Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Matahari Pilek


Mestinya awan memaklumi matahari. Begitu pula dengan rembulan dan embun pagi. Tidak selamanya matahari mampu tampil perkasa, mengoyak dan menjahit relung semesta dengan cahaya paripurnanya. Keterbatasan dan ketidaksempurnaan sudah kodrat ciptaan Tuhan, bukan?

Sudah dua hari ini matahari pilek berat, namun tidak ada yang percaya sang cahaya paripurna itu bisa jatuh sakit juga. Pada saat wajah matahari terkapar lemah di atas pembaringan dengan wajah pucat kehilangan rona dan ingus yang jatuh bertetes-tetes, barulah terjadi hiruk pikuk.


Musim berlarian kesana kemari tanpa arah. Matahari-lah yang selama ini menguasai penanggalannya. Bulan pun harus bekerja lembur menerangi bumi dengan jantung berdebar-debar karena matahari juga yang jadi sumber kekuatannya. Embun pagi yang terbenam dalam rerumputan tidak tahu lagi kapan giliran mereka tampil di pentas pagi karena selama ini matahari-lah yang membangunkan mereka. Lautan heran. Angin bertabrakan. Badai pun kehilangan orientasi. Semua panik dan kacau balau.

Sementara itu belum ada tanda-tanda matahari akan segera pulih. Badannya masih sering gemetar dengan suhu yang naik turun.

---

Di ujung pagi, seorang pria pelukis panorama alam bernama Mata sedang menggelar kanvas, kuas, cat dan alat-alat lukis lainnya di atas rerumputan. Dia berada dekat dengan sebuah tepi tebing yang dipenuhi bunga dan kupu-kupu.
Saat mulai melukis matahari yang merangkak naik dari balik bukit-bukit, Mata mengernyitkan kening. Dia memandangi alam di hadapannya  lalu memandang lukisannya sekali lagi.

Ada yang salah.

Mata pun bertanya kepada awan-awan.

“Mengapa pagi ini alam seperti sedang berduka?”

Awan-awan berpandangan sebelum menyahut,

“Pasti karena matahari sedang pilek parah. Dia terbaring sakit saat ini. Tahukah anda apa yang harus kami lakukan?”

“Matahari sakit? Lalu siapa yang bersinar dari balik bukit itu?” tunjuk Mata.

“Itu hanyalah bola cahaya. Bukan matahari… Sama seperti tubuh kalian jika tanpa jiwa, bola cahaya itu juga tubuh tanpa jiwa.”

Mata mengangguk-angguk.

“Wah, berarti kalian harus menjenguk matahari untuk menghibur dan memberinya kekuatan. Bawakan bunga, makanan favoritnya atau apa saja yang membuat dia merasa gembira…”

Awan-awan terlihat setuju, lalu berlalu dan memberitahu rencana itu kepada lautan, embun, 
rembulan, bumi dan penghuni angkasa.

Tapi Mata tetap melanjutkan goresannya melanjutkan pekerjaannya memindahkan keindahan alam ke atas kanvas.

---

Seminggu kemudian di waktu yang sama, Mata kembali ke tepi tebing itu. Dia menggelar kanvasnya dan kembali melukis pemandangan yang sama.

Setelah selesai, dia membandingkan lukisan itu dengan lukisan yang dibuatnya seminggu lalu. Kedua lukisan begitu mirip hanya saja lukisan yang kedua terlihat lebih hidup dan semarak. Bukan karena permainan warna. Warna kedua lukisan sama saja. Bukan pula karena objek. Terlihat objek kedua lukisan sama saja.

Mata tersenyum sambil memandang langit biru.

Lukisan yang kedua lebih hidup karena matahari telah sembuh dari pileknya dan saat ini semesta bergembira karenanya.



****

pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
ilustrasi gambar dari dokpri



Baca juga fiksi keren lainnya:


Malam Pertama yang  Sedih

Senar Gitar

 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Unknown mengatakan…
Lama ndak kunjung ke sini. Sy dengar draft novelnya msk nominasi utk diterbitkan ya? Sukses bung!
pical gadi mengatakan…
Wah, saya sih berharap seperti itu bung Chris. Masih tunggu rilis dari panitia eventnya :)
Makasih sudah main kemari ya. GBU
Lis Suwasono mengatakan…
Bisaaa aja bikin cerita begini. Keren banget! 👍👍👍
pical gadi mengatakan…
Makasih bu Lis. Salam