Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [55-56]




Prajurit Basalto yang mengamati keadaan itu menjadi cemas. Bukan saja karena mereka baru kali ini melihat mantra yang dapat mengubah cuaca, namun energi serangan-serangan sihir api mereka bisa berkurang cahaya matahari seperti pada awal pertempuran tadi.

Sekalipun mereka tetap melancarkan serangan demi serangan, terlihat barisan para prajurit mundur selangkah demi selangkah.

Ametys menatap tajam ke arah para prajurit dan menutup mantranya dengan lantang,


“Api dunia terhapus semesta, kerikil langit menimpa, bangkit peredam samudra, tangisan malam membahanaaa….!”

Tiba-tiba angin dari empat penjuru bertiup kencang di arena pertempuran, membuat semua orang kesulitan mempertahankan posisi kakinya. Lalu dari langit berjatuhan hujan lebat yang menghajar para prajurit.

Mereka berseru-seru kesakitan. Hujan itu rupanya bukan hanya air saja, tetapi bercampur kristal-kristal es yang tajam mengiris kulit.

“Cepat pasang selubung sihir!” terdengar perintah salah satu prajurit, sepertinya berpangkat paling tinggi di antara mereka.

“Jangan mundur! Tetap pertahankan barisan pertahanan…!” serunya lagi.

Ametys tersenyum.

“Baik, konsentrasi mereka sedang buyar. Kesha, cepatlah mengejar Thores.”

Emerald mengangguk. Dia lalu berlari ke arah ujung barisan, tempat yang nampak paling mudah untuk diterobos. Saat itu hujan es lebat di atas para prajurit memang menyulitkan pandangan.
Namun tiba-tiba melesat sihir serupa cahaya petir ke arah Emerald. Emerald masih sempat menangkisnya. Namun dia terhempas beberapa langkah ke belakang. Enam orang prajurit pun berlari ke arahnya sambil terus menghujaninya dengan serangan-serangan sihir.

“Sialan! Mereka mengetahui gelagat Kesha. Aku akan membantunya, Basaman. Sepertinya kita butuh senjata tambahan untuk menghalau mereka,” ucap Ruby.

Kaki kanannya disentakkan dan dengan ilmu meringankan diri dia melayang ke arah Emerald yang gerakannya terhambat oleh serangan para prajurit.

Ametys memejamkan mata sejenak. Ujung tongkat sihirnya berpendar, lalu sambil berteriak “Badai kosmis…!” dia mengayunkan tongkat itu. Deru angin kembali terdengar menghempas para prajurit. Sejumlah prajurit berjatuhan tidak sanggup menahan hempasan angin yang ditimbulkan sihir Ametys.

“Napas 12 Naga!” seru Ruby dari udara. Tongkat sihirnya lalu memuntahkan beberapa bola api ke arah 6 prajurit di hadapan Emerald. Prajurit-prajurit itu dengan sigap menghindar, sehingga serangan sihir Ruby hanya mengenai dan menghanguskan tanah kosong.

“Kamu baik-baik saja?” tanyanya begitu sampai di samping Emerald.

“Aku terkena salah satu serangan mereka. Tidak parah, tapi bantu akumenahan mereka untuk beberapa waktu. Aku akan mengeluarkan racun sihirnya segera.”

“Mereka menggunakan sihir mematikan?”

Emerald mengangguk.

“Sialan! Mereka benar-benar ingin membunuh kita. Kalau begitu kita harus berhenti main-main dengan mereka.”

“Sudahlah, Huria. Mereka hanya bawahan yang mengikuti perintah Thores. Cukup halau saja mereka dari jalanku.”

Emerald lalu memejamkan mata sambil meletakkan tangan kirinya melintang di depan dadanya. Mantra penyembuhan kembali dilantunkan untuk mengeluarkan racun yang masuk bersama serangan sihir ke dalam tubuhnya.

Sementara itu, keenam prajurit masih terus melepaskan tembakan-tembakan sihir. Ruby menangkisnya dengan sigap. Di belakang keenam prajurit berdatangan belasan prajurit lainnya.
Para  prajurit kini membagi formasi mereka menjadi dua. Sebagian meladeni Ametys, sisanya bergerak menuju ke arah Emerald dan Ruby.

Emerald terbatuk, memuntahkan darah dan dahak kehitaman.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Lebih baik,” sahut Emerald.

“Mereka berdatangan. Bisa gantian, kamu yang menahan serangan mereka. Aku akan butuh waktu sebentar untuk membaca mantra.”

Emerald mengangguk. Lalu memasang badan di depan Ruby dan berteriak lantang untuk membangkitkan semangat. Para prajurit terhenti sejenak. Menunggu serangan apa yang akan dilancarkan Emerald. Beberapa lagi nampak gentar melihat wajah garang Emerald.

“Cakra auroraaa…!!” seru Emerald lagi. Lalu batu pada tongkat sihirnya bersinar biru terang dan melesatkan gelombang sihir yang terlihat seperti ratusan larik sinar berwarna biru kemerahan ke arah para prajurit di depannya.

Para prajurit sudah siap dengan serangan itu. Mereka segera membentuk selubung sihir, tapi energi sihir Emerald lebih besar sehingga serangan itu berhasil menembus pertahanan sihir mereka. 
Beberapa prajurit terjatuh dan menjerit pilu.

