Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Pintu portal terbuka di dekat batu kubur mendiang Guru
Shandong. Mereka sudah beberapa kali mengunjungi makam tokoh besar dalam
sejarah kaum sihir tersebut.
Sekalipun sudah berumur puluhan tahun, kuburan itu tetapi
terjaga kebersihannya. Beberapa kaum sihir yang tinggal dekat dengan lokasi
tersebut secara rutin datang dan membersihkan kubur tersebut, termasuk kubur
raja Basalto dibangun tidak terlalu jauh dari kuburan guru Shandong, di dataran
yang lebih rendah.
Keadaan kubur Guru Shandong yang terawat begitu kontras
dengan keadaan di sekitarnya. Halaman belakang istana yang mengarah di tepi
sungai Kharrum kini telah dipenuhi
dengan semak belukar dan tanaman bersulur. Beberapa pohon juga nampak telah
menapakkan akar-akarnya dan memenuhi tempat itu.
Mirina, Enror dan Orion kemudian melangkah melewati
semak-semak menuju ke arah padepokan.
Matahari pagi baru saja menyapa wilayah itu, jadi dinginnya embun masih bisa terasa menggantung
di udara.
Sesekali hewan-hewan liar seperti serangga raksasa dan
hewan-hewan pengerat yang ditinggalkan malam menghalangi jalan mereka. Tetapi
mereka berhasil mengusir hewan-hewan itu dengan satu dua sentilan sihir.
Setelah melewati hutan setengah belantara, mereka sampai di
halaman depan padepokan. Di situ hanya tersisa sedikit rerumputan. Tidak ada
perdu atau semak belukar yang tumbuh. Konon, mantra kuno agar halaman tidak
diganggu oleh tanaman liar memang pernah dipasang oleh pendahulu Guru Shandong,
dan sampai sekarang mantra itu tetap bekerja.
Sementara itu, rumah-rumah padepokan tinggal jadi
puing-puing. Satu-satunya bangunan yang masih cukup utuh adalah bangunan utama
padepokan.
Mereka merinding. Bukan karena hawa pagi, tapi mereka masih
bisa merasa endapan energi jahat dari emas hitam yang disembunyikan dalam ruang
bawah tanah padepokan.
“Luar biasa… Bahkan setelah diberi perisai yang banyak,
endapan hawa jahat dari emas hitam itu masih bisa terasa sampai di luar sini,”
ucap Orion.
Enror membenarkan. Tapi Mirina nampak ragu-ragu. Dia
berjalan mendekat ke arah pintu bangunan utama padepokan yang sudah terlepas
dari engsel-engsel pengikatnya.
“Aku merasa ada endapan energi sihir lain di tempat ini,”
ucapnya.
Enror dan Orion mengikuti langkah Mirina perlahan sambil
menajamkan indra sihir mereka. Mirina benar.
“Kalian merasakannya?” tanya Mirina lagi. “Ada endapan sihir
di tempat ini, sepertinya baru hadir beberapa hari yang lalu.”
“…ada penyihir lain yang memasuki tempat ini,” ucap Basalto.
“…dan mereka berhasil mematahkan banyak perisai sihir.”
Suara Mirina meninggi. Rasa khawatir mulai menyinggahi hati Orion dan Enror,
juga Mirina.
Ratu kerajaan Ruby itu lalu melebarkan kembali perkamen
berisi alur peta di hadapannya. Orion dan Enror mendekat.
Peta itu berisi denah, ruang-ruang bawah tanah berusia lebih
dari seratus tahun di bawah padepokan. Ada dua tingkat ke bawah tanah. Beberapa
ruangan diberi simbol tertentu, seperti bulan sabit, mata kucing, bola api dan
simbol lainnya. Ruangan-ruangan itu hanya bisa dibuka dengan mantra tertentu,
beberapa lainnya bahkan dilengkapi dengan jebakan-jebakan mematikan.
Tujuan awal ruangan rahasia itu dibangun adalah untuk
mengamankan kitab-kitab rahasia atau benda-benda berharga milik padepokan. Tapi
setelah memasuki masa damai, ruangan-ruangan itu kurang difungsikan lagi.
“Aku membawa petanya, dan aku harap kamu menguasai
mantranya,” tutur Mirina pada Orion.
“Aku berusaha semampunya,” balas Orion.
Tak lama kemudian, ketiga penyihir sudah menelusuri
lorong-lorong bawah tanah, setelah melewati ruangan dalam bangunan utama padepokan
yang telah penuh debu dan sarang serangga.
Mereka memendarkan
batu mulia di ujung tongkat sihir masing-masing agar menjadi sumber penerangan
mereka.
