Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Kapurung Merah Jambu


Kamis siang ini akan menjadi momen yang istimewa. Istimewa, karena jika semuanya berjalan mulus, saya bisa menjadi cowok paling bahagia se-Indonesia Raya. Atau bisa juga sebaliknya.

Motor skuter matic saya parkirkan di depan rumah kontrakan Tisa. Tak lama kemudian saya mengetuk pintu depan rumah.

Tisa mengambil kontrakan secara patungan dengan dua kawan mahasiswi, sesama cewek Toraja. Rumahnya minimalis dengan hanya dua kamar tidur. Tapi lumayanlah untuk ukuran mahasiswa. Mereka malah lebih senang sekamar bertiga, sehingga kamar yang satu lagi digunakan jika ada sanak atau kawan mereka yang berkunjung dan harus menginap.

Pintu terbuka dan wajah manis seorang cewek mungil muncul di situ. Itu Febri.

"Loh, tidak kuliah, Feb?"

"Sebenarnya ada. Tapi mendadak kumat malasnya begitu lihat kak Tisa mau masak Kapurung.”

Saya tersenyum.

"Mulai berani bolos, ya."

"Sesekali tidak apa kan," gelak Febri. "Yuk masuk, Kak. Siapa tahu bisa bantu-bantu."

Saya pun masuk mengekori langkah Febri.
Saya sudah pernah mencicipi salah satu makanan khas dari daerah Sulawesi Selatan itu. Adonan sagu yang diberi kuah sayur bening dan ikan. Rasanya memang enak dan yang pasti sehat. Tapi saya belum pernah melihat langsung proses “peracikannya”.

Saya sepertinya mesti mengurungkan niat sebentar lagi. Tadi niatnya mau mengajak Tisa jalan ke tempat romantis. Mumpung honor pemuatan cerpen di salah satu majalah lokal baru saja cair dan setiap hari kamis, kami sama-sama free mata kuliah. Entahlah. Sepertinya sebuah kebetulan yang sudah diatur Tuhan. Padahal saya di jurusan eknik elektro dan dia matematika.

Aroma ikan masak dengan bumbu kunyit yang strong langsung menyapa indra penciuman begitu kami melewati ruang tamu menuju ke dapur.

"Hera kuliah ya?" saya bertanya.

"Iya, Kak. Dari pagi tadi."

Sesampainya di dapur tercium aroma wangi yang lain. Tisa sedang menyangrai setumpuk kacang tanah.

"Wah, enak nih," saya berseru begitu melihat pemandangan itu.

  "Kamu, Do!" Tisa menoleh sebentar melanjutkan kembali kegiatannya mengaduk-aduk kuali berisi kacang tanah itu.

Tisya memakai kaos abu-abu berlengan pendek. Rambut lurus sebahunya dikuncir ke atas, memamerkan leher jenjangnya yang mulai bertabur keringat. Tapi dia justru kelihatan manis dengan penampakkan seperti itu.

Pada tungku kompor yang lain aku melihat panci ikan tanpa penutup dengan kuah kuning mendidih.
Di sisi dapur yang lain, Febri sibuk memetik sayur-sayuran. Ada beberapa ikat kacang panjang, bayam, kangkung, juga ada beberapa potong jagung manis. Sosoknya yang imut-imut membuatnya terlihat lucu, seperti tenggelam di dalam tumpukan sayur itu.
Febri memandangi kami bergantian.

"Kak, jadi bisa ditinggal ke kampus nih? Kan ada kak Edo yang bantu."

Tisa terkejut lalu memandang lucu ke arah Febri.

"Lahh… tadi kan kamu yang ngotot pengen bolos, makanya saya jadi semangat bikin kapurung siang ini. Lagian Edo kalau disuruh bahaya, bisa habis duluan masakannya. Lihat tuh perutnya udah offside gitu."

Aku menggaruk-garuk kepala. Febri dan Tisa terkekeh. Memang dia suka sekali meledek perutku yang sedikit buncit ini.

"Calon orang kaya," saya mencoba membela diri. "Modal perut dulu, nanti dompetnya nyusul."

