Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Mendengar hardikan Ruby, Basalto terkejut setengah mati.
Ruby berhasil menembus pertahanan pikirannya. Tinggal masalah waktu saja
sebelum dia membeberkan segala sesuatunya.
Basalto pun mengebaskan tangan kirinya dan tiba-tiba ruangan
itu dipenuhi kabut tebal berwarna biru kehitaman. Asap itu membuat seluruh
ruangan hampir gelap gulita. Dengan cepat Basalto membaca barisan mantra lainnya,
sehingga dari tongkat sihirnya melesat cahaya berwarna biru yang menyambar
semua perkamen dan kitab sihir dari atas meja. Begitu cahaya itu meredup,
seluruh perkamen dan kitab sihir juga sirna.
Penyihir yang lainnya secara spontan membentuk menyelimuti
diri mereka dengan energi sihir.
“Ini asap pengecoh, Kawan-kawan. Tidak berbahaya,” seru
Ametys.
Basalto menggunakan kesempatan itu untuk segera melarikan
diri dalam senyap. Sehingga pada saat kabut tebal memudar, ketiga penyihir
kembali terkejut. Bukan saja karena Basalto telah hilang, tetapi juga perkamen
serta kitab-kitab sihir pemicu masalah itu.
“Wah, Kawan-kawan. Thores membawa pergi semua
mainan-mainannya,” ucap Ametys.
“Apa yang kamu lihat dalam
pikiran Thores? Apa yang terjadi?” desak Emerald kepada Ruby.
Ruby berusaha menahan emosinya agar
mampu mengendalikan kata-katanya.
“Tidak terlalu jelas sebenarnya,
karena Thores mengunci pikirannya rapat-rapat. Tapi di saat-saat terakhir, aku
melihat guru… guru sedang sekarat. Entah apa hubungannya, tetapi Thores
memandang guru dengan dengan tatapan benci. Aku juga melihat racun yang
dituangkan dalam ramuan guru dan guru yang benar-benar kesakitan. Ah, sedih dan
marah rasanya. Sekaligus marah. Sejak dulu aku memang curiga, dia ada
hubungannya dengan kematian guru. “
Ametys dan Emerald menatap tak
percaya.
“…juga sepertinya aku melihat
kitab kuno disitu. Kitab dengan sampul bergambar xxxx. Jangan-jangan dia juga
ada kaitannya dengan kitab sihirmu yang hilang, Kesha.”
Emerald geram.
“…jika benar, semuanya jadi
berhubungan sekarang. Tongkat sihir perak, penyihir berilmu tinggi yang
mengenali seluk beluk istanaku…”
“Apapun yang terjadi kurasa
sekarang kita sebaiknya menyusul Thores untuk memintanya menceritakan kebenarannya,”
sambung Ametys.
“Benar. Apalagi dia sudah membawa
pergi semua benda-benda itu.”
“Tanpa portal sihir dia tidak
bisa memindahkannya jauh-jauh. Tapi kita mulai mencari darimana?”
Ruby memandang arah padepokan
dari balik jendela.
“Satu-satunya tempat yang aman
untuk menyembunyikan perkamen dan kitab sihir hitam itu adalah di padepokan.
Banyak tempat penyimpanan rahasia di sana.”
“Jadi, tunggu apa lagi
kawan-kawan. Ayo segera kesana.”
Ketiga penyihir itu pun kelua
dari ruang kerja Basalto. Mereka lalu keluar dari istana, tetapi bukan dari
pintu utama, melainkan dari salah satu pintu kecil yang menghubungkan istana
dengan halaman samping padepokan.
Mereka melangkah terburu-buru. Tetapi
saat sampai di halaman, langkah mereka terhenti. Di hadapan mereka, di
tengah-tengah halaman itu terbentang barisan prajurit kerajaan Basalto dengan senjata
tongkat sihir di tangan masing-masing. Sepertinya mereka menggunakan posisi
siap tempur. Mata-mata mereka terlihat
sangat awas, seolah-olah tiga penyihir di depan mereka ini adalah buronan
berbahaya yang harus dilumpuhkan segera.
