Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Kamis siang ini akan menjadi
momen yang istimewa. Istimewa, karena jika semuanya berjalan mulus, saya bisa menjadi
cowok paling bahagia se-Indonesia Raya. Atau bisa juga sebaliknya.
Motor skuter matic
saya parkirkan di depan rumah kontrakan Tisa. Tak lama kemudian saya mengetuk
pintu depan rumah.
Pintu terbuka dan wajah manis seorang cewek mungil muncul di
situ. Itu Febri.
"Loh, tidak kuliah, Feb?"
"Sebenarnya ada. Tapi mendadak kumat malasnya begitu
lihat kak Tisa mau masak Kapurung.”
Saya tersenyum.
"Mulai berani bolos, ya."
"Sesekali tidak apa kan," gelak Febri. "Yuk
masuk, Kak. Siapa tahu bisa bantu-bantu."
Saya pun masuk mengekori langkah Febri.
Saya sudah pernah mencicipi salah satu makanan khas dari
daerah Sulawesi Selatan itu. Adonan sagu yang diberi kuah sayur bening dan
ikan. Rasanya memang enak dan yang pasti sehat. Tapi saya belum pernah melihat
langsung proses “peracikannya”.
Saya sepertinya mesti mengurungkan niat sebentar lagi. Tadi
niatnya mau mengajak Tisa jalan ke tempat romantis. Mumpung honor pemuatan
cerpen di salah satu majalah lokal baru saja cair dan setiap hari kamis, kami
sama-sama free mata kuliah. Entahlah.
Sepertinya sebuah kebetulan yang sudah diatur Tuhan. Padahal saya di jurusan eknik
elektro dan dia matematika.
Aroma ikan masak dengan bumbu kunyit yang strong langsung menyapa indra penciuman
begitu kami melewati ruang tamu menuju ke dapur.
"Hera kuliah ya?" saya bertanya.
"Iya, Kak. Dari pagi tadi."
Sesampainya di dapur tercium aroma wangi yang lain. Tisa
sedang menyangrai setumpuk kacang tanah.
"Wah, enak nih," saya berseru begitu melihat
pemandangan itu.
"Kamu, Do!"
Tisa menoleh sebentar melanjutkan kembali kegiatannya mengaduk-aduk kuali berisi
kacang tanah itu.
Tisya memakai kaos abu-abu berlengan pendek. Rambut lurus
sebahunya dikuncir ke atas, memamerkan leher jenjangnya yang mulai bertabur
keringat. Tapi dia justru kelihatan manis dengan penampakkan seperti itu.
Pada tungku kompor yang lain aku melihat panci ikan tanpa
penutup dengan kuah kuning mendidih.
Di sisi dapur yang lain, Febri sibuk memetik sayur-sayuran.
Ada beberapa ikat kacang panjang, bayam, kangkung, juga ada beberapa potong
jagung manis. Sosoknya yang imut-imut membuatnya terlihat lucu, seperti tenggelam
di dalam tumpukan sayur itu.
Febri memandangi kami bergantian.
"Kak, jadi bisa ditinggal ke kampus nih? Kan ada kak Edo
yang bantu."
Tisa terkejut lalu memandang lucu ke arah Febri.
"Lahh… tadi kan kamu yang ngotot pengen bolos, makanya saya
jadi semangat bikin kapurung siang ini. Lagian Edo kalau disuruh bahaya, bisa
habis duluan masakannya. Lihat tuh perutnya udah offside gitu."
Aku menggaruk-garuk kepala. Febri dan Tisa terkekeh. Memang dia
suka sekali meledek perutku yang sedikit buncit ini.
"Calon orang kaya,"
saya mencoba membela diri. "Modal perut dulu, nanti dompetnya
nyusul."
Tisya dan Febri tergelak lagi.
"Eh, tapi boleh juga dibantu biar cepat kelar. Udah
lapar nih. Ya, Do?"
"Boleh..."
"Mulai dengan ini."