Tisya dan Febri tergelak lagi.

"Eh, tapi boleh juga dibantu biar cepat kelar. Udah lapar nih. Ya, Do?"

"Boleh..."

"Mulai dengan ini."

Tisa memindahkan kacang yang sudah disangrai ke piring keramik lebar. Lalu meletakkannya di atas meja makan di depanku. Kacang itu sudah bersih dari kulit arinya. Sepertinya sudah dibuang sebelum disangrai.

"Tolong kacangnya ditumbuk halus. Pakai itu." Jemari Tisa diarahkan ke cobekan kayu di atas meja.

"Siap, Kumendan."

"Jangan diabisin ya kacangnya ya," Tisa tertawa lagi.

“Beres.”

Setelah  itu Tisa mengangkat panci berisi ikan masak, lalu menggantinya dengan panci lain berisi air. Kelihatannya saat sudah mendidih, air itu yang akan digunakan untuk membuat bola-bola sagunya. Tisa memindahkan ikan-ikan bandeng dari dalam panci ke piring, lalu menuang kuah ikan itu pada mangkuk khusus. Ikan bandengnya lalu disuir-suir menggunakan garpu.

Sementara itu, saya meletakkan cobekan di atas lantai lalu mulai menumbuk kacang sedikit demi sedikit. Suara tumbukan terdengar berirama. Happ…! Satu butir kacang masuk ke rongga mulut. Febri yang melihat tersenyum geli. Saya memberi isyarat dengan memasang telunjuk di depan bibir.

“Perhatikan, ya Feb,” ucap Tisa tanpa menoleh. “Takutnya lebih banyak yang diembat dibanding yang ditumbuk.”

Saya sedikit terkejut. Ternyata Tisa juga melihat tadi. Febri tertawa.

“Oh, iya. Feb, kayaknya terasi buat bahan sambal habis deh. Tolong beli di warung depan ya. 

Uangnya ambil saja di saku celana jeans saya di belakang pintu.”

“Oke deh, Kak. Ada yang lain lagi?”

“Mm… beli minuman dingin kalau ada. Buat ngupah yang numbuk kacang…”

“Eh, eh. Tidak usah…”

Tisa tertawa.

“Ya, kalau tidak mau buat Febri saja.”

Saya buru-buru berdiri dan mengeluarkan dompet dari saku belakang. Maksudnya mau menambah uang belanja Febri. Tapi cewek itu sudah buru-buru lari ke depan.

“Cieee… yang baru gajian,” goda Tisa.

“Tahu aja,” sahut saya.

“Ya, tahu. Orang kamu yang bilang sendiri.”

Saya pura-pura bingung.

“Gitu, ya?”

Tisa berpindah posisi. Mengambil alih tempat Febri tadinya, untuk melanjutkan memotong sayur kangkung yang tersisa.

“Tis…”

“Iya.”

“Sebentar kita jalan, yuk.”

“Kemana?”

“Terserah kamu. Tadinya sih mau ngajak makan siang. Tapi berhubung kalian masak, ya kita ganti agenda. Nonton, atau ke tempat rekreasi. Gimana?”

Hidung Tisa kembang kempis. Kelihatan senang.

“Keuangan lagi tipis nih,” ucapnya.

“Saya yang traktir kok, Tis.”

“Febri diajak gak?” tanyanya.

Saya mengernyitkan kening. Tisa tertawa lagi.

“Bercanda… Iya, deh. Tapi agak sorean ya, tunggu Hera pulang. Kasihan Tisa sendiri di rumah.”

“Sipp…”

Saya bahagia, Tisa merespon dengan baik ajakan ini. Tapi kok detak jantung ini mulai tidak beraturan ya? Saya pun mencoba menetralkan debaran jantung dengan menumbuk kacang lebih bersemangat. 
Sudah setengahnya ditumbuk halus. Tinggal setengah lagi.

