Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bayi-bayi mungil bergelimang darah itu terus bergerak-gerak
mengerikan. Sebagian merangkak naik melewati kaki-kaki jembatan, sebagian terapung
terbuai gelombang sungai, sebagian lagi menghadang langkah Tora. Tangisan
memilukan bayi-bayi itu terdengar memenuhi gendang telinga Tora.
Tora terus berlari menghindari lautan bayi berdarah yang
bergerak menuju ke arahnya. Sekalipun terus berlari, Tora merasa tidak bisa
kemana-mana. Bumi seperti terus menyeretnya untuk kembali ke belakang. Peluh pun
membanjiri tubuhnya.
Tiba-tiba seseorang dengan kasar menarik kerah bajunya. Tora
terkejut dan berbalik ke belakang untuk melihat siapa gerangan yang mencoba
menghentikan langkahnya.
“Nad…?”
---
Jam masih menunjukkan pukul 02.10 dini hari. Tora terbangun tiba-tiba
dengan nafas tersengal-sengal. Penerangan kamarnya hanya datang dari lampu
tidur di atas pembaringan.
Hanya mimpi rupanya.
Tapi walaupun hanya mimpi, butir-butir keringat sebesar
jagung menutupi kening dan membasahi kaos oblongnya, padahal saat itu AC sedang dinyalakan.
Tora turun dari tempat tidur lalu beranjak ke meja kerjanya
untuk meneguk air dalam mug besar yang selalu disiapkannya. Isi mug sudah
hampir tandas. Tora pun keluar kamar dan menuju ke dapur.
Sambil melangkah, Tora mengingat-ingat kembali potongan
mimpi mengerikan yang barusan dialaminya. Sudah beberapa malam ini dia mengalami
mimpi yang sama. Bayi-bayi bersimbah darah.
Kegelisahan kembali melanda hatinya, seperti kabut yang
menyelimuti pagi. Mungkin ini semacam teguran halus baginya… juga Nad.
Tora menyalakan lampu dapur lalu menuju ke depan dispenser
dan mengisi mugnya sampai penuh. Sekali teguk, setengah isi mug berpindah ke
tenggorokannya.
Tora terkejut. Air tersebut terasa kecut dan mengental,
membuat lidahnya terasa lengket. Tora pun mengeluarkan bibir mug dari mulutnya.
Dia berseru tertahan. Mug tersebut berisi cairan merah pekat
seperti darah. Aroma amis pun menyeruak di penciumannya. Refleks, Tora
melemparkan pandangan ke arah galon air.
Seketika itu Tora mendelik. Di balik dinding galon dia melihat potongan
kepala, lengan, jari-jari, bola mata yang mungil, tertumpuk dalam genangan
darah kental. Pemandangan mengerikan itu membuat Tora berteriak sejadi-jadinya.
Mugnya terjatuh dan menimbulkan suara gaduh di ujung subuh itu.
Tora hendak ambil langkah seribu tapi saat mengerjab dan
sekali lagi memandangi galon, keanehan kembali terjadi. Isi galon tersebut
adalah air mineral. Bening. Air yang ditumpahkannya dari mug juga seperti itu. Tidak
ada bercak darah sedikit pun yang tertinggal.
Tora mengerjabkan matanya sekali lagi untuk memastikan dia
tidak salah lihat. Semua memang nampak normal.
---
Sesampainya di kamar tidur, Tora buru-buru menyalakan HP-nya
dan menelpon seseorang di luar sana.
“Nad…,” Tora memanggil dengan napas tersengal-sengal begitu
penerima panggilan menjawab teleponnya.
Suara wanita menjawab,
“Ada apa, Tora?” terdengar nada khawatir dari suaranya.
“Nad, kita… kita harus berhenti, Nad. Secepatnya!”
“Berhenti apa?”
“Berhenti dari pekerjaan kita selama ini.”
Nad terdiam sesaat.
“Ada apa, Tora? Apa yang terjadi?”
“…entahlah. Pertanda, firasat, mimpi-mimpi… aku merasa kita
harus secepatnya berhenti. Kita cari
cara lain saja mendapat duit. Bisnis…”
Terdengar nafas panjang Nad di seberang sana.
“Kamu menelpon subuh-subuh hanya untuk bilang kamu baru
habis mimpi buruk?! Tora… Tora dengar aku. Kita memang akan berhenti suatu
saat, tapi bukan sekarang. Kamu juga tahu itu… Lagi pula kita sudah ada janji
dengan dua pasien minggu ini. Mereka sudah DP!”
