Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Tadi malam saya mimpi bertemu Sinterklas. Senang sekali
rasanya. Topi dan bajunya berwarna merah menyala. Badannya gemuk dan tinggi.
Dia baru saja turun dari kereta yang ditarik rusa-rusa berhidung merah. Saya
hanya tahu rusa bernama Rudolf, yang lainnya tidak.
Ada yang aneh. Biasanya Sinterklas selalu gembira dimana
saja dia berada. Tapi kali ini dia kelihatan sedih. Saya pun bertanya apa yang
terjadi. Ternyata Sinterklas bersedih karena kehilangan alamat rumah seorang
anak. Akibatnya masih ada satu hadiah lagi yang belum terantar.
Dia lalu menunjukkan kado besar berwarna biru diikat dengan
pita emas.
"Wah, kasihan sekali anak itu."
"Tapi bukan masalah besar, Nak" sahut Sinterklas.
"Saya masih memiliki salinan alamatnya di istana mainan. Hanya saja dia akan
masuk ke daftar pengantaran besok hari. Tapi ngomong-ngomong... kamu sepertinya
belum menerima hadiah dariku, kan?"
Saya mengangguk.
Wajah Sinterklas seperti bercahaya, lalu dia tertawa
gembira. Ah, akhirnya kegembiraannya muncul juga.
"Jadi, hadiah ini untuk kamu, Nak. Siapa namamu?"
"Doni... tapi bagaimana dengan anak penerima hadiah
itu?"
Dia tertawa lagi.
"Tidak usah khawatir, Nak. Saya selalu punya cukup
hadiah untuk siapa pun. Nah, mana tanganmu Doni, hadiah ini milik kamu
sekarang."
Saya lalu menerima kado biru itu dengan kedua tangan. Agak
berat tapi saya senang sekali.
"Terima kasih banyak, paman Sinterklas."
"Jadi anak yang pintar dan selalu berbakti pada orang
tua, ya." lalu sebelum pergi bersama keretanya dia melambaikan tangan dan
meneriakkan Selamat Natal.
Mestinya saya mengatakan ibu sudah berada di surga.
***
Ajaibnya, mimpi itu ternyata memiliki arti. Pagi tadi saat bangun saya terkejut karena
sebuah sepeda berwarna biru metalik sudah ada di pinggir tempat tidur. Suara
bapak terbatuk-batuk terdengar dari arah dapur. Ini pasti dari hadiah darinya.
Saking senangnya, saya langsung turun dari tempat tidur tanpa berdoa lagi lalu
menghampiri hadiah itu.
Ini hadiah impian. Bapak memang pernah berjanji akan memberi
hadiah spesial kalau saya masih jadi juara kelas. Tapi tidak menyangka kalau
diberi hadiah ini.
Suara batuk-batuk bapak terdengar lagi. Memang sudah
beberapa hari ini bapak pulang larut malam. Bapak bekerja sebagai pengumpul
sampah plastik dari pemulung, lalu menjualnya lagi pada pengumpul besar. Kalau
sudah beberapa hari bekerja sampai malam, batuk-batuk bapak memang suka kambuh.
"Bagaimana hadiahnya? Bagus nggak?"
Tahu-tahu bapak sudah berada di pintu kamar. Saya lalu
berlari dan memeluk bapak.
"Terima kasih banyak, Pa. Hadiahnya bagus
sekali..."
Bapak lalu mengusap-usap kepalaku.
"Syukurlah. Berarti belajarnya juga mesti lebih rajin,
ya. Berdoanya juga begitu. Eh, kamu masih
sering berdoa untuk ibu, kan?"
Saya mengangguk.
Kata bapak, ibu pergi ke surga saat saya berusia satu tahun.
Tapi bapak bilang ibu selalu ada di dekat kami. Jadi saya bisa tetap menyapa
ibu lewat doa.
"Ya, sudah. Mumpung kamu lagi libur, jaga rumah
sebentar ya. Bapak mau ke rumah bapaknya
Husni dulu, ngantar duit plastiknya."
"Siap laksanakan..."
Bapak tertawa lalu menepuk bahuku.
Tak lama kemudian suara motor tua bapak terdengar
meninggalkan rumah.
Saat sedang mendorong sepeda saya, muncul iklan Sinterklas
di TV. Saya dulu selalu punya cita-cita bisa bertemu Sinterklas sungguhan, yang
benar-benar naik kereta salju dengan rusa-rusa terbang, bukan seperti yang ada
di TV.
Tapi sekarang, rasanya punya bapak yang hebat dan bisa berdoa untuk ibu, cukup sudah.
---
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
ilustrasi gambar dari:www.wallpapers13.com
Baca Juga Fiksi Keren lainnya:
Pak Tua yang Baik dan Tuan Jafar yang Licik
Komentar