Tapi sebagian besar masih bertahan dan segera membalas. Dua tiga prajurit melepaskan serangan-serangan mematikan, terlihat dari warna serangannya yang memerah terang. Emerald berteriak sambil mengayunkan tongkat sihirnya untuk menangkis serangan itu. Ledakan dahsyat kembali terdengar. Beberapa prajurit yang terkena pantulan mantra terjatuh.

Emerald terlihat mulai kewalahan mempertahankan diri sekaligus melindungi Ruby.

Sementara itu dari pihak lawan, kendati sudah cukup banyak prajurit yang berjatuhan. Masih lebih banyak yang tetap bertahan dan mereka telah bersiap meluncurkan serangan berikutnya.

“Aku sudah selesai, Kesha.” Suara berat Ruby terdengar. “Minggirlah…”

Batu mulia pada ujung tongkat sihir Ruby berpendar merah. Petir-petir kecil sesekali melesak keluar dari ujung tongkat sihir Ruby, seperti menyimpan energi dahsyat yang sebentar lagi akan dimuntahkan.

Emerald pun terlihat takjub.

“Serang! Terus serang!” perintah salah satu prajurit. Mereka kembali bergerak untuk melepas sihir-sihir berbahaya, tetapi seruan lantang Ruby duluan terdengar,

“Segara Bertapa…!!” sambil mengayunkan tongkat sihirnya.

Akhirnya energi sihir yang tersimpan pun dilepaskan. Saat terkena hempasan energi sihir itu para prajurit yang akan meluncurkan serangan berikutnya menjadi diam tak bergeming. Semua mematung, terpaku pada posisi masing-masing. Beberap prajurit terlihat mengulurkan tangan ke depan, beberapa meletakkan tangan di depan wajah untuk menahan hempasan energi sihir, sebagian lagi masih terbaring terdiam di tanah.

Ruby menghela napasnya dalam-dalam. Dia terlihat senang, karena mantranya bekerja dengan baik. Emerald semakin takjub.

“Hebat, Ruby. Aku butuh waktu lebih lama untuk membekukan pikiran… satu orang saja. Kamu melakukannya untuk lusinan orang di sini,” ucapnya.

“Ayo lakukan tugasmu, Kesha. Mantra ini hanya bekerja selama 12 helaan napas. Sementara itu aku akan membantu Basaman di sana.”

“Baiklah…”

Emerald pun berlari di antara pasukan yang mematung itu menuju ke arah padepokan. Pandangannya menajam.

****
Sementara itu Basalto berjalan terburu-buru dengan langkah lebar menuju ke bangunan utama padepokan. Saat dia menghampiri pintu bangunan utama, beberapa guru keluar dari kelas-kelas. 

Mereka penasaran dengan kegaduhan yang terjadi di sekitar istana.

“Apa yang terjadi, Yang Mulia. Para prajurit sedang berlatih?” tanya salah satu Guru.

Tetapi Basalto bukannya menjawab malah memberi perintah.

“Arahkan semua murid untuk menuju ke ruang meditasi. Beri mereka latihan kontemplasi atau pelajaran apapun yang membuat mereka tetap tenang di dalam. Jangan biarkan seorang pun keluar sampai aku memberi perintah lebih lanjut. Sekarang!”

Melihat raut wajah Basalto saat memberi perintah, para guru tidak berani lagi membantah.

“Baik, Yang Mulia,” sahut mereka.

Setelah para guru berlalu, Basalto memandang angkasa. Awan hitam mendung mulai menyelimuti tempat itu. Dari kejauhan terdengar petir mulai bersahut-sahutan.

Sepertinya sihir Ametys berhasil memancing awan hitam berdatangan dari seluruh penjuru langit.
Basalto pun mendorong pintu dengan kasar. Beberapa murid yang sedang bertugas membersihkan ruangan, sampai terkejut dibuatnya.

“Berhenti bekerja. Sekarang kalian bergabung dengan murid yang lain menuju ke ruangan meditasi lalu dengarkan perintah para guru!”

“Baik, Guru,” sahut mereka sambil mengangguk takzim. Tanpa berlama-lama lagi mereka segera membawa peralatan mereka keluar dari tempat itu.

Basalto mendengus kesal. Lalu kembali melanjutkan langkahnya. Dia melewati beberapa ruangan sampai menemukan jalan menuju ke ruangan bawah tanah. Di bawah situlah dia menyimpan emas hitam yang tadi dipindahkan lewat kekuatan sihir pada salah satu ruangan rahasia. Mekanisme sihir yang tadi digunakan sebenarnya mirip dengan mekanisme portal sihir, hanya saja karena energi yang digunakan tidak sebesar membangun sebuah portal sihir, benda yang disihir tidak bisa dipindahkan dengan jarak terlalu jauh dari tempatnya semula.

Tadi saat merapal mantra, Basalto tidak sempat memimirkan lokasi lain lagi, selain ruang penyimpanan rahasia yang dibangun pada lantai bawah bangunan utama padepokan itu.

Kini Basalto menelusuri satu tangga lagi yang membawanya lebih dalam masuk ke perut bumi. Cahaya matahari tak bisa lagi menjangkau tempat itu. Penerangan obor juga tidak dinyalakan. Basalto pun mengetuk ujung tongkat sihir peraknya ke lantai, sehingga batu mulia di ujung tongkatnya berpendar mengeluarkan cahaya biru cerah.

Dinding-dinding lorong bawah tanah yang panjang pun kini terlihat lebih jelas.

------

(Bersambung)
 ilustrasi gambar dari: seraphoid.deviantart.com

Komentar

pical gadi mengatakan…
Makasih mas :)