“Ya… tinggal dikembalikan saja DP-nya kan?”
Nad menarik napas panjang lagi.
“Tora… kamu kayaknya kurang istirahat beberapa hari ini.
Coba off dulu. Tidak usah ke klinik
dulu besok.”
“Kamu tidak mengerti, Nad. Aku merasa Tuhan sedang menegur
kita. Aku akan berhenti secepatnya…”
Merasa tidak mungkin lagi mendebat Tora, Nad memelankan
suaranya,
“Kita lanjutkan lagi besok ya Tora. Kita berdua butuh
istirahat…”
Tora terhenyak dan membenarkan Nad. Dia pun mengiyakan
permintaan Nad lalu percakapan mereka terputus.
---
Tora dan Nad adalah sepasang dokter muda. Mereka bersahabat
semenjak kuliah di fakultas kedokteran. Walaupun tidak pernah ada kata-kata
cinta sedikit pun di antara mereka, kedekatan mereka sudah seperti sepasang
kekasih. Salah satu hal yang mungkin mengikat mereka adalah keduanya anak yatim
piatu dan sama-sama telah merasakan keras getirnya kehidupan sejak kecil.
Keduanya juga cukup cerdas sehingga sejak pendidikan dasar sampai ke jenjang
pendidikan tinggi, mereka selalu beruntung memiliki orang tua asuh dan beasiswa
yang memenuhi biaya pendidikan mereka.
Namun, sebuah “masalah kecil” menyandera Nad dan ikut
menyeret Tora ke dalam kubangan permasalahan tersebut. Adik kandung Nad seorang
pecandu obat-obatan terlarang. Nad pun memasukkan adiknya ke dalam rumah rehabilitasi
sehingga membutuhkan biaya besar. Sedangkan dia sendiri juga saat ini sedang
membutuhkan uang untuk menyelesaikan jenjang koasnya.
Suatu hari di tengah kegalauan, Nad kedatangan tamu. Tamu
itu seorang kawan yang mengetahui kalau Nad sedang memiliki masalah keuangan.
Dengan hati-hati dia menyampaikan maksudnya untuk menjual klinik aborsinya
karena ingin pindah keluar negeri.
“Kamu gila ya, Vin!” bentak Nad di awal pembicaraan mereka.
Vina sahabatnya pun mencoba memberi pengertian.
“Sorry, Nad,
dengar dulu penjelasan aku. Klinik milikku berlisensi, kok. Begitu juga suamiku, dokter kandungan yang mengelola klinik 5
tahun ini. Sebelum pindah, aku dan suamiku bersedia mendampingi kamu selama beberapa
minggu untuk mendalami praktek dan pengelolaan klinik. Nad, aku bisa saja
menjualnya pada orang lain. Tapi aku tahu kamu sedang banyak masalah.
Penghasilan klinik lumayan. Aku juga tidak menuntut kamu membayarnya secara
tunai. Jangka waktu angsurannya aku kembalikan ke kamu nanti. Bisa diatur itu.”
Nad terhenyak.
Setelah berpikir beberapa lama dia pun menerima penawaran
Vina. Selama beberapa minggu Nad bertindak seperti dokter magang di bawah
pengawasan suami Vina.
Tapi keanehan pada tawaran Vina akhirnya terbukti. Lama
kelamaan Nad tahu kalau klinik itu sebenarnya ilegal. Tapi Nad “tidak bisa”
pergi kemana-mana lagi. Apalagi dia juga
mulai menikmati pendapatan dari klinik aborsi tersebut.
Sebelum Vina pergi, dia juga mengajarkan beberapa jurus
penting seperti bagaimana cara mengelabui petugas, bagaimana cara memilah
pasien, bagaimana menangani komplain dan hal-hal lainnya.
Sepeninggal Vina dan suaminya, Nad mengajak Tora ikut
membantunya mengelola klinik. Walaupun pada awalnya Tora sangat keberatan, namun
karena rasa setiakawannya yang tinggi dia menyanggupinya juga.
---
Waktu menunjukkan pukul 02. 50 dini hari.