Tisa memindahkan kacang yang sudah disangrai ke piring
keramik lebar. Lalu meletakkannya di atas meja makan di depanku. Kacang itu
sudah bersih dari kulit arinya. Sepertinya sudah dibuang sebelum disangrai.
"Tolong kacangnya ditumbuk halus. Pakai itu."
Jemari Tisa diarahkan ke cobekan kayu di atas meja.
"Siap, Kumendan."
"Jangan diabisin ya kacangnya ya," Tisa tertawa
lagi.
“Beres.”
Setelah itu Tisa mengangkat
panci berisi ikan masak, lalu menggantinya dengan panci lain berisi air.
Kelihatannya saat sudah mendidih, air itu yang akan digunakan untuk membuat
bola-bola sagunya. Tisa memindahkan ikan-ikan bandeng dari dalam panci ke
piring, lalu menuang kuah ikan itu pada mangkuk khusus. Ikan bandengnya lalu
disuir-suir menggunakan garpu.
Sementara itu, saya meletakkan cobekan di atas lantai lalu
mulai menumbuk kacang sedikit demi sedikit. Suara tumbukan terdengar berirama.
Happ…! Satu butir kacang masuk ke rongga mulut. Febri yang melihat tersenyum
geli. Saya memberi isyarat dengan memasang telunjuk di depan bibir.
“Perhatikan, ya Feb,” ucap Tisa tanpa menoleh. “Takutnya
lebih banyak yang diembat dibanding yang ditumbuk.”
Saya sedikit terkejut. Ternyata Tisa juga melihat tadi. Febri
tertawa.
“Oh, iya. Feb, kayaknya terasi buat bahan sambal habis deh.
Tolong beli di warung depan ya.
Uangnya ambil saja di saku celana jeans saya di
belakang pintu.”
“Oke deh, Kak. Ada yang lain lagi?”
“Mm… beli minuman dingin kalau ada. Buat ngupah yang numbuk
kacang…”
“Eh, eh. Tidak usah…”
Tisa tertawa.
“Ya, kalau tidak mau buat Febri saja.”
Saya buru-buru berdiri dan mengeluarkan dompet dari saku
belakang. Maksudnya mau menambah uang belanja Febri. Tapi cewek itu sudah
buru-buru lari ke depan.
“Cieee… yang baru gajian,” goda Tisa.
“Tahu aja,” sahut saya.
“Ya, tahu. Orang kamu yang bilang sendiri.”
Saya pura-pura bingung.
“Gitu, ya?”
Tisa berpindah posisi. Mengambil alih tempat Febri tadinya,
untuk melanjutkan memotong sayur kangkung yang tersisa.
“Tis…”
“Iya.”
“Sebentar kita jalan, yuk.”
“Kemana?”
“Terserah kamu. Tadinya sih mau ngajak makan siang. Tapi
berhubung kalian masak, ya kita ganti agenda. Nonton, atau ke tempat rekreasi.
Gimana?”
Hidung Tisa kembang kempis. Kelihatan senang.
“Keuangan lagi tipis nih,” ucapnya.
“Saya yang traktir kok, Tis.”
“Febri diajak gak?” tanyanya.
Saya mengernyitkan kening. Tisa tertawa lagi.
“Bercanda… Iya, deh. Tapi agak sorean ya, tunggu Hera
pulang. Kasihan Tisa sendiri di rumah.”
“Sipp…”
Saya bahagia, Tisa merespon dengan baik ajakan ini. Tapi kok
detak jantung ini mulai tidak beraturan ya? Saya pun mencoba menetralkan
debaran jantung dengan menumbuk kacang lebih bersemangat.
Sudah setengahnya
ditumbuk halus. Tinggal setengah lagi.
Happ…! Sebutir kacang kembali masuk ke dalam mulut.
Kelihatannya Tisa tidak berhasil menangkap basah kali ini. Mata beningnya tetap
menatap potongan kangkung dengan serius.
Setelah seluruh urusan potong-memotong sayur selesai. Tisa
menyalakan kompor yang satu lagi. Dengan cekatan dia mencuci kuali yang tadi
dipakai menyangrai kacang. Kuali itu akan digunakan untuk memasak sayur mayur.
