ametys jadi mendidih mendengar perintah itu.

Jika diperhatikan baik-baik sejumlah prajurit seperti nampak ragu-ragu. Mereka merasa tidak semestinya menyerang pemimpin-pemimpin kaum sihir di hadapan mereka. Tetapi mau tidak mau mereka tetap harus mematuhi perintah Raja mereka.

Sebelum berbalik dan meninggalkan tempat itu, Basalto masih sempat mengarahkan telunjuknya ke arah tiga kawan yang kini jadi seterunya.

“Jangan salahkan aku. Kalian telah kuberi kesempatan,” ucapnya.

“Sialan, Thores. Dia hendak kemana?” gumam Emerald.

“Dia menuju ke padepokan. Sepertinya dia akan mengamankan emas hitam itu,” sahut Ametys.

“Ayo kita kejar. Kawan-kawan, siapkan energi kalian. Kita akan menembus barisan prajurit Thores ini,” sambung Ruby.

Keduanya mengangguk, lalu menggenggam erat-erat tongkat sihir mereka. Ketiganya maju pun bersamaan. Wajah mereka menegang, siap menghadapi segala kemungkinan.
Para prajurit yang awalnya terlihat ragu tidak punya pilihan lain melihat ketiga raja kaum sihir itu telah maju dan bersiap-siap menghadapi mereka. Dari tongkat masing-masing prajurit pun melesat cahaya biru bersuhu tinggi ke arah ketiga raja.

Mereka telah siap. Sesaat sebelum sihir itu sampai pada sasarannya, mereka telah membentuk selubung sihir besar menyerupai kubah biru kasat mata di sekitar mereka. Pada saat serangan dari para prajurit menghantam selubung sihir itu, terdengar ledakan besar diikuti percikan cahaya biru terang yang seketika memenuhi udara di tempat itu.

Sekalipun tidak berhasil mengenai sasarannya, serangan itu rupanya tidak boleh dianggap remeh. Akibat hempasan serangan yang gagal itu, Ruby sampai terjatuh sehingga Emerald dan Ametys membantunya berdiri.

“Mereka pasti prajurit-prajurit pilihan. Energi serangan mereka luar biasa,” ucap Emerald.

“Benar. Kita harus waspada,” sambung Ametys.

Sementara itu, para prajurit menunggu pergerakan sasaran mereka. Mereka telah mempersiapkan serangan berikutnya.

“Aku punya ide,” Emerald baru saja menemukan sebuah pemikiran. “Bagaimana kalau aku yang akan pergi menyusul Thores. Kalian buat para prajurit sibuk, lalu aku akan menyelinap diam-diam.”

Ruby menggeleng.

“Biar aku saja, Kesha. Thores terlalu berbahaya saat ini,” sergahnya.

“Tidak. Kalian berdua di sini. Biar aku yang kesana,” sambung Ametys.

Emerald menggeleng.

“Tentu aku tidak akan menang melawan Thores sendirian. Tetapi kalian berdua lebih punya peluang memenangkan pertempuran di sini. Setelah itu susul aku secepatnya. Aku hanya akan memperlambat pergerakan Thores.”

Ametys dan Ruby pun mengangguk paham.

“Baik, kalau begitu…” Ametys menghentakkan tongkat sihirnya ke tanah dengan mantap. “…kalian berdua lindungi aku. Aku yang akan mulai memberi mereka pelajaran.”

Setelah itu Ametys membaca lamat-lamat barisan mantra. Seiring lantuntan mantra, tongkat sihirnya diangkat tinggi-tinggi ke angkasa.

Melihat gelagat itu, para prajurit tidak menunggu lama. Mereka kembali mengirim serangan sihir berikutnya. Puluhan cahaya biru terang kembali melesat.

Untunglah kali ini Emerald dan Ruby lebih siap. Mereka segera memasang selubung sihir serupa kubah, hanya kali ini dengan energi sihir yang lebih besar. Serangan para prajurit pun berhasil dipatahkan. Terdengar suara ledakan demi ledakan saat sihir para prajurit berbenturan dengan dinding kubah.

Sementara itu, mantra Ametys sepertinya hampir tuntas. Awan gelap tiba-tiba berkumpul di atas lapangan tempat terjadinya pertempuran. Suhu udara turun drastis dan pemandangan seketika menjadi gelap. Petir pun mulai terdengar bersahutan di atas langit.

Sambil terus mempertahankan kubah sihirnya, Emerald tersenyum tipis.

“Basaman cerdas,” ucapnya.

“Ya,” sahut Ruby. “Kekuatan utama sihir api yang digunakan para prajurit berasal dari matahari.”

-------
(bersambung) 

ilustrasi gambar dari: themodernmage.com


                                                                                                                                

Komentar

pical gadi mengatakan…
Makasih mampirnya mas. Salam