Seketika itu udara di antara
mereka pun serasa dipenuhi hawa mencekam.
Di tengah-tengah barisan prajurit
itu, Basalto berdiri dengan mantap. Sekalipun ekspresinya terlihat tenang, Ruby
tahu pikirannya sedang bergejolak hebat.
“Sialan, Thores!” geram Emerald.
“Kita selesaikan masalah ini dengan
mudah, Kawan. Aku tidak pernah mengusik kepentingan kalian di kerajaan
masing-masing, jadi marilah kita hidup tanpa saling menggangu satu sama lain.
Jika kalian pergi baik-baik dari tempat ini, aku anggap masalah hari ini
selesai. Bagaimana?” seru Basalto.
“Kami tidak akan pergi sebelum mendapatkan
benda-benda sialan itu!” sahut Ruby.
“Kami bersikeras karena kami
peduli, Thores. Jika Guru masih hidup dia pasti akan melakukan hal yang sama,”
sambung Emerald.
“Guru sudah tidak ada lagi, jadi
jangan mencatut namanya! Lagipula, guru lebih mempercayai aku untuk mengurus padepokan
ini dibanding salah satu dari kalian.” Nada suara Basalto semakin tinggi.
“Masih tidak mengertikah kamu,
Thores? Guru tidak mau meninggalkanmu karena dia khawatir hal seperti ini akan
terjadi… dan hari ini ketakutannya terbukti!” Nada Ruby juga terdengar semakin
tidak ramah.
Mata Basalto berkilat-kilat
menahan amarah mendengar itu.
“Ah, sudahlah, Kawan. Kamu ingin
masalah ini selesai dengan mudah, bukan? Caranya memang mudah, berikan kepada
kami emas hitam itu, lalu kami akan pamit baik-baik, percayalah.” Ametys angkat
bicara.
“Pendirianku masih sama seperti pada
awal pembicaraan kita tadi. Aku tidak akan memberikannya kepada kalian.”
Emerald tertunduk, lalu tiba-tiba
sebuah pemikiran melintas di benaknya. Dia pun kembali menghardik Basalto.
“Katamu tadi tidak mengusik kami,
Thores. Tapi bagaimana dengan kitab sihir yang diberikan oleh mendiang guru
Shandong?”
Basalto nampak sedikit terkejut.
Ruby menajamkan pandangannya.
“Ya, teruskan, Kesha. Aku akan
berusaha membaca pikirannya. Saat ini dia sedang rentan,” gumamnya.
“Apa maksudmu?” seru Basalto
lagi.
“Aku tidak berhenti mencari, tapi
sampai hari ini aku tidak menemukan pencuri kitab itu. Tidak kusangka pelakunya
ternyata kawan sendiri. Padahal mestinya sesama kawan harus saling menjaga.”
“Tak salah lagi,” ucap Ruby.
“Thores pelakunya. Kitab itu disimpannya pada salah satu tempat di dalam
padepokan, sepertinya jika kita berhasil menemukan emas hitam, kita juga akan
menemukan Kitab sihir milikmu.”
Basalto kembali terkejut.
Lagi-lagi dia kecolongan. Ruby barusan berhasil menembus pikirannya.
“Kembalikan kitab sihirku
sekarang, Thores!” seru Emerald. “Apa yang kamu pikirkan?”
Basalto merasa tidak ada gunanya lagi
bersandiwara. Dia pun tertawa terbahak-bahak.
“Aku punya cita-cita besar, Kawan. Aku ingin
menyatukan seluruh kaum sihir di Gopalagos
dalam satu kerajaan tunggal. Bayangkan kekuatan besar yang bisa dihimpun jika
mimpi itu terwujud. Selama ini kaum sihir hidup terpisah-pisah dan seringkali
disisihkan dan diperlakukan semena-mena oleh manusia non-sihir. Cukup sudah cerita
itu. Aku ingin kembali menegakkan martabat kaum sihir di benua ini. Maaf jika
aku harus melukai prajurit-prajuritmu, Kesha. Pasti akan ada korban pada sebuah
revolusi.”
