Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Basalto Terakhir [66-67]



Pintu portal terbuka di dekat batu kubur mendiang Guru Shandong. Mereka sudah beberapa kali mengunjungi makam tokoh besar dalam sejarah kaum sihir tersebut. 

Sekalipun sudah berumur puluhan tahun, kuburan itu tetapi terjaga kebersihannya. Beberapa kaum sihir yang tinggal dekat dengan lokasi tersebut secara rutin datang dan membersihkan kubur tersebut, termasuk kubur raja Basalto dibangun tidak terlalu jauh dari kuburan guru Shandong, di dataran yang lebih rendah.

Keadaan kubur Guru Shandong yang terawat begitu kontras dengan keadaan di sekitarnya. Halaman belakang istana yang mengarah di tepi sungai Kharrum kini telah dipenuhi dengan semak belukar dan tanaman bersulur. Beberapa pohon juga nampak telah menapakkan akar-akarnya dan memenuhi tempat itu.


Mirina, Enror dan Orion kemudian melangkah melewati semak-semak menuju ke arah padepokan.  Matahari pagi baru saja menyapa wilayah itu,  jadi dinginnya embun masih bisa terasa menggantung di udara.

Sesekali hewan-hewan liar seperti serangga raksasa dan hewan-hewan pengerat yang ditinggalkan malam menghalangi jalan mereka. Tetapi mereka berhasil mengusir hewan-hewan itu dengan satu dua sentilan sihir.

Setelah melewati hutan setengah belantara, mereka sampai di halaman depan padepokan. Di situ hanya tersisa sedikit rerumputan. Tidak ada perdu atau semak belukar yang tumbuh. Konon, mantra kuno agar halaman tidak diganggu oleh tanaman liar memang pernah dipasang oleh pendahulu Guru Shandong, dan sampai sekarang mantra itu tetap bekerja.

Sementara itu, rumah-rumah padepokan tinggal jadi puing-puing. Satu-satunya bangunan yang masih cukup utuh adalah bangunan utama padepokan.

Mereka merinding. Bukan karena hawa pagi, tapi mereka masih bisa merasa endapan energi jahat dari emas hitam yang disembunyikan dalam ruang bawah tanah padepokan.

“Luar biasa… Bahkan setelah diberi perisai yang banyak, endapan hawa jahat dari emas hitam itu masih bisa terasa sampai di luar sini,” ucap Orion.

Enror membenarkan. Tapi Mirina nampak ragu-ragu. Dia berjalan mendekat ke arah pintu bangunan utama padepokan yang sudah terlepas dari engsel-engsel pengikatnya.

“Aku merasa ada endapan energi sihir lain di tempat ini,” ucapnya.

Enror dan Orion mengikuti langkah Mirina perlahan sambil menajamkan indra sihir mereka. Mirina benar.

“Kalian merasakannya?” tanya Mirina lagi. “Ada endapan sihir di tempat ini, sepertinya baru hadir beberapa hari yang lalu.”

“…ada penyihir lain yang memasuki tempat ini,” ucap Basalto.

“…dan mereka berhasil mematahkan banyak perisai sihir.” Suara Mirina meninggi. Rasa khawatir mulai menyinggahi hati Orion dan Enror, juga Mirina.

Ratu kerajaan Ruby itu lalu melebarkan kembali perkamen berisi alur peta di hadapannya. Orion dan Enror mendekat.

Peta itu berisi denah, ruang-ruang bawah tanah berusia lebih dari seratus tahun di bawah padepokan. Ada dua tingkat ke bawah tanah. Beberapa ruangan diberi simbol tertentu, seperti bulan sabit, mata kucing, bola api dan simbol lainnya. Ruangan-ruangan itu hanya bisa dibuka dengan mantra tertentu, beberapa lainnya bahkan dilengkapi dengan jebakan-jebakan mematikan.

Tujuan awal ruangan rahasia itu dibangun adalah untuk mengamankan kitab-kitab rahasia atau benda-benda berharga milik padepokan. Tapi setelah memasuki masa damai, ruangan-ruangan itu kurang difungsikan lagi.

“Aku membawa petanya, dan aku harap kamu menguasai mantranya,” tutur Mirina pada Orion.

“Aku berusaha semampunya,” balas Orion.

Tak lama kemudian, ketiga penyihir sudah menelusuri lorong-lorong bawah tanah, setelah melewati ruangan dalam bangunan utama padepokan yang telah penuh debu dan sarang serangga.
 Mereka memendarkan batu mulia di ujung tongkat sihir masing-masing agar menjadi sumber penerangan mereka.

