Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Mimpi Bertemu Sinterklas



Tadi malam saya mimpi bertemu Sinterklas. Senang sekali rasanya. Topi dan bajunya berwarna merah menyala. Badannya gemuk dan tinggi. Dia baru saja turun dari kereta yang ditarik rusa-rusa berhidung merah. Saya hanya tahu rusa bernama Rudolf, yang lainnya tidak.

Ada yang aneh. Biasanya Sinterklas selalu gembira dimana saja dia berada. Tapi kali ini dia kelihatan sedih. Saya pun bertanya apa yang terjadi. Ternyata Sinterklas bersedih karena kehilangan alamat rumah seorang anak. Akibatnya masih ada satu hadiah lagi yang belum terantar.

Dia lalu menunjukkan kado besar berwarna biru diikat dengan pita emas.


"Wah, kasihan sekali anak itu."

"Tapi bukan masalah besar, Nak" sahut Sinterklas. "Saya masih memiliki salinan alamatnya di istana mainan. Hanya saja dia akan masuk ke daftar pengantaran besok hari. Tapi ngomong-ngomong... kamu sepertinya belum menerima hadiah dariku, kan?"

Saya mengangguk.

Wajah Sinterklas seperti bercahaya, lalu dia tertawa gembira. Ah, akhirnya kegembiraannya muncul juga.

"Jadi, hadiah ini untuk kamu, Nak. Siapa namamu?"

"Doni... tapi bagaimana dengan anak penerima hadiah itu?"

Dia tertawa lagi.

"Tidak usah khawatir, Nak. Saya selalu punya cukup hadiah untuk siapa pun. Nah, mana tanganmu Doni, hadiah ini milik kamu sekarang."

Saya lalu menerima kado biru itu dengan kedua tangan. Agak berat tapi saya senang sekali.

"Terima kasih banyak, paman Sinterklas."

"Jadi anak yang pintar dan selalu berbakti pada orang tua, ya." lalu sebelum pergi bersama keretanya dia melambaikan tangan dan meneriakkan Selamat Natal.

Mestinya saya mengatakan ibu sudah berada di surga.

***
Ajaibnya, mimpi itu ternyata memiliki arti.  Pagi tadi saat bangun saya terkejut karena sebuah sepeda berwarna biru metalik sudah ada di pinggir tempat tidur. Suara bapak terbatuk-batuk terdengar dari arah dapur. Ini pasti dari hadiah darinya. Saking senangnya, saya langsung turun dari tempat tidur tanpa berdoa lagi lalu menghampiri hadiah itu.

Ini hadiah impian. Bapak memang pernah berjanji akan memberi hadiah spesial kalau saya masih jadi juara kelas. Tapi tidak menyangka kalau diberi hadiah ini.

Suara batuk-batuk bapak terdengar lagi. Memang sudah beberapa hari ini bapak pulang larut malam. Bapak bekerja sebagai pengumpul sampah plastik dari pemulung, lalu menjualnya lagi pada pengumpul besar. Kalau sudah beberapa hari bekerja sampai malam, batuk-batuk bapak memang suka kambuh.

"Bagaimana hadiahnya? Bagus nggak?"

Tahu-tahu bapak sudah berada di pintu kamar. Saya lalu berlari dan memeluk bapak.

"Terima kasih banyak, Pa. Hadiahnya bagus sekali..."

Bapak lalu mengusap-usap kepalaku.

"Syukurlah. Berarti belajarnya juga mesti lebih rajin, ya. Berdoanya juga begitu. Eh, kamu masih 
sering berdoa untuk ibu, kan?"

Saya mengangguk.

Kata bapak, ibu pergi ke surga saat saya berusia satu tahun. Tapi bapak bilang ibu selalu ada di dekat kami. Jadi saya bisa tetap menyapa ibu lewat doa.

"Ya, sudah. Mumpung kamu lagi libur, jaga rumah sebentar ya.  Bapak mau ke rumah bapaknya Husni dulu, ngantar duit plastiknya."

"Siap laksanakan..."

Bapak tertawa lalu menepuk bahuku.

Tak lama kemudian suara motor tua bapak terdengar meninggalkan rumah.

Saat sedang mendorong sepeda saya, muncul iklan Sinterklas di TV. Saya dulu selalu punya cita-cita bisa bertemu Sinterklas sungguhan, yang benar-benar naik kereta salju dengan rusa-rusa terbang, bukan seperti yang ada di TV.

Tapi sekarang, rasanya punya bapak yang hebat dan bisa berdoa untuk ibu, cukup sudah.


---

pertama kali ditayangkan di kompasiana.com 
ilustrasi gambar dari:www.wallpapers13.com




Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Pak Tua yang Baik dan Tuan Jafar yang Licik







 photo Jangancopasing.jpg

Komentar

pical gadi mengatakan…
Makasih mampirnya pak. Salam