Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Soulcatcher


Sebelumnya aku punya banyak kehidupan. Aku telah melewati rupa-rupa zaman.

Pada kehidupan dan zamanku kali ini, aku adalah seorang remaja putri berwajah sendu. Aku tinggal di sebuah desa pinggiran hutan pinus. Ayah dan ibuku telah tiada, mungkin mereka juga telah pergi kepada kehidupannya yang lain. Entahlah. Yang jelas aku kini cukup menikmati keseharianku sebagai seorang anak panti asuhan.


Setiap siang aku berlari menelusuri jalan setengah permanen dalam balutan seragam sekolah. Aku suka berlari. Berlari membuat angin dataran tinggi yang sejuk menerpa wajah dan badanku.
Tapi siang ini aku menghirup aroma yang asing. Asing sekaligus sangat familiar, seperti aroma kayu damar dipadu dengan kuntum melati.

Aroma itu berasal dari seorang lelaki muda, nampaknya berselisih beberapa tahun saja dariku. Dia sedang mengejar sesuatu di antara pinus yang memagari jalanan desa. Tangan kanannya melambai-lambaikan sebuah jaring kupu-kupu dan tangan kirinya memegang sebuah botol. Botol minuman kurasa.

Wajahnya tampan tapi kelihatan begitu pucat, sama putihnya dengan jubah yang dia kenakan. Saat menatapku dia berhenti bergerak lalu berdiri mematung.

Dia terus terdiam, jadi aku memaksa diri untuk menyapa begitu aku melewatinya.

“Apa yang kakak lakukan?”

“Aku sedang menangkap jiwa-jiwa…,” jawabnya dingin.

“Jiwa-jiwa?”

“Ya.”

“Untuk apa?”

“Mm… untuk mengisi botol minumanku. Hanya dengan cara inilah aku bisa terus hidup.”

Dia seperti bisa membaca pikiranku.

“Kamu belum bisa melihatnya, jiwa-jiwa itu. Belum. Sampai kamu mati.”

“Aku belum mau mati, Kak.”

Dia terdiam. Cukup lama. Tatapannya menajam sebelum bertanya,

“Siapa namamu?”

“Laras…”

“Laras, kamu akan segera mati. Entah bagaimana caranya, tapi kamu akan mati.”

Aku terkejut.

“Darimana Kakak tahu?”

“Semua yang bisa melihatku akan segera mati.”

Hening sejenak.

“Apa yang akan membuat aku mati?”

Pertanyaan terakhirku itu tidak dijawabnya. Dia malah mengumpat kesal dan kembali berlari dengan jaring kupu-kupunya.

Aku pun melanjutkan perjalananku.

Suhu udara menjadi semakin dingin. Aku hampir tidak memperhatikan saat itu langit sedang mendung. Aku juga tidak tahu kalau ada berpasang-pasang mata yang sedang menatapku tajam dari balik belukar. Mereka mengintai, seperti harimau yang sedang mengawasi kijang buruannya.
Suara petir yang hadir tiba-tiba menggetarkan gendang pendengaranku. Suara petir itu, akhirnya jadi suara petir terakhirku.

***** 

Sepi.


Dingin.


Gelap.


Sampai aku mendengar samar-samar panggilan namaku. Panggilan itu seperti membangunkanku dari mimpi yang panjang dan melelahkan. Aku pun berusaha sekuat tenaga membuka kedua pelupuk mata.

Begitu pohon-pohon pinus tinggi menyambutku, aku berteriak terkejut karena angin yang berhembus tiba-tiba menghempaskanku seperti butiran kapas. Tubuhku terasa begitu ringan, pun ketika kaki-kaki telanjangku menapak rerumputan yang masih menyisakan butiran embun pagi.

Sekali melangkah, aku kembali terkejut. Aku seperti memandang cermin dari dunia lain.
Tubuhku terkapar kaku di antara semak belukar, tersembunyi. Ya, aku melihat tubuhku sendiri, setengah telanjang dengan bekas lebam di sana-sini. Tubuh itu tidak bergerak sama sekali dan serangga-serangga penghuni tanah mulai menggerogotinya. Aku… apa aku telah mati?

Tetapi mengapa kematianku kali ini begitu tragis?

Endapan memoriku berputar cepat. Mereka membekapku, tangan-tangan kekar, pemuda-pemuda dengan nafsu iblis, hutan pinus. Ahh, mengapa aku harus meregang nyawa di tangan manusia-manusia bejat itu?

Air mataku mengalir deras. Aku pun memenuhi hutan dengan jeritan pilu yang panjang. Aku melolong seperti serigala, sekuat tenaga melepas pedih dan ketakutan yang masih tersisa.
Tak ingin melihat kepedihan itu lebih lama, aku pun membalikkan badan dan berlari sekencang mungkin.  Aku benar-benar sudah mati. Berkali-kali aku menembus pohon-pohon pinus yang menghalangi jalanku. Angin dataran tinggi pun jadi seperti kawan yang mengantarku ke arah manapun yang aku inginkan.

Tapi hanya sesaat, sebelum aku terperangkap. Tali-tali tak kasat mata tiba-tiba membelitku erat. Aku berusaha memberontak, tetapi belitan itu terasa semakin kuat.
Bukankah seharusnya aku bisa menembus apapun?

Tapi jawabannya datang saat aku mengendus aroma damar dan melati yang sangat kuat.

“Sudah kubilang kamu akan mati,” suaranya menggema lamat-lamat.

Tahu-tahu aku kini berada di ujung jari-jari pemuda itu dan dengan sigap dia memasukkanku dalam botol minumannya.

Aku terhempas di atas lantai kaca.

Aku tidak sendiri. Ada puluhan jiwa sepertiku yang tenggelam dalam diam dan hampir dibekukan ketakutan mereka sendiri. Aku juga punya satu ketakutan saat ini.


Bagaimana kalau aku tidak akan pernah dilahirkan kembali?


-------


Ilustrasi gambar dari: angelstorm-82.deviantart.com
Pertama kali ditayangkan di kompasiana.com


 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Lis Suwasono mengatakan…
Supeeerrr 👍👍👍
pical gadi mengatakan…
Tengkyu jempolnya bu Lis...
Salam weekend
pical gadi mengatakan…
Makasih mas. Salam :)
pical gadi mengatakan…
Terima kasih. Salam