“Jangan sampai cita-citamu itu memakan
lebih banyak korban. Kami akan selalu berada paling depan untuk menjaga kedamaian
antara kaum sihir dan manusia,” Emerald menghardik lagi.
“Aku menghargai kedamaian dan
juga akan menjaganya. Tentu dengan caraku sendiri. Dan aku berjuang sendiri
karena melihat kalian tidak memiliki visi yang sama denganku.”
Emerald, Ametys dan Ruby terlihat
putus asa. Sepertinya sudah tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk merubah
pikiran Basalto.
“Hentikan!”
Suara itu membuat ketegangan yang
sudah sampai di ubun-ubun mereda sejenak. Mereka semua berpaling ke arah
datangnya suara. Suara itu milik Viona yang telah berdiri bersama Daestar di dekat
istana. Ratu kerajaan Basalto itu nampak ketakutan dan mendekap erat-erat
Daestar di dadanya. Sementara itu, Daestar yang polos belum bisa sepenuhnya mengerti
apa yang sedang terjadi di tempat itu.
“Apa yang kalian lakukan?”
“Viona…!” Basalto nampak
terkejut. Dia tidak peduli lagi tata krama dengan langsung memanggil nama
istrinya. Padahal saat itu dia berada di depan prajurit-prajuritnya.
“Cepat tinggalkan tempat ini.
Bawa Daestar sejauh mungkin!”
Viona menggeleng. Terlihat bulir
bening mulai mengalir dari sudut-sudut matanya. Dia terlihat begitu cemas. Basalto
menunduk lalu kembali menatap mata istrinya dalam-dalam. Dari kejauhan mereka
berbahasa lewat pandangan mata. Basalto mencoba mengatakan kalau semuanya akan
baik-baik saja. Tapi Viona tetap terlihat cemas.
“Kumohon, Ratu.” Emerald buka
suara. Bagaimana pun juga dia memahami perasaan Viona sebagai sesama wanita. Tapi
dia harus membantu menjauhkan Viona dan Daestar
dari musibah yang sedang mengancam di depan mata ini. “Dengarkan kata-kata
Raja. Paling tidak bawa Daestar ke tempat yang aman untuk sementara waktu.”
Tangis Viona pun pecah. Daestar
memandang tidak mengerti ke wajah ibunya. Lalu Viona membalikkan badan dan
segera beranjak tergopoh-gopoh kembali ke dalam istana.
Emerald bernapas lega.
“Lihatlah, Thores. Belum apa-apa,
keluargamu sudah harus merasakan akibatnya,” seru Ruby.
“Brengsek! Kalianlah penyebab ini
semua,” geram Basalto.
Dia lalu berteriak lantang,
“Para prajurit! Aku memberi
kalian izin untuk menyerang jika mereka maju selangkah saja ke arah padepokan.
Tidak usah pedulikan kebesaran mereka. Mereka memang Raja di wilayah mereka,
tetapi dengan tidak mematuhi Rajamu di tempat ini, perlakukan mereka sama seperti
pemberontak.”
Darah Ruby, Emerald dan Ametys jadi
mendidih mendengar perintah itu.
Jika diperhatikan baik-baik sejumlah
prajurit seperti nampak ragu-ragu. Mereka merasa tidak semestinya menyerang
pemimpin-pemimpin kaum sihir di hadapan mereka. Tetapi mau tidak mau mereka tetap
harus mematuhi perintah Raja mereka.
Sebelum berbalik dan meninggalkan
tempat itu, Basalto masih sempat mengarahkan telunjuknya ke arah tiga kawan
yang kini jadi seterunya.
“Jangan salahkan aku. Kalian
telah kuberi kesempatan,” ucapnya.
“Sialan, Thores. Dia hendak
kemana?” gumam Emerald.
“Dia menuju ke padepokan. Sepertinya
dia akan mengamankan emas hitam itu,” sahut Ametys.