Setelah menerima panggilan Tora, justru Nad yang tidak bisa
tidur. Sejak tadi dia hanya bolak-balik di atas tempat tidurnya. Ucapan-ucapan Tora
barusan rupanya cukup berhasil terngiang-ngiang di telinganya. Tapi dia
menegarkan hatinya. Tora mungkin hanya kelelahan saja, sehingga berpikiran aneh
seperti itu.
Dalam keremangan cahaya lampu tidur, dia melirik pintu kamar.
Di rumah kontrakan itu, dia tinggal bersama Diana, salah satu adik kelasnya
saat masih tinggal di panti asuhan dulu. Sempat terbersit di pikirannya membangunkan
Diana di kamar sebelah untuk menumpang tidur di kamarnya. Tapi dia juga merasa
tidak enak mengganggu di ujung subuh seperti ini. Diana pun pasti sedang menikmati
puncak tidurnya.
Nad pun beranjak ke
dapur untuk membuat segelas susu hangat. Minuman itu biasa cukup ampuh
memancing rasa kantuknya.
Begitu masuk kembali ke kamarnya, dia merasa bulu kuduknya
berdiri. Tapi dia menghibur diri dengan menganggap udara memang menjadi lebih
dingin di subuh hari seperti ini. Dia pun menyalakan lampu agar kamar lebih
terang benderang. Begitu menutup kembali pintu kamarnya, dia mendengar suara
seperti seekor kucing mengeong dari dalam kamarnya. Refleks dia berbalik dan
mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar untuk mencari asal suara itu.
Tidak ada apa-apa.
Suara yang sama terdengar kembali, hanya kali ini lebih
keras. Ketika melangkahkan kaki barulah dia melihat asal suara itu. Bukan kucing. Bukan sama
sekali. Tetapi seonggok daging di ujung ranjangnya, menyerupai bayi yang masih
sangat kecil. Bayi itu bergerak-gerak dengan tubuh bermandi darah. Mulut
mungilnya terbuka lebar dan terdengar lagi suara erangan mirip suara
kucing tersebut.
Nad terkejut setengah mati sehingga gelas susunya terjatuh
ke lantai dan pecah berantakan. Secepat kilat dia berbalik untuk melarikan diri
dari situ. Tapi malangnya dia lupa kalau dia baru saja menutup pintu. Tubuhnya
pun menabrak pintu kamar dengan keras dan jatuh terpelanting ke belakang.
Saat kepalanya mendarat dengan deras di lantai, pecahan kaca
gelas yang meruncing ke atas menyambutnya. Pecahan kaca yang cukup besar itu pun
bersarang di otak kecil Nad. Mata Nad membelalak. Nafasnya terhenti seketika.
---
Jam 08.20 pagi, HP Tora berbunyi.
Tora masih malas-malasan di atas ranjang. Tapi panggilan
dari Diana itu memaksanya untuk bangun. Tidak biasanya Diana menelepon sepagi
ini.
“Halo, pagi…,” sapa Tora ramah.
Terdengar isak tangis pilu dari ujung sana. Tora
terheran-heran.
“Diana, ada apa?”
Jawaban Diana selanjutnya yang terpenggal-penggal di antara
tangisan membuat Tora terpukul.
Nad yang tidak kunjung keluar kamar membuat Diana berniat membangunkannya.
Namun saat mengetuk pintu kamar tidak ada jawaban sama sekali. Diana pun
membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Saat itu Nad telah terbaring
terlentang di lantai. Tubuhnya kaku dengan darah merah pekat menggenangi lantai
di sekitar kepalanya.
Diana pun menjerit histeris sehingga tetangga berdatangan.
Tora berjanji akan datang secepatnya. Tapi di tengah luapan
emosi dia masih menyisakan ruang dalam otaknya untuk berpikir logis. Dia pun
cepat-cepat menelepon Dayat, asisten klinik mereka.
“Gak usah buka
klinik hari ini! Besok juga. Jangan pernah buka klinik lagi!” perintahnya
dengan suara bergetar.
“Loh, kenapa,
Mas?”
“Mbak Nad meninggal!”
Belum sempat Dayat mengungkapkan keterkejutannya, Tora
menyambung lagi.
“Dengar Dayat. Buang semua HP klinik ke tempat yang jauh,
cari sungai yang dalam. Terus….”
Tora menghelas napas dalam-dalam agar kuat melanjutkan
omongannya. Air matanya mulai jatuh bercucuran.