Mereka tak berhenti berdecak ngeri setiap kali menemukan sisa-sisa perisai sihir berkekuatan tinggi yang berhasil dilucuti penyihir yang mendahului mereka. Setelah memeriksa beberapa ruangan yang diberi simbol dengan hasil nihil, mereka pun sampai pada ruangan terakhir. Ruangan itu berada pada lantai paling bawah. Mereka terkejut, begitu melihat lorong yang dipenuhi bangkai kalajengking.

“Sihir api,” gumam Enror.

“…sepertinya mereka selalu selangkah di depan kita,” sambung Orion.

“Mari berharap penyihir itu tidak berhasil menemukan yang kita cari, walaupun aku benar-benar memiliki firasat buruk tentang ini,” suara Mirina terdengar bergetar.

Sayangnya, firasat Mirina memang terbukit benar.

Orion berhasil membuka ruang rahasia yang dimaksud dengan mantra yang sesuai namun begitu tembok pembatas ruangan terangkat ke  atas dan menyingkapkan isi ruangan, mereka terkejut.

Ruangan berisi meja dan lemari-lemar nampaka terobrak-abrik. Dari bekas debu dan keadaan ruangan, jelas terlihat kalau sebelumnya ada orang yang masuk ke ruangan itu dan saat keluar membawa serta sebagian isi ruangan.

Orion dan Enror kelihatan semakin cemas. Mirina yang bertampang paling dingin tetap tidak bisa menyembunyikan ekspresi serupa dari gurat-gurat wajahnya.

“Pelakunya bukan hanya satu penyihir…”

“Sepertinya kita menemukan jawaban sekaligus pertanyaan baru,” ucap Enror.

“Tidak salah, lagi. Di sinilah awal kutukan yang menimpa Putri Raja Philos,” sambung Orion.

“Itu jawabannya. Pertanyaannya, siapa mereka? dan apa yang sedang mereka rencanakan?”

Ketiganya bertatapan.

“Kita harus memeriksa perkamen dan kitab-kitab yang tersisa, siapa tahu ada petunjuk mengenai kutuk yang menimpa putri raja Philos,” ucap Enror sambil mengarahkan telapak tangannya untuk mengindrai kalau-kalau ada perisai sihir lainnya yang dipasang di ruangan itu. Tetapi sepertinya keadaan cukup aman.

“Benar. Setelah itu aku harus segera kembali ke kerajaan Zatyr,” Orion berkata mantap namun tetap tidak bisa menutupi kekhawatirannya.

*********

Pasar Zoram adalah pasar rakyat terbesar se-Gopalagos yang menghampar di pesisir kota dengan nama yang sama, kota terbesar di kerajaan Zatyr. Pasar ini tidak pernah sepi, kecuali pada hari-hari besar untuk menghormati dewa-dewa tertentu.

Bahkan pada senja menjelang malam seperti ini, pembeli masih saja berdatangan dan penjual masih masih betah menjajakan dagangannya. Rupa-rupa dagangan bisa kita temukan dengan mudah di pasar ini, mulai dari hasil pertanian, ikan dan daging segar maupun yang diasapkan, perhiasan, pernak-pernik, pakaian, senjata sampai bahan-bahan untuk membuat ramuan sihir, seperti sisik naga dan empedu er.

Dari rupa-rupa dagangan yang digelar, mudah ditebak jika penjual dan pembelinya bukan hanya dari manusia non-sihir saja. Banyak penyihir yang juga mencari hidup dari keramaian pasar ini. Interaksi antara kaum sihir dan non-sihir ini sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya, dan selama ini tidak pernah terjadi masalah dengan kebersamaan itu. 

Mari kita melewati lorong-lorong yang sesak dan sesekali becek menuju ke bagian belakang pasar, tempat tenda-tenda berisi penjual kudapan berdiri.

Lebih ke belakang lagi, ada sebuah tenda berukuran sedang kecil berisi bocah-bocah yang menonton pertunjukan sulap kelas pinggiran jalan.

Sang pesulap yang sudah dimakan usia memakai jubah hitam butut dengan topi lancip berbau apek. Jubah lebarnya begitu kontras dengan tubuhnya yang ceking dan jemari yang kurus seperti ranting meranggas. Pesulap itu tak lain adalah penyihir yang sudah bertahun-tahun mencari nafkah dengan pertunjukkan sihir yang dikemas menjadi sulap.

Namun para orang tua senang. Karena mereka suka menitip anak-anak mereka di situ selagi mereka berbelanja sepuasnya lalu pada saat kembali mereka cukup membayar dengan beberapa Durha saja. 

Durha adalah mata uang yang lazim digunakan di kerajaan Zatyr dan beberapa kerajaan sekitar.

Sebentar lagi pertunjukan akan ditutup, sehingga sang pesulap sampai pada pertunjukan pamungkasnya. Sebelum itu dia mengeluarkan beberapa ekor kelinci dari dalam topi lancipnya dan membuat mulut belasan anak yang duduk beralas karpet kumal membulat seperti mata ayam.