Happ…! Sebutir kacang kembali masuk ke dalam mulut. Kelihatannya Tisa tidak berhasil menangkap basah kali ini. Mata beningnya tetap menatap potongan kangkung dengan serius.
Setelah seluruh urusan potong-memotong sayur selesai. Tisa menyalakan kompor yang satu lagi. Dengan cekatan dia mencuci kuali yang tadi dipakai menyangrai kacang. Kuali itu akan digunakan untuk memasak sayur mayur.

Tepat pada saat itu Febri kembali ke dapur.

“Kamu yang buat sambal ya, Feb. Kan kamu paling jago tuh urusan sambal menyambal.”
Febri mengiyakan.

Kuali dinaikkan ke atas kompor. Tisa pun memasukkan air lalu menunggu air mendidih sebelum memasukkan sayuran ke dalamnya.

Urusan kacang selesai. Saat itu air dalam panci pada tungku yang satu lagi sudah mendidih. Febri pun meminta saya untuk membantunya menuang air dalam panci ke atas rendaman sagu dalam baskom yang sudah dia siapkan di lantai. Biar prosesnya lebih mudah.

“Ini bagian yang paling penting, Do. Kalau airnya kedikitan, bola-bola sagunya bisa jadi terlalu keras. Tapi kalau kebanyakan jadinya terlalu lembek. Jadi tuang airnya sedikit demi sedikit ya. 
Langsung berhenti kalau saya bilang stop.”

“Siap!”

Dengan alas kain lap yang tebal, saya pun memegang telinga panci berisi air mendidih itu. Agak kesulitan, karena ukuran panci cukup besar dan uap air mendidih itu seperti ikut membakar wajah saya.

Tisa sudah siap di sisi baskom sagu dengan spatula kayu yang besar.

“Oke, Do. Tuang airnya pelan-pelan.”

Saya pun mulai memiringkan mulut panci.

“Okeh, terus… terus…”

Rendaman sagu yang terkena air panas pun mulai menggumpal pertanda sagunya mulai masak. Tisa mengaduk untuk memastikan proses memasak sagunya lebih merata.

“Stop dulu, Do.”

Aku berhenti.

Tisa terus mengaduk sambil sesekali mengangkat tinggi-tinggi adukannya dan membiarkan gumpalan sagu berjatuhan untuk melihat tekstur sagunya.

“Airnya dikit lagi,”

Aku menuang kembali air dari panci.

“Sip! Stop, Do. Kayaknya udah pas nih,” ucap Tisa sambiil terus mengaduk.

Sementara itu, Febri yang sedang mengulek tomat dan lombok. Beralih sebentar untuk memasukkan sayur ke dalam kuali yang sudah mendidih.

“Kerja sama yang baik, ya,” ucap saya.

“Iya, dong, Kak,” sahut Febri.

Tisa mengambil dua batang sumpit lalu duduk manis di sisi adonan kapurung yang telah berubah warna menjadi lebih bening pertanda seluruhnya telah masak.

“Buat apa tuh, Tis?”

“Ini buat menggulung sagunya, biar bola-bola sagunya nanti ukurannya sama.”

Saya mengangguk-angguk. Lalu menyimak saja dia dengan asyiknya mencedok dan menggulung adonan sagu itu memakai dua sumpit dengan cekatan menggunakan teknik khusus. Bola-bola sagu yang berhasil dibuat pun dicemplungkan satu-satu ke dalam loyang lainnya yang sudah diisi air putih. Gunanya agar bola-bola sagunya tidak lengket.

Tak lama kemudian seluruh adonan sagu berhasil disulap jadi bola-bola sagu. Sementara itu, sayuran juga telah masak.

“Semua bahan kapurung sudah siap nih, Do. Jadi sekarang tinggal dicampur saja.”

Febri menyiapkan satu panci stainless ukuran besar. Di dalamnya dimasukkan bola-bola sagu, lalu ikan yang sudah disuir-suir, sayuran plus sebagian kuahnya lalu kuah ikan. Dan terakhir kacang yang sudah ditumbuk halus.

Semua bahan diaduk pelan agak bercampur, sambil dicicipi biar garamnya pas.

Tisa sebagai chef kali ini membentuk bulatan dari telunjuk dan ibu jarinya setelah mencicipi, pertanda rasa Kapurung telah pas.