Tepat pada saat itu Febri kembali ke dapur.
“Kamu yang buat sambal ya, Feb. Kan kamu paling jago tuh
urusan sambal menyambal.”
Febri mengiyakan.
Kuali dinaikkan ke atas kompor. Tisa pun memasukkan air lalu
menunggu air mendidih sebelum memasukkan sayuran ke dalamnya.
Urusan kacang selesai. Saat itu air dalam panci pada tungku
yang satu lagi sudah mendidih. Febri pun meminta saya untuk membantunya menuang
air dalam panci ke atas rendaman sagu dalam baskom yang sudah dia siapkan di
lantai. Biar prosesnya lebih mudah.
“Ini bagian yang paling penting, Do. Kalau airnya kedikitan,
bola-bola sagunya bisa jadi terlalu keras. Tapi kalau kebanyakan jadinya
terlalu lembek. Jadi tuang airnya sedikit demi sedikit ya.
Langsung berhenti
kalau saya bilang stop.”
“Siap!”
Dengan alas kain lap yang tebal, saya pun memegang telinga
panci berisi air mendidih itu. Agak kesulitan, karena ukuran panci cukup besar
dan uap air mendidih itu seperti ikut membakar wajah saya.
Tisa sudah siap di sisi baskom sagu dengan spatula kayu yang
besar.
“Oke, Do. Tuang airnya pelan-pelan.”
Saya pun mulai memiringkan mulut panci.
“Okeh, terus… terus…”
Rendaman sagu yang terkena air panas pun mulai menggumpal
pertanda sagunya mulai masak. Tisa mengaduk untuk memastikan proses memasak
sagunya lebih merata.
“Stop dulu, Do.”
Aku berhenti.
Tisa terus mengaduk sambil sesekali mengangkat tinggi-tinggi
adukannya dan membiarkan gumpalan sagu berjatuhan untuk melihat tekstur
sagunya.
“Airnya dikit lagi,”
Aku menuang kembali air dari panci.
“Sip! Stop, Do. Kayaknya udah pas nih,” ucap Tisa sambiil
terus mengaduk.
Sementara itu, Febri yang sedang mengulek tomat dan lombok.
Beralih sebentar untuk memasukkan sayur ke dalam kuali yang sudah mendidih.
“Kerja sama yang baik, ya,” ucap saya.
“Iya, dong, Kak,” sahut Febri.
Tisa mengambil dua batang sumpit lalu duduk manis di sisi
adonan kapurung yang telah berubah warna menjadi lebih bening pertanda
seluruhnya telah masak.
“Buat apa tuh, Tis?”
“Ini buat menggulung sagunya, biar bola-bola sagunya nanti
ukurannya sama.”
Saya mengangguk-angguk. Lalu menyimak saja dia dengan
asyiknya mencedok dan menggulung adonan sagu itu memakai dua sumpit dengan
cekatan menggunakan teknik khusus. Bola-bola sagu yang berhasil dibuat pun
dicemplungkan satu-satu ke dalam loyang lainnya yang sudah diisi air putih. Gunanya agar bola-bola sagunya tidak lengket.
Tak lama kemudian seluruh adonan sagu berhasil disulap jadi
bola-bola sagu. Sementara itu, sayuran juga telah masak.
“Semua bahan kapurung sudah siap nih, Do. Jadi sekarang
tinggal dicampur saja.”
Febri menyiapkan satu panci stainless ukuran besar. Di dalamnya dimasukkan bola-bola sagu, lalu
ikan yang sudah disuir-suir, sayuran plus sebagian kuahnya lalu kuah ikan. Dan
terakhir kacang yang sudah ditumbuk halus.
Semua bahan diaduk pelan agak bercampur, sambil dicicipi
biar garamnya pas.
Tisa sebagai chef
kali ini membentuk bulatan dari telunjuk dan ibu jarinya setelah mencicipi,
pertanda rasa Kapurung telah pas.