Beberapa orang dewasa, orang tua anak-anak itu, mulai memasuki tenda satu demi satu karena mengetahui kalau pertunjukan dan tenda pesulap akan segera ditutup. Tenda jadi semakin sesak dan panas.  Asisten pesulap, seorang remaja berambut kuning barisan jerawat sebesar butiran jagung di pinggir-pinggir pipinya juga sudah bersiap-siap dengan kotak uang di dekat orang-orang dewasa itu.

“Nah, anak-anak bersiap-siaplah untuk pertunjukan terakhir yang… menegangkan!” pesulap itu mencoba membuat suasana jadi mencekam, namun malah jadi terdengar lucu karena suaranya yang serak seperti gagak sekarat.

“Mm… untuk pertunjukan ini aku butuh seorang relawan, orang dewasa dari penonton. Ada yang bersedia?”

Suasana mendadak hening. Anak-anak berbalik  ke belakang mereka untuk mengamati siapa kira-kira orang dewasa yang terpilih.

Saat itu di antara penonton ada seorang pria kekar dan memakai baju kulit yang memamerkan otot lengannya. Pria itu berkepala plontos dengan kumis dan janggut dipangkas tipis, berdiri di sisi kanan barisan orang dewasa.

“Bagaimana dengan anda, Tuan?”

Pesulap menunjuk pria kekar itu.

“Dari pantulan cahaya pelita aku bisa melihat ketulusan hati anda. Anda bisa jadi orang yang tepat untuk sulap ini. Kemarilah, Tuan.”

Pria itu pun melangkah maju dengan mantap.

Sesampainya di samping pesulap dia ditugaskan memegang dengan kedua tangannya sebuah pot tanah liat berisi air. Pesulap itu lalu berbisik,

“Anda tidak perlu takut, Tuan. Percaya saja padaku, tidak akan terjadi apa-apa pada anda.”

Pria berkepala plontos mengangguk.

“Anak-anak, kalian pernah melihat ular?” tanya pesulap lagi.

“Pernaaah…!” jawab bocah-bocah itu hampir serentak.

“Sebesar apa?”

Bocah-bocah itu menjadi gaduh, karena masing-masing menjawab. Beberapa menunjukkan tangannya untuk menggambarkan ukuran ular yang pernah dilihatnya.

“Baiklah. Perhatikan baik-baik. Aku akan mengeluarkan ular dari dalam pot ini…”

Pesulap mengedipkan sebelah matanya ke pria berkepala plontos.

“…lalu ular itu akan berjalan mengelilingi badan pria besar ini, dan setelahnya masuk kembali ke dalam pot. Bagaimana?”

Terdengar gumam kekaguman dari anak-anak itu. Beberapa orang dewasa menatap pesulap dengan pandangan tak percaya.

“Ya… ya… ya, aku bisa melakukannya,” ucap pesulap itu lagi diikuti tawa seraknya.

“Baiklah kita akan segera mulai…”

Tentu saja sulap itu hanya trik sihir saja. Jika kelinci-kelinci yang keluar dari topi tadi adalah kelinci sebenarnya yang dipindahkan dengan kekuatan sihir, kali ini pesulap akan sihir ilusi untuk memanipulasi pandangan mata penontonnya. Dia bukan pertama kali melakukannya, tapi tetap saja butuh energi sihir yang besar jika dilakukan di depan puluhan pasang mata orang sekaligus.

Dia pun mengambil tongkat kayu sepanjang lengan pria dewasa, untuk membantunya memfokuskan energi sihir.

“Nah, anak-anak sekalian, dengar baik-baik,” kali ini suara pesulap terdengar memberat.

“Apapun yang terjadi nanti, aku minta kalian tetap tenang. Kalian boleh terkejut, kalian boleh terpesona, tapi kalian tidak boleh bergeser dari tempat duduk kalian sedikit pun dan melakukan hal-hal berbahaya, sampai seluruh sulap selesai. Pesan ini juga untuk para orang tua. Ini penting untuk dipahami. Apa kalian mengerti?”

Anak-anak itu mengangguk-angguk diikuti beberapa orang dewasa.


Pesulap itu pun mengarahkan ujung tongkatnya ke atas pot dalam genggaman pria berkepala plontos. Matanya terpejam, dan bibirnya yang setengah keriput bergerak-gerak pelan. Dia sedang membaca beberapa barisan mantra perlahan sambil memfokuskan energi sihirnya. Dia pun menyentakkan ujung tongkatnya.

----

(bersambung)

ilustrasi gambar dari: guides.gamepressure.com

Komentar

Fidia mengatakan…
Wow! imajniasinya keren banget nih.
pical gadi mengatakan…
Makasih mas. Salam
pical gadi mengatakan…
Makasih sudah mampir mbak Fidia. Salam :)