“Ayo kita kejar. Kawan-kawan,
siapkan energi kalian. Kita akan menembus barisan prajurit Thores ini,” sambung
Ruby.
Keduanya mengangguk, lalu
menggenggam erat-erat tongkat sihir mereka. Ketiganya maju pun bersamaan. Wajah
mereka menegang, siap menghadapi segala kemungkinan.
Para prajurit yang awalnya
terlihat ragu tidak punya pilihan lain melihat ketiga raja kaum sihir itu telah
maju dan bersiap-siap menghadapi mereka. Dari tongkat masing-masing prajurit pun
melesat cahaya biru bersuhu tinggi ke arah ketiga raja.
Mereka telah siap. Sesaat sebelum
sihir itu sampai pada sasarannya, mereka telah membentuk selubung sihir besar
menyerupai kubah biru kasat mata di sekitar mereka. Pada saat serangan dari
para prajurit menghantam selubung sihir itu, terdengar ledakan besar diikuti percikan
cahaya biru terang yang seketika memenuhi udara di tempat itu.
Sekalipun tidak berhasil mengenai
sasarannya, serangan itu rupanya tidak boleh dianggap remeh. Akibat hempasan
serangan yang gagal itu, Ruby sampai terjatuh sehingga Emerald dan Ametys
membantunya berdiri.
“Mereka pasti prajurit-prajurit
pilihan. Energi serangan mereka luar biasa,” ucap Emerald.
“Benar. Kita harus waspada,”
sambung Ametys.
Sementara itu, para prajurit
menunggu pergerakan sasaran mereka. Mereka telah mempersiapkan serangan
berikutnya.
“Aku punya ide,” Emerald baru
saja menemukan sebuah pemikiran. “Bagaimana kalau aku yang akan pergi menyusul
Thores. Kalian buat para prajurit sibuk, lalu aku akan menyelinap diam-diam.”
Ruby menggeleng.
“Biar aku saja, Kesha. Thores
terlalu berbahaya saat ini,” sergahnya.
“Tidak. Kalian berdua di sini.
Biar aku yang kesana,” sambung Ametys.
Emerald menggeleng.
“Tentu aku tidak akan menang
melawan Thores sendirian. Tetapi kalian berdua lebih punya peluang memenangkan
pertempuran di sini. Setelah itu susul aku secepatnya. Aku hanya akan
memperlambat pergerakan Thores.”
Ametys dan Ruby pun mengangguk
paham.
“Baik, kalau begitu…” Ametys
menghentakkan tongkat sihirnya ke tanah dengan mantap. “…kalian berdua lindungi
aku. Aku yang akan mulai memberi mereka pelajaran.”
Setelah itu Ametys membaca
lamat-lamat barisan mantra. Seiring lantuntan mantra, tongkat sihirnya diangkat
tinggi-tinggi ke angkasa.
Melihat gelagat itu, para prajurit
tidak menunggu lama. Mereka kembali mengirim serangan sihir berikutnya. Puluhan
cahaya biru terang kembali melesat.
Untunglah kali ini Emerald dan
Ruby lebih siap. Mereka segera memasang selubung sihir serupa kubah, hanya kali
ini dengan energi sihir yang lebih besar. Serangan para prajurit pun berhasil
dipatahkan. Terdengar suara ledakan demi ledakan saat sihir para prajurit
berbenturan dengan dinding kubah.
Sementara itu, mantra Ametys
sepertinya hampir tuntas. Awan gelap tiba-tiba berkumpul di atas lapangan
tempat terjadinya pertempuran. Suhu udara turun drastis dan pemandangan seketika
menjadi gelap. Petir pun mulai terdengar bersahutan di atas langit.
Sambil terus mempertahankan kubah
sihirnya, Emerald tersenyum tipis.
“Basaman cerdas,” ucapnya.
“Ya,” sahut Ruby. “Kekuatan utama
sihir api yang digunakan para prajurit berasal dari matahari.”
Komentar