Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Daruman


Aku menghempaskan kenangan

Dari jendela kamar yang terbuka, aku dapat melihat langit sedang mengusir awan-awan untuk memamerkan puluhan rasi bintang.

Mata kameraku sebenarnya masih haus panorama. Aku bisa saja memilih berada di salah satu rooftop pencakar langit, atau di jembatan jalan-jalan metropolitan ditemani tripod dan kopi instan, bermain dengan diafragma dan eksposur.

Tapi dari antara semua tempat itu, aku lebih memilih berada di sini, berdiam diri di atas tempat tidur. Membiarkan diri dikecup angin malam lalu menghempaskan kenangan dan kerinduan yang mungkin tak akan pernah tersampaikan.

Gadisku telah pergi.


Dia berlayar menyusuri langit malam menggunakan salah satu gugus bintang, menuju kepada keabadian. Tidak, jangan salah. Dia bukan meninggal.
Beberapa hari sebelum dia pergi, gugus bintang berbentuk kapal dengan layar raksasa muncul di langit. Setiap malam gugus bintang itu bergerak dari utara ke selatan. Dia menyebutnya Daruman.

"Aku mencintaimu. Kamu harus tahu itu."

"Aku harus pergi..."

"Mereka membutuhkanku..."

Gadisku berulang kali mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu dengan wajah cemas. Tangannya menggenggam tanganku erat-erat, seperti tak ingin melepasku lagi.

Aku memaksa untuk ikut bersamanya, tapi dia menjawab permintaan itu mustahil untuk dipenuhi. Jadi aku pikir dia hanya meracau saja.

Tapi tujuh hari yang lalu dia benar-benar membuktikan kecemasannya. Pada ujung malam seperti waktu ini, wajahnya tiba-tiba bercahaya, lebih terang dari purnama. Tubuhnya mulai terangkat ke langit meninggalkanku dalam kebingungan dan kecemasan yang sama.

"Aku mencintaimu, Arman. Tapi mereka lebih membutuhkanku!" serunya dalam linangan air mata.

"Kenapa harus pergi sekarang?" aku memandang langit dan berteriak.

"Malam ini Daruman telah mencapai puncak penampakannya. Aku harus pergi sekarang, atau tidak sama sekali!"

Masih banyak pertanyaan lain yang hendak kuteriakkan, tetapi lidahku mendadak kelu karena terpana dengan pemandangan itu. Sebuah kapal layar terbang tiba-tiba menyeruak dari antara gugus-gugus bintang, menjemput gadisku lalu membawanya pergi. Semua kenangan seperti lenyap, bahkan tanpa lambaian tangan atau tanda perpisahan lain.

Aku masih menyimpan peristiwa astral itu dalam hatiku rapat-rapat. Pertanyaan-pertanyaan dan kenyataan mengenai betapa sedikitnya yang aku ketahui tentang masa lalu gadisku pun mulai terjawab. Tapi seiring dengan itu muncul pula banyak pertanyaan lain yang tidak akan pernah terjawab.

Aku kembali menatap langit malam sembari berharap pelupuk mataku memberat.
Ah, mengapa aku baru menyadarinya? Gugus-gugus bintang itu seperti sedang membawa pesan. Ya, bintang-bintang itu membentuk sebuah pola. Bukan Daruman atau manusia setengah kuda yang membawa panah, tetapi wajah gadisku yang sedang menyunggingkan senyum.

Atau mungkin juga tidak! Ini hanya karena kerinduanku saja.

Tapi apapun yang hendak disampaikan semesta, aku hanya berharap dia berbahagia di alam sana.

---

pertama kali ditayangkan di kompasiana.com 
ilustrasi gambar dari:arulastro.blogspot.co.id



Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Matahari Pilek





 photo Jangancopasing.jpg

Komentar