Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Senja menyapa kompleks Bumi Asri Mekar Mewangi, perumahan
warga menengah di salah satu sudut metropolitan.
Pada waktu seperti ini, Memet bersama beberapa rekannya
sesama tukang ojek sudah stand by
dengan manis di pangkalan ojek mereka. Mereka sepakat memberi nama pangkalan
mereka dengan nama POC (bacanya pi o si, ya) biar keren, rada-rada british gitu. Padahal begitu ditanya arti POC, jawaban mereka endonesia
juga, Pangkalan Ojek Cinta. Hehe. Nama
itu disematkan dengan harapan tukang-tukang ojeknya selalu melayani dengan
penuh cinta.
Dan sepertinya penumpang lagi ramai, biasa didominasi karyawan-karyawati
yang baru pulang dari tempat kerja mereka.
Nah, sore ini rejeki Memet lagi kinclong. Baru mangkal
beberapa menit, sudah ada penumpang yang mampir. Penumpangnya seorang cewek
bening yang tinggal di salah satu rumah kontrakan dalam kompleks. Memet juga
sudah beberapa kali mengantar cewek itu. Tapi dia termenung. Sudah seakrab ini,
dia belum pernah tahu nama cewek itu.
Makanya saat mulai menelusuri jalan-jalan kompleks dia
sengaja melambatkan laju motornya agar bisa bercakap-cakap lebih leluasa.
“Neng,” sapa Memet.
“Iya, Bang.”
“Hidup ini aneh ya. Saya sudah sering membonceng Neng, tapi
sampai sekarang saya belum tahu siapa namanya.”
Cewek itu tersenyum.
“Nama saya Andrew. Namanya Neng siapa?”
Cewek itu memukul kecil bahu Memet.
“Itu nama palsu apa nama samaran, Bang? Kemarin teman ojek yang
ngantar saya bilang namanya Alex. Tahu-tahu waktu ketemu bininya dipanggil
Gugun.”
Memet tertawa dalam hati. Apes dah si Gugun, batinnya.
“Oh kalau saya memang punya nama gaul di pangkalan, Neng. Andrew.
Tapi untuk Neng saya jujur deh. Nama saya Memet.”
Terdengarlah tawa geli sang penumpang.
“Jauh amat, Bang. Andrew sama Memet.”
“Yaa, namanya juga usaha. Terus… Neng ini?”
“Nama saya Widyawati, Bang. Tapi panggil saja Widya…”
Memet mengangguk-angguk.
“Widya… Namanya secantik orangnya.”
Wajah Widya seperti bersemu merah jadinya.
“Bagaimana nih? Mau salaman tapi tangan abang kan lagi
megang setir. Ntar jatuh lagi!” sahut Widya.
“Jatuh juga tidak apa-apa, Neng. Yang penting jatuhnya di hati
neng Widya. Hihi…,” Memet pun mulai melancarkan jurus-jurus mautnya.
Widya memukul pelan bahu Memet.
“Awas istrinya marah loh…”
“Loh, sumpah, saya masih perjaka tong-tong, Neng.”
Terdengar lagi tawa lucu Widya. Percakapan mereka yang
hangat, sehangat penggorengan tukang martabak pun berlangsung sampai kira-kira
lima menit kemudian, saat mereka sampai di depan rumah kontrakan Widya.
Saat turun Widya menyerahkan sepuluh ribuan satu lembar. Memet
enggan menerimanya. Dia terlihat malu-malu kucing garong.
“Kenapa, Bang. Gratis ya?”
Memet menggaruk-garuk helmnya.
“Bukan begitu, Neng. Kurang. Mestinya lima belas ribu…”
Widya terbelalak.
“Masa sih? Biasa juga ceban!”
“Iya, Neng. Tapi sekarang udah naik. Soalnya biaya
operasional juga naik…”
Kening Widya mengernyit.
“Biaya operasional apaan? Emang bensin naik lagi ya?”
Memet menggeleng.
“Bukan bensin yang naik, Neng, tapi rokok.”
Kernyitan di kening Widya semakin bertambah.
“Yee, apa hubungannya?”
“Kan kalau mangkal sambil nunggu penumpang mesti ngerokok
dulu. Terus kalau gak merokok kepala sedikit pening, bahaya kan buat penumpang.”
“Lagian baru rencana pemerintah, Bang. Belum naik beneran,
kan?”
“Yah, tahu sendiri, Neng, Indonesia kayak mana. Lihat tuh
kemarin sebelum harga bensin naik, eh, harga-harga sudah naik duluan.”
Bibir Widya manyun karena kesal. Hilang sudah paras
manisnya. Dia sebenarnya masih mau adu argumen sama Memet, tapi karena sudah
terlanjur capek dia pun terpaksa mengubek-ubek isi tasnya dan menyerahkan
selembar lima ribuan dengan ketus.
“Eh, helemnya jangan dibawa dong, Neng.”
Helm pun juga dikeluarkan dan diserahkan dengan ketus lalu
buru-buru berjalan ke arah pagar rumah.
Memet sebenarnya rada keder dengan ekspresi penumpangnya
yang bisa berubah 180 derajat itu.
Tapi dia tetap bahagia bisa selangkah lebih
akrab dengan Widya. Siapa tahu besok-besok beneran bisa diperkenalkan kepada
orang tuanya sebagai calon istri kan?
Tapi begitu Memet memutar motornya, dia terkejut mendengar seorang
ibu tetangga memanggil
Widya sambil menyodorkan selembaran kertas berwarna
kuning.
“Ipeh, nih tadi petugas tipi kabel nitip kartu tagihannya…”
“Hah?! Ipeh?” gumam Memet. “Ternyata namanya aspal juga.
Coba tahu tadi sekalian minta dua puluh rebu.”
***
ilustrasi gambar dari: www.you-can-be-funny.com
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
Baca Juga:
Hati-hati Pilih Tanggal Pernikahan
Komentar
Keren nih, Mas Pical! Kocaaak... 👍👍👍