“Selamat menikmati,” ucapnya manis.

**** 
Saya dan Tisa mulai berkeringat. Cita rasa Kapurung yang eksotik, perpaduan sagu, kuah ikan serta sayur-sayuran plus sambal buatan Febri yang nendang, itu penyebabnya. Kami makan dengan lahap seperti tidak makan berhari-hari.

Febri meninggalkan kami di dapur karena ingin makan sambil menonton drama seri impor dari India yang lagi tren itu.

“Gimana, Do? Enak kan?”

Saya mengangguk karena sedang sibuk mengunyah.

“Mantap, Tis. Mesti sering-sering masak kayak gini nih,” sahut saya setelah berhasil menelan dua bola-bola sagu sekaligus.

“Cari saja istri orang Toraja,” canda Tisa.

Saya tertawa. Tapi entah mengapa tiba-tiba sebuah ide gila melintas di kepala.

Mengapa harus pasrah pada  waktu? Bukankah sekarang atau sore nanti, atau malam nanti, sama saja. Toh, jawaban dari cewek yang berhasil mencuri hati ini tidak akan dipengaruhi sudut kemiringan matahari jika dia memang tulus.

“Tis, saya sayang sama kamu…” kalimat itu pun mengalir dari dalam mulut yang butuh air secepatnya gara-gara menahas pedas tanpa bisa direm lagi.

“Biar bisa makan Kapurung tiap hari, ya,” Tisa terkekeh.

Saya mengesampingkan mangkuk kapurung  yang sudah tandas setengahnya. Seketika itu rasa pedas seperti pergi menghilang.

“Saya serius, Tis. Saya sudah lama jatuh cinta sama kamu.”

Tisa terdiam. Dia bahkan lupa mengunyah potongan sayur yang baru-baru masuk ke mulutnya.

 “Mau gak kamu jadi kekasih saya?”

Tisa masih terdiam. Dia seperti tidak percaya.

Saya pun mengeluarkan sesuatu dari saku jaket yang tersampir di kursi. Sebuah coklat batangan. Lalu saya mengeluarkan kalung dari leher saya. Kalung dengan hiasan besi putih dengan hiasan ukiran nama saya. Kedua benda itu saya letakkan di depan Tisa. Mungkin kedua benda itu bisa lebih membantu.

“Kalau kamu mau, tolong kembalikan cokelatnya. Kalau tidak mau, tolong kembalikan kalungnya, dan kita tetap berteman seperti biasa. Bagaimana?”

Perlahan-lahan kesadaran Tisa kembali, terlihat dari gerakan gerahamnya. Tapi dia belum kunjung memberikan respon.

“Tidak mau dijawab sekarang juga tidak masalah, Tis. Yang penting jangan kelamaan saya digantung…”

“Saya hanya sedikit dilema nih, Do.”

“Dilema bagaimana?” saya mulai khawatir.

“Saya mau pilih kalung tapi… saya juga suka sama coklatnya. Gimana dong?”

Senyum di bibir saya mengembang.

“Jadi artinya…?”

Tisa mengangguk.

“Saya juga sayang sama kamu. Dan iya… saya mau jadi pacar kamu.”

Lalu saya membuat dapur Tisa serasa pecah oleh teriakan bahagia. Tisa ikut tertawa dengan wajah tersipu-sipu.

“Pembicaraan keluarga sudah kelar nih?”

Perhatian kami teralihr ke Febri yang rupanya sejak tadi berdiri di ambang pintu dapur.

“Febri!” seru Tisa. “Kamu dari tadi di situ?”

Tapi saya tidak peduli. Yang penting siang ini, harapan saya terkabul. Dunia serasa penuh cinta. 
Eh, …kok kapurungnya juga jadi ikut berwarna merah jambu?



-----

ilustrasi gambar dari: gosulsel.com
pertama kali ditayangkan di fiksiana.kompasiana.com dalam rangka event #FiksiKuliner Fiksiana Community



 photo Jangancopasing.jpg

Komentar