“Selamat menikmati,” ucapnya manis.
****
Saya dan Tisa mulai berkeringat. Cita rasa Kapurung yang
eksotik, perpaduan sagu, kuah ikan serta sayur-sayuran plus sambal buatan Febri
yang nendang, itu penyebabnya. Kami makan dengan lahap seperti tidak makan
berhari-hari.
Febri meninggalkan kami di dapur karena ingin makan sambil
menonton drama seri impor dari India yang lagi tren itu.
“Gimana, Do? Enak kan?”
Saya mengangguk karena sedang sibuk mengunyah.
“Mantap, Tis. Mesti sering-sering masak kayak gini nih,”
sahut saya setelah berhasil menelan dua bola-bola sagu sekaligus.
“Cari saja istri orang Toraja,” canda Tisa.
Saya tertawa. Tapi entah mengapa tiba-tiba sebuah ide gila
melintas di kepala.
Mengapa harus pasrah
pada waktu? Bukankah sekarang atau sore
nanti, atau malam nanti, sama saja. Toh, jawaban dari cewek yang berhasil
mencuri hati ini tidak akan dipengaruhi sudut kemiringan matahari jika dia
memang tulus.
“Tis, saya sayang sama kamu…” kalimat itu pun mengalir dari
dalam mulut yang butuh air secepatnya gara-gara menahas pedas tanpa bisa direm
lagi.
“Biar bisa makan Kapurung tiap hari, ya,” Tisa terkekeh.
Saya mengesampingkan mangkuk kapurung yang sudah tandas setengahnya. Seketika itu
rasa pedas seperti pergi menghilang.
“Saya serius, Tis. Saya sudah lama jatuh cinta sama kamu.”
Tisa terdiam. Dia bahkan lupa mengunyah potongan sayur yang
baru-baru masuk ke mulutnya.
“Mau gak kamu jadi
kekasih saya?”
Tisa masih terdiam. Dia seperti tidak percaya.
Saya pun mengeluarkan sesuatu dari saku jaket yang tersampir
di kursi. Sebuah coklat batangan. Lalu saya mengeluarkan kalung dari leher
saya. Kalung dengan hiasan besi putih dengan hiasan ukiran nama saya. Kedua
benda itu saya letakkan di depan Tisa. Mungkin kedua benda itu bisa lebih
membantu.
“Kalau kamu mau, tolong kembalikan cokelatnya. Kalau tidak
mau, tolong kembalikan kalungnya, dan kita tetap berteman seperti biasa.
Bagaimana?”
Perlahan-lahan kesadaran Tisa kembali, terlihat dari gerakan
gerahamnya. Tapi dia belum kunjung memberikan respon.
“Tidak mau dijawab sekarang juga tidak masalah, Tis. Yang
penting jangan kelamaan saya digantung…”
“Saya hanya sedikit dilema nih, Do.”
“Dilema bagaimana?” saya mulai khawatir.
“Saya mau pilih kalung tapi… saya juga suka sama coklatnya. Gimana
dong?”
Senyum di bibir saya mengembang.
“Jadi artinya…?”
Tisa mengangguk.
“Saya juga sayang sama kamu. Dan iya… saya mau jadi pacar
kamu.”
Lalu saya membuat dapur Tisa serasa pecah oleh teriakan
bahagia. Tisa ikut tertawa dengan wajah tersipu-sipu.
“Pembicaraan keluarga sudah kelar nih?”
Perhatian kami teralihr ke Febri yang rupanya sejak tadi
berdiri di ambang pintu dapur.
“Febri!” seru Tisa. “Kamu dari tadi di situ?”
Tapi saya tidak peduli. Yang penting siang ini, harapan saya
terkabul. Dunia serasa penuh cinta.
Eh, …kok kapurungnya juga jadi ikut
berwarna merah jambu?
-----
ilustrasi gambar dari: gosulsel.com
pertama kali ditayangkan di fiksiana.kompasiana.com dalam rangka event #FiksiKuliner Fiksiana Community
Komentar