Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Luna dan Ra


Matahari mungkin tak pernah akan berkawan dengan purnama. Saat yang satu bersinar, yang lain akan meredup. Saat yang satu menapaki langit, yang lain akan lari sembunyi.

Dahulu Luna dan Ra juga seperti itu.

Saat Luna hadir, bersenandung dan tertawa bersama kami, Ra tiba-tiba terdiam. Kemudian saat Luna menyadari ada Ra, dia cepat-cepat menyingkir. Saat Ra bercerita bahagia, Luna terlihat bersedih hati. Sebaliknya saat Luna tertawa, Ra menahan pilu dalam hatinya.
Ketidakselarasan itu semakin terasa ketika keduanya ternyata mencintai orang yang sama.

Aku.


Luna cantik dengan wajah seperti bulan purnama. Lengkungan senyum tak pernah hilang dari wajahnya. Dia pandai berpuisi dan memetik gitar. Setiap kali menyanyi, dia membuat semesta seperti terbuai di lipatan tangannya.

Ra manis dan kehadirannya selalu menebar kehangatan seperti matahari. Dia pandai, bijaksana dan baik hati. Dia tidak pernah membiarkan seseorang berlalu begitu saja tanpa membuat orang itu merasa lebih bahagia.

Tapi segala kecantikan dan kebaikan itu bisa berbalik seketika seperti malam yang menutup siang, jika mereka berada pada tempat dan waktu yang sama. Perseteruan mereka bisa membuat gugus bintang-bintang terbolak-balik sampai kapal-kapal layar kehilangan arah dan ditelan badai.

Pertengkaran mereka bisa membuat badai kosmis menghajar bumi seperti kapas yang diporakporandakan angin.

Aku sendiri tidak bisa mencintai, karena mencintai seorang berarti akan melukai yang lain. Menyayangi seorang berarti akan menyakiti yang lain. Aku benar-benar tidak bisa memilih. Tetapi mereka terus mendesakku untuk segera menentukan pilihan.
Sampai suatu hari aku benar-benar kehabisan kesabaran sehingga memberi mereka sebuah permainan.  Yang beruntung akan mendapatkan cintaku, yang tidak beruntung tidak akan mendapatkannya… selamanya.

Dan disinilah kami, dihempaskan waktu di depan sebuah altar marmer berbentuk hati. Di atas altar berdiri dua buah cawan kaca berisi anggur manis dari kebun anggur terbaik.

Aku memberi mereka kesempatan untuk memilih dan meminum isi cawan tersebut secara bersamaan.

“Hanya seperti itu?” tanya Ra.

Aku mengangguk.

“Lalu bagaimana caramu menentukan pilihan?” tanya Luna.

“Setelah kalian meminum isi cawan masing-masing, jawabannya hadir. Saat aku memilih salah satu dari kalian, yang lain tidak akan pernah merasa tersakiti.”

“Kamu mencampurkan salah satu cawan dengan racun?”

Ah, Ra memang selalu jadi yang terpandai. Aku mengangguk.

Mereka berdua kelihatan terkejut. Tetapi hanya sesaat. Setelah nalar mereka kembali, mereka bersedia melakukannya. Cinta memang aneh, bukan?

“Lalu bagaimana caramu menentukan… siapa yang akan memilih cawan pertama kali?” tanya Luna.
Aku tersenyum lalu memperlihatkan sekeping koin.

“Gambar atau angka?”

Ra memilih gambar, Luna memilih angka.

Koin itu pun aku lemparkan ke atas, berputar beberapa kali, dan mendarat kembali di telapak tanganku dengan mantap. Sebelah koin yang menghadap ke atas memperlihatkan angka. Artinya Luna mendapatkan kesempatan memilih cawan duluan.

Tapi tetap saja dia terlihat ketar-ketir. Begitu pula Ra.

Luna maju perlahan ke altar. Dua cawan anggur itu menyambutnya dengan ramah. Aku yakin dia kini sedang memutar kata-kata ini dalam benaknya. Kiri atau kanan? Kanan atau kiri?

