Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Penonton tanpa sadar menahan napas menunggu apa yang akan
terjadi. Nihil.
Pesulap itu juga sedang menahan napasnya. Sepertinya
sulapnya tidak bekerja kali ini. Dia kembali memejamkan matanya lalu
menyalurkan energinya melalui ujung tongkat dalam genggamanya. Tidak ada yang
terjadi. Pria berkepala plontos tetap bergeming.
"Ada yang salah," gumamnya. Titik-titik peluh mulai
membasahi keningnya.
Dua orang keluar dari dalam tenda. Satu lagi pergi sambil
menyeret kedua anaknya. Mereka semua pergi begitu saja. Padahal remaja pembawa
kotak uang pertunjukan sejak tadi berdiri di depan tenda dengan wajah memelas.
"Maaf, Anak- anak, sepertinya ada kesalahan. Hmm...
mungkin ularnya singgah sebentar untuk membeli telur di pasar, lalu lupa jalan
pulang."
Beberapa anak masih bisa tersenyum simpul dalam ketegangan
mereka. Pria berkepala plontos yang sejak tadi diam seperti patung juga memaksa
diri tersenyum. Tetapi dari bahasa tubuh pesulap jelas terlihat kalau dia
sedang kebingungan.
Pesulap itu pun mencoba untuk ketiga kalinya. Kali ini gumam
mantranya terdengar semakin jelas menggema di dalam tenda. Beberapa orang jadi
semakin yakin kalau pesulap ini adalah salah satu kaum sihir. Tetapi mereka
tetap penasaran.
Pesulap sekali lagi menyentakkan tongkat sihirnya ke depan.
Pria berkepala plontos tetap bergeming. Yang terjadi kemudian adalah tongkat
sihirnya terpental ke bagian belakang tenda.
Beberapa anak menjerit. Seekor ular Piton tiba-tiba muncul
di atas peti berisi tumpukan properti sulap lainnya. Masalahnya, peti itu
berada di sisi tenda, cukup dekat dengan tempat anak-anak duduk.
Ular itu kelihatan begitu tenang, namun lidahnya terjulur
berkali-kali membuat anak-anak cukup ketakutan. Beberapa orang tua mulai
menarik anak-anak mereka.
Pesulap geram. Pertunjukan pamungkasnya tidak berjalan
mulus. Dia mengibaskan tangan kanannya, dan pemandangan ular itu sirna seketika
seperti asap yang dibawa angin.
"Pertunjukkan malam ini selesai," ucapnya ketus.
Terdengar teriakan kecewa dari beberapa penonton. Tidak ada
tepuk tangan takjub seperti biasanya. Anak-anak pun berdiri dan ditemani para
orang tua bergerak meninggalkan tenda. Untunglah masih ada beberapa orang yang
peduli dengan wajah memelas remaja pembawa kotak uang, sehingga satu dua keping
Durha mengalir ke dalam kotak.
Setelah tenda cukup sepi, pesulap menumpahkan kekesalannya
kepada pria berkepala plontos.
"Aku sudah bertahun-tahun tidak bertemua orang
sepertimu. Mengapa tidak bilang sejak tadi?"
Pria berkepala plontos mengangkat bahunya.
"Kamu tidak memberiku kesempatan, Pak tua."
Pesulap itu menggeleng-geleng, lalu meraih beberapa koin
Durha dari kotak sumbangan dan menyerahkannya kepada pria berkepala plontos.
"Aku bisa memberimu empat kali lipat kalau saja
pertunjukan tadi berhasil."
"Itu bukan kesalahanku, kan?"
"Jelas kesalahanmu, bodoh! Sekarang pergilah, dan
jangan pernah mengganggu pertunjukanku lagi."
Pria berkepala plontos pun meninggalkan tempat itu. Mesti
hanya diberi upah beberapa Durha, dia cukup senang. Sudah bisa dipakai membeli
sekerat daging panggang, atau semangkuk sop kacang merah untuk makan malam hari
ini.
Saat keluar dari tenda dua pria lain mengikutinya diam-diam.
Mereka baru mencegatnya setelah berada di lorong pasar yang agak sepi.
Pria berkepala plontos bersiap-siap melayangkan tinjunya
sesaat sebelum salah satu pria memperlihatkan gagang pedang yang tersembunyi di
balik jubahnya.
"Kamu datang dalam damai, Tuan. Kami melihat yang
terjadi dalan tenda pesulap tua itu."
"Apa yang kalian inginkan?"
"Kami ingin anda bersedia bergabung dengan prajurit
kerajaan Zatyr. Pasukan khusus kaum Sagit."
Hening sejenak.
"Aku bukan petarung. Aku pandai besi yang baru saja
sampai di kerajaan ini."
"Tentu. Anda akan dilatih dengan baik sampai menjadi
prajurit sejati."
Pria berkepala plontos kembali berpikir.
"Oh ya. Dari mana anda mendapatkan darah Sagit. Berapa banyak orang lagi dalam keluarga anda
yang seperti anda?" cecar pria berpedang.
"Kakek buyutku seorang prajurit Sagit. Bayaran. Dia dan
kawan-kawannya hidup berpindah-pindah di wilayah barat pada saat perang dengan
kaum sihir berlangsung. Setahuku dalam generasi ini, aku satu-satunya orang
yang berdarah Sagit."
"Jadi bagaimana keputusan anda?"
"Apa kita akan berperang melawan kaum sihir lagi?"
"Belum. Tapi kita harus mempersiapkan diri. Tidak
tahukah anda kabar kalau kaum sihir telah mencelakai putri Raja Philos?"
Pria berkepala plontos menggeleng.
"Itu menjelaskan kebingungan anda. Baiklah, kesempatan
terakhir, anda ikut atau tidak?"
“Entahlah. Selama ini tenagaku selalu dihargai dengan uang.
Apa jadi prajurit juga sepeti itu?"
Pria di depannya tersenyum.
"80 Durha sebulan. Selama pelatihan berlangsung seluruh
keperluan makan minum akan ditanggung kerajaan."
"Wah, tawaran yg menarik, Tuan. Aku ikut. Kapan kita
mulai?"
"Temui aku besok sebelum matahari terbit di tempat ini.
Bawa barang-barang secukupnya, karena anda
akan dibawak ke suatu tempat untuk jangka waktu yang belum
ditentukan."
"Aku sudah biasa bepergian. Itu saja?"
"Satu lagi. Pelatihan prajurit Sagit ini, termasuk
pertemuan kita malam ini sangat rahasia. Jangan coba-coba menceritakannya
kepada siapapun termasuk orang-orang serumah anda."
“Aku rasa itu mudah. Aku meninggalkan istri dan anakku jauh
di kerajaan lain.”
“Baik, Tuan. Sampai ketemu besok. Jangan main-main dengan
kami. Kota ini penuh dengan mata-mata kerajaan.”
Pria berkepala plontos mengangguk.
-----
(bersambung)
ilustrasi gambar dari: guides.gamepressure.com
Komentar