Mereka tak berhenti berdecak ngeri setiap kali menemukan
sisa-sisa perisai sihir berkekuatan tinggi yang berhasil dilucuti penyihir yang
mendahului mereka. Setelah memeriksa beberapa ruangan yang diberi simbol dengan
hasil nihil, mereka pun sampai pada ruangan terakhir. Ruangan itu berada pada
lantai paling bawah. Mereka terkejut, begitu melihat lorong yang dipenuhi
bangkai kalajengking.
“Sihir api,” gumam Enror.
“…sepertinya mereka selalu selangkah di depan kita,” sambung
Orion.
“Mari berharap penyihir itu tidak berhasil menemukan yang
kita cari, walaupun aku benar-benar memiliki firasat buruk tentang ini,” suara
Mirina terdengar bergetar.
Sayangnya, firasat Mirina memang terbukit benar.
Orion berhasil membuka ruang rahasia yang dimaksud dengan
mantra yang sesuai namun begitu tembok pembatas ruangan terangkat ke atas dan menyingkapkan isi ruangan, mereka
terkejut.
Ruangan berisi meja dan lemari-lemar nampaka terobrak-abrik.
Dari bekas debu dan keadaan ruangan, jelas terlihat kalau sebelumnya ada orang
yang masuk ke ruangan itu dan saat keluar membawa serta sebagian isi ruangan.
Orion dan Enror kelihatan semakin cemas. Mirina yang
bertampang paling dingin tetap tidak bisa menyembunyikan ekspresi serupa dari
gurat-gurat wajahnya.
“Pelakunya bukan hanya satu penyihir…”
“Sepertinya kita menemukan jawaban sekaligus pertanyaan
baru,” ucap Enror.
“Tidak salah, lagi. Di sinilah awal kutukan yang menimpa
Putri Raja Philos,” sambung Orion.
“Itu jawabannya. Pertanyaannya, siapa mereka? dan apa yang
sedang mereka rencanakan?”
Ketiganya bertatapan.
“Kita harus memeriksa perkamen dan kitab-kitab yang tersisa,
siapa tahu ada petunjuk mengenai kutuk yang menimpa putri raja Philos,” ucap
Enror sambil mengarahkan telapak tangannya untuk mengindrai kalau-kalau ada
perisai sihir lainnya yang dipasang di ruangan itu. Tetapi sepertinya keadaan
cukup aman.
“Benar. Setelah itu aku harus segera kembali ke kerajaan
Zatyr,” Orion berkata mantap namun tetap tidak bisa menutupi kekhawatirannya.
*********
Pasar Zoram adalah
pasar rakyat terbesar se-Gopalagos yang menghampar di pesisir kota dengan nama
yang sama, kota terbesar di kerajaan Zatyr. Pasar ini tidak pernah sepi,
kecuali pada hari-hari besar untuk menghormati dewa-dewa tertentu.
Bahkan pada senja
menjelang malam seperti ini, pembeli masih saja berdatangan dan penjual masih
masih betah menjajakan dagangannya. Rupa-rupa dagangan bisa kita temukan dengan
mudah di pasar ini, mulai dari hasil pertanian, ikan dan daging segar maupun
yang diasapkan, perhiasan, pernak-pernik, pakaian, senjata sampai bahan-bahan
untuk membuat ramuan sihir, seperti sisik naga dan empedu er.
Dari rupa-rupa
dagangan yang digelar, mudah ditebak jika penjual dan pembelinya bukan hanya
dari manusia non-sihir saja. Banyak penyihir yang juga mencari hidup dari
keramaian pasar ini. Interaksi antara kaum sihir dan non-sihir ini sudah
berlangsung bertahun-tahun lamanya, dan selama ini tidak pernah terjadi masalah
dengan kebersamaan itu.
Mari kita melewati lorong-lorong yang sesak dan sesekali
becek menuju ke bagian belakang pasar, tempat tenda-tenda berisi penjual
kudapan berdiri.
Lebih ke belakang lagi, ada sebuah tenda berukuran sedang
kecil berisi bocah-bocah yang menonton pertunjukan sulap kelas pinggiran jalan.
Sang pesulap yang sudah dimakan usia memakai jubah hitam
butut dengan topi lancip berbau apek. Jubah lebarnya begitu kontras dengan
tubuhnya yang ceking dan jemari yang kurus seperti ranting meranggas. Pesulap
itu tak lain adalah penyihir yang sudah bertahun-tahun mencari nafkah dengan
pertunjukkan sihir yang dikemas menjadi sulap.
Namun para orang tua senang. Karena mereka suka menitip
anak-anak mereka di situ selagi mereka berbelanja sepuasnya lalu pada saat
kembali mereka cukup membayar dengan beberapa Durha saja.
Durha adalah mata uang yang lazim digunakan di kerajaan
Zatyr dan beberapa kerajaan sekitar.