Dia memilih yang kanan. Berarti cawan di kiri milik Ra.

“Kalian harus meminum cawannya bersamaan. Itu aturannya.”

Keduanya mengangguk.

Kini baik Ra maupun Luna telah memegang cawan masing-masing. Mereka terlihat berdebar-debar. Sepertinya aku juga…

“Baik, demi cinta, kalian harus meminumnya…”

Ra dan Luna menatapku lekat-lekat.

“…sekarang!”

Dalam satu helaan napas, isi cawan telah berpindah ke tenggorakan mereka masing-masing. Lalu mengalir ke dalam lambung. Sari-sari anggur bercampur racun, masuk ke pembuluh darah, menuju ke jantung dan…

Suara cawan yang jatuh dan pecah berserakan terdengar nyaring. Bukan hanya satu, tetapi dua cawan sekaligus. Tubuh gadis-gadis cantik itu kini telah terbaring lemas di depan altar. Seorang gadis lainnya yang sejak tadi mengintip kejahatanku berlari masuk dan memelukku.

Telah kukatakan, bukan? Aku tidak bisa memilih. Karena aku punya pilihan yang lain.

***
Matahari mungkin tak pernah akan berkawan dengan purnama. Tapi malam ini Ra dan Luna terlihat begitu akur.

Mereka masih tetap cantik dan manis dengan balutan gaun seputih awan. Tapi anehnya aku merinding ketakutan. Mereka seperti bayangan, tetapi anehnya keduanya berhasil mencengkeramku dengan erat.

Mereka lalu menyeretku melewati labirin yang terbuat dari harapan dan kutuk, untuk sekali lagi menghempaskanku… di depan sebuah altar marmer berbentuk hati. Ada dua cawan kaca berisi anggur di atas altar itu.

“Kami akan terus hadir dalam kehidupanmu sebelum kamu membuat pilihan,” gema suara Luna.

“Kiri atau kanan? Kanan atau kiri?”

“Kita semua tahu akhir pilihan itu, bukan?” jawabku pasrah. “Apa gunanya membawaku ke alam kalian saat ini, kalau di sana nanti aku tetap tidak akan memilih salah satu dari kalian?”

Ra tersenyum.

“Kamu pasti akan membuat pilihan. Karena gadismu tidak akan ikut ke sana. Dia akan tetap kami biarkan hidup.”

Ah, Ra memang selalu cerdas.

“Bagaimana kalau aku tidak mau memilih?”

“Gadismu yang akan kami bawa serta,” sahut Luna.

“Pilihlah. Kali ini hanya satu cawan yang dapat membunuhmu... Jiwa-jiwa tidak akan pernah berbohong.”

Ra benar.

Aku pun melangkah ragu-ragu lalu memilih cawan yang paling kanan. Sekali teguk seluruh isi cawan tandas. Aku menunggu dengan berdebar-debar. Tidak terjadi apa-apa.

Aku tersenyum. Anehnya Luna dan Ra juga tersenyum.

“…berarti racun ada di cawan yang paling kiri?” tanyaku.

“Ya. Itu racun untukmu,” sahut Luna.

“Cawan yang kamu minum juga beracun,” sambung Ra. “Hanya saja, racun itu untuk gadismu. Dia yang akan merasakan racunnya… saat ini.”

Aku terkejut. Keduanya tertawa berderai-derai.

“Bawa aku pulang sekarang!” seruku.

Tapi mereka tidak menanggapiku, malah terus tertawa, memenuhi angkasa dengan bahana tawa mereka.

Cinta memang aneh, bukan?

-----------

Ilustrasi gambar dari: www.thejournal.ie

Pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Lis Suwasono mengatakan…
Jempolll abiiisss!!! 👍👍👍
pical gadi mengatakan…
Makasih jempolnya bu Lis :)
pical gadi mengatakan…
Makasih mas sudah mampir :)