“Terus… kamu cari kerjaan lain saja,” dia menghitung dengan
cepat saldo tabungannya. “Kirim nomor rekening kamu, aku bayar gaji kamu dua
bulan langsung! Dayat? Kamu ngerti?”
“Iya, mas. Mas… mbak Nad kenapa, mas?”
Tora kini benar-benar tidak bisa menghentikan laju air
matanya.
---
Malam itu rumah kontrakan Nad ramai oleh pelayat, para tetangga
dan kawan-kawan. Jenazah Nad dibaringkan di tengah ruang tamu. Diana dengan
mata merah dan bengkak duduk di sisi kepala jenazah. Beberapa kawan dekat juga
berada di sekitar situ. Rencana esok hari Nad akan dikebumikan, menunggu ibu panti
asuhan mereka yang sudah dianggapnya sebagai ibu sendiri, terbang dengan
pesawat pertama dari Makassar.
Polisi telah melakukan oleh TKP untuk memeriksa kalau-kalau
ada tanda orang luar yang menyebabkan kematian Nad. Tapi hasilnya nihil. Oleh
karena itu tetangga berbisik-bisik penyebab kematian Nad pasti ada unsur
gaibnya.
Tora juga sebenarnya memiliki pemikiran serupa. Tetapi dia
tidak ingin mengeruhkan suasana.
Malam ini dia merasa benar-benar berduka sekaligus benar-benar
lelah. Sepanjang hari dia bersama warga membangun tenda setelah sebelumnya
menemani Diana dan pak RT membuat laporan ke kepolisian lalu dia juga bertugas menerima
tamu-tamu sahabat mereka.
Menjelang subuh dia benar-benar tidak bisa lagi menahan
kantuknya dan tertidur di atas tikar.
---
Tora merasa dirinya berada lagi di dalam dunia antah berantah
yang sangat ditakutinya, walaupun dia tahu dia hanya bermimpi.
Sebuah jembatan besar terbentang di hadapannya. Di bawah
jembatan itu ada sungai yang mengalir tenang.
Hanya ada yang aneh.
Mengapa kali ini dunia terasa begitu senyap. Biasanya muncul
bayi-bayi bergelimang darah dari segala penjuru. Menggerayangi kaki-kaki
jembatan, membanjiri jembatan dan semua bergerak menuju ke arahnya. Tapi kali
ini suasana begitu lengang.
Tora pun melangkah perlahan sambil mengedarkan padangannya.
Langit biru, udara bersih dan sejauh mata memandang hanya rerumputan hijau
serta jembatan itu yang memenuhi pandangannya. Terdengar suara, seperti suara
tawa mungil dari atas.
Tora mendongakkan kepalanya untuk mencari asal suara
tersebut.
Tora terkejut. Di atas sana dia melihat seorang bayi mungil
dengan tubuh putih bersih dan bersayap terbang mengitarinya. Wajah bayi itu
terlihat cerah ceria. Dialah yang tadi mengeluarkan suara tawa. Tora ikut
tersenyum tertular kebahagiaan dari bayi itu.
Sekonyong-konyong dari berbagai penjuru langit, muncul
bayi-bayi bersayap yang lain. Tawa-tawa ceria pun terdengar dari mulut mereka.
Bayi-bayi itu lalu membentuk barisan dan terbang melintasi jembatan. Tora ikut
tertawa. Dia lalu bergerak mengikuti arah terbang bayi-bayi itu.
Tapi tiba-tiba seseorang dengan kasar menarik kerah bajunya.
Tora terkejut dan berbalik ke belakang untuk melihat siapa gerangan yang
mencoba menghentikan langkahnya.
“Nad…?”
Tora melihat Nad begitu kesakitan. Tiba-tiba tubuh Nad
terjerembab ke bawah. Kaki-kakinya dan separuh badannya seperti ditelan bumi. Ada
kekuatan besar yang menarik tubuh Nad masuk ke dalam tanah. Nad pun menjerit
kesakitan dan meminta Tora menolongnya. Tetapi dalam sekejab mata, tubuh Nad tenggelam
seluruhnya. Yang tersisa hanya rerumputan, kenangan dan tawa bayi-bayi mungil.
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com dalam rangka event fiksi horor dan misteri fiksiana community
ilustrasi gambar dari: fresh-tattoos.com
Baca Juga:
Pengelana Malam
Komentar
makasih ya sudah mampir :)