Sebentar lagi pertunjukan akan ditutup, sehingga sang
pesulap sampai pada pertunjukan pamungkasnya. Sebelum itu dia mengeluarkan
beberapa ekor kelinci dari dalam topi lancipnya dan membuat mulut belasan anak
yang duduk beralas karpet kumal membulat seperti mata ayam.
Beberapa orang dewasa, orang tua anak-anak itu, mulai
memasuki tenda satu demi satu karena mengetahui kalau pertunjukan dan tenda
pesulap akan segera ditutup. Tenda jadi semakin sesak dan panas. Asisten pesulap, seorang remaja berambut
kuning barisan jerawat sebesar butiran jagung di pinggir-pinggir pipinya juga
sudah bersiap-siap dengan kotak uang di dekat orang-orang dewasa itu.
“Nah, anak-anak bersiap-siaplah untuk pertunjukan terakhir
yang… menegangkan!” pesulap itu mencoba membuat suasana jadi mencekam, namun
malah jadi terdengar lucu karena suaranya yang serak seperti gagak sekarat.
“Mm… untuk pertunjukan ini aku butuh seorang relawan, orang
dewasa dari penonton. Ada yang bersedia?”
Suasana mendadak hening. Anak-anak berbalik ke belakang mereka untuk mengamati siapa
kira-kira orang dewasa yang terpilih.
Saat itu di antara penonton ada seorang pria kekar dan
memakai baju kulit yang memamerkan otot lengannya. Pria itu berkepala plontos
dengan kumis dan janggut dipangkas tipis, berdiri di sisi kanan barisan orang
dewasa.
“Bagaimana dengan anda, Tuan?”
Pesulap menunjuk pria kekar itu.
“Dari pantulan cahaya pelita aku bisa melihat ketulusan hati
anda. Anda bisa jadi orang yang tepat untuk sulap ini. Kemarilah, Tuan.”
Pria itu pun melangkah maju dengan mantap.
Sesampainya di samping pesulap dia ditugaskan memegang
dengan kedua tangannya sebuah pot tanah liat berisi air. Pesulap itu lalu
berbisik,
“Anda tidak perlu takut, Tuan. Percaya saja padaku, tidak
akan terjadi apa-apa pada anda.”
Pria berkepala plontos mengangguk.
“Anak-anak, kalian pernah melihat ular?” tanya pesulap lagi.
“Pernaaah…!” jawab bocah-bocah itu hampir serentak.
“Sebesar apa?”
Bocah-bocah itu menjadi gaduh, karena masing-masing
menjawab. Beberapa menunjukkan tangannya untuk menggambarkan ukuran ular yang
pernah dilihatnya.
“Baiklah. Perhatikan baik-baik. Aku akan mengeluarkan ular
dari dalam pot ini…”
Pesulap mengedipkan sebelah matanya ke pria berkepala
plontos.
“…lalu ular itu akan berjalan mengelilingi badan pria besar
ini, dan setelahnya masuk kembali ke dalam pot. Bagaimana?”
Terdengar gumam kekaguman dari anak-anak itu. Beberapa orang
dewasa menatap pesulap dengan pandangan tak percaya.
“Ya… ya… ya, aku bisa melakukannya,” ucap pesulap itu lagi
diikuti tawa seraknya.
“Baiklah kita akan segera mulai…”
Tentu saja sulap itu hanya trik sihir saja. Jika
kelinci-kelinci yang keluar dari topi tadi adalah kelinci sebenarnya yang
dipindahkan dengan kekuatan sihir, kali ini pesulap akan sihir ilusi untuk
memanipulasi pandangan mata penontonnya. Dia bukan pertama kali melakukannya,
tapi tetap saja butuh energi sihir yang besar jika dilakukan di depan puluhan
pasang mata orang sekaligus.
Dia pun mengambil tongkat kayu sepanjang lengan pria dewasa,
untuk membantunya memfokuskan energi sihir.
“Nah, anak-anak sekalian, dengar baik-baik,” kali ini suara
pesulap terdengar memberat.
“Apapun yang terjadi nanti, aku minta kalian tetap tenang.
Kalian boleh terkejut, kalian boleh terpesona, tapi kalian tidak boleh bergeser
dari tempat duduk kalian sedikit pun dan melakukan hal-hal berbahaya, sampai
seluruh sulap selesai. Pesan ini juga untuk para orang tua. Ini penting untuk
dipahami. Apa kalian mengerti?”
Anak-anak itu mengangguk-angguk diikuti beberapa orang
dewasa.
Pesulap itu pun mengarahkan ujung tongkatnya ke atas pot
dalam genggaman pria berkepala plontos. Matanya terpejam, dan bibirnya yang
setengah keriput bergerak-gerak pelan. Dia sedang membaca beberapa barisan
mantra perlahan sambil memfokuskan energi sihirnya. Dia pun menyentakkan ujung
tongkatnya.
----
(bersambung)
ilustrasi gambar dari: guides.gamepressure.com
Komentar