Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Kopi Latte dan Pria Berwajah Embun


Aku sedang berjaga di kamar rumah sakit. Seorang wanita setengah baya terbaring di situ. Masih tersisa kecantikan masa muda di sudut-sudut wajahnya. Sekalipun saat ini dia sedang tertidur selelap bayi, aku tahu dia sudah berbulan-bulan menahan sakit yang menggerogoti lambung dan mimpi-mimpinya.

Sementara itu dari balik kaca jendela nampak hujan November sedang mengguyur kota. Aku pun menyibak tirai dan menyingkap kaca itu untuk membiarkan aroma petriochor mengisi rongga penciumanku.

 Begitu kaca jendela terbuka lebih lebar, aku baru menyadari yang berjatuhan dari awan-awan bukan hujan melainkan kuntum melati dan mawar.

Balkon kamar pun penuh dengan tumpukan kuntum putih dan merah. Aku berharap wangi kedua bunga favoritku itu segera menyusul memenuhi penciumanku, tetapi aku salah. Bukan aroma melati atau mawar yang tercium, tetapi aroma kopi latte.

Aneh.

Tapi aku benar-benar menikmati setiap sensasi keanehan ini, sampai seorang pria berwajah seperti
embun berdiri di sisi balkon dan menatap mataku.

Ada godaan untuk menanyakan siapa nama pria itu. Tapi melihat keteduhan yang terpancar dari wajahnya, sepertinya segala pertanyaan sirna seketika.

Malah dia yang bertanya kepadaku.

“Kamu masih betah di sini, Alexandra?”

Dia juga tahu namaku. Aku mengangguk. Lalu menggeleng.

“Aku rindu kopi latte. Aku rindu rumah.”

“Aku mengerti. Aku akan membawamu pulang…”

Aku terkejut tapi tetap berusaha untuk tenang.

“…tapi kamu akan pulang ke rumah yang sebenarnya, Alexandra.”

Pria itu menyunggingkan senyum hangat. Aku paham saat ini. Wanita yang tertidur, hujan bunga dan pria berwajah sesejuk embun adalah kepingan mozaik yang sebentar lagi menyempurnakan lukisan hidupku.

“Aku masih punya banyak pekerjaan yang belum diselesaikan.”

“Biarlah itu jadi urusan mereka…”

Aku mengangguk pasrah, lalu menggamit lengan pria itu.

“Kamu tidak ingin berpamitan pada ragamu?” tanyanya menggodaku.

Aku melihat ke kamar dan memandang wanita yang terbaring tenang. Seperti memandang cermin saja rasanya.

Seorang perawat masuk dan memandang monitor yang tersambung pada alat-alat penunjang kehidupannya. Perawat itu membelalak karena terkejut.

Beberapa detik kemudian yang lain menghambur masuk ke ruangan dengan ekspresi yang sama. Aku lalu terpana melihat betapa gigihnya mereka berjibaku mempertahankan nafas-nafas penghabisan seorang anak manusia. 

Segala pikiran, pengetahuan, tenaga dan keberanian dikerahkan untuk membuat jantung yang kaku berdetak kembali dan nafas yang beku mengalir kembali.

Sebelum segala usaha itu ditutup dengan kata-kata penghabisan, “…dia sudah pergi.”

Ya…

 dia sudah pergi…

 menari-nari di antara awan, mawar dan melati.


----


pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
ilustrasi gambar dari: www.pinterest.com



Baca Juga:

Soulcatcher



 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

Lis Suwasono mengatakan…
Jadi sedih sekaligus bahagia bacanya... 👍👍👍
pical gadi mengatakan…
Yap, bisa jadi seperti itu.
Makasih sudah